I. PENDAHULUAN
Dalam pembentukan sebuah hukum, perlu diindahkan ketentuan tentang keharusan hukum itu memenuhi: (1) nilai filosofisnya yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, (2) nilai sosiologis sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, dan (3) nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundan-undangan yang berlaku.
Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari suku bangsa dengan kebudayaan dan agama yang berbeda, ditambah dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh penjajah, bukanlah pekerjaan yang mudah. Pembangunan hukum nasional
yang akan berlaku bagi semua warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang dialami oleh masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk dapat mencapai suatu sasaran yang diharapkan dari proses pembangunan itu, maka pada umumnya kegiatan pembangunan itu haruslah terencana, terpadu dan terarah. Menurut Ismail Saleh, dalam pembangunan hukum nasional, ada tiga dimensi yang terkait: (1) dimensi pemeliharaan, (2) dimensi pembaharuan, dan (3) dimensi penyempurnaan.[1]
yang akan berlaku bagi semua warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang dialami oleh masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk dapat mencapai suatu sasaran yang diharapkan dari proses pembangunan itu, maka pada umumnya kegiatan pembangunan itu haruslah terencana, terpadu dan terarah. Menurut Ismail Saleh, dalam pembangunan hukum nasional, ada tiga dimensi yang terkait: (1) dimensi pemeliharaan, (2) dimensi pembaharuan, dan (3) dimensi penyempurnaan.[1]
Oleh karena itu, dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, unsur agama harus benar-benar diperhatikan. Pembangunan hukum,
tampaknya sudah merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Pada dasarnya, pembangunan dalam bidang hukum, meliputi usaha-usaha untuk mengadakan pembaharuan pada sipat dan isi dari ketentuan hukum yang berlaku dan usaha yang diarahkan bagi pembentukan hukum yang baru, sebagai cara untuk melaksanakan perubahan sosial yang diperlukan dalam pembangunan masyarakat.
Berbicara mengenai eksistensi hukum Islam dalam sistem politik hukum di Indonesia, dapat dibagi atas beberapa priode, yaitu:
1. Masa sebelum pemerintahan kolonial Belanda;
2. Masa pemerintahan kolonial Belanda;
3. Masa penjajahan Jepang;
4. Masa Indonesia merdeka (1945-974);
5. Masa setelah tahun 1974 sampai sekarang. [2]
II. PEMBAHASAN
A.Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Islam
Istilah Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-Islamiy, atau dalam konteks tertentu, al-Syari’ah al-Islamiyah.[3]Istilah ini, dalam literatur Barat terkenal dengan Islamic Law, yang secara harfiah dapat disebut hukum Islam.
Dalam penjelasan terhadap kata Islamic Law, sering ditemukan defenisi: “Keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya”.[4]Dari definisi ini, terlihat bahwa hukum Islam itu mendekat kepada arti syariat Islam. Dalam Alquran maupun al-Sunnah, istilah al-hukm al-Islamtidak dijumpai. Yang digunakan adalah al-syari’ah, yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fikih.
Menurut Ichtijanto, Hukum Islam adalah seperangkat norma hukum dari Islam sebagai agama, yang berasal dari wahyu Allah dan Sunnah Rasulnya serta ijtihad uli al-amri. Wahyu Allah yang tercantum dalam Alquran, memuat hukum Islam yang utama (syariat). Syariat dijelaskan, diberi contoh tauladan, dan ditambah lebih rinci oleh utusan Allah dengan ijtihadnya yang berwujud Sunnah Rasul, sebagaimana tertuang dalam Hadis. Fikih adalah proses pemahaman terhadap syariat, yang tidak terlepas dari situasi dan kondisi pemahaman (pribadi-masyarakat).[5]
Sesuai dengan sumber Hukum Islam yang utama, maka norma hukum Islam yang kokoh dan tidak mungkin diperselisihkan adalah kitab Allah atau Alquran. Alquran memberikan ajaran dibidang Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Acara, Hukum Perburuan, Hukum Ekonomi, Hukum Sosial, dan Hukum Internasional.[6]
Ajaran dan ketentuan Hukum Islam, ada yang khusus diperuntukkan untuk orang orang mukmin (orang beriman) dan ada pula ketentuan-ketentuan dan ajaran hukum Islam yang dapat dan boleh dan dimanfaatkan oleh orang non-Islam.
Ajaran dan ketentuan Hukum Islam yang termuat dalam Alquran tersebut, dilengkapi dengan Sunnah Rasul dan dikembangkan dengan ijtihad ulama, pemerintah, hakim yang berupa peraturan perundangan- perundangan, kitab-kitab hukum Islam, serta kumpulan yurisprudensi penerapan hukum Islam dalam kondisi masyarakat terentu.
Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena ia merupakan bagian dari agama Islam yang universal sifatnya.[7]Hukum Islam berlaku bagi orang Islam di manapun ia berada dan apapun nasionalitasnya.
Hukum Islam disyariatkan bertujuan utama untuk mewujudkan, merealisasikan, dan melindungi kemashalahatan umat manusia dalam seluruh aspek kepentingan, yang menurut hasil penlitian para ulama, dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek, yakni: dharuriyat (primer), hajiyyat(skunder), dan tahsiniyyat (pelengkap). Aspek pertama merupakan aspek yang sangat asasi dalam kehidupan manusia, karena bahagian yang termasuk dalam aspek tersebut meliputi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Untuk menjamin, melindungi, dan menjaga kemashlahatan aspek tersebut, Islam menetapkan aturan, baik berupa perintah maupun larangan. Dalam hal tertentu, aturan itu disertai ancaman hukuman duniawi di samping hukuman ukhrawi manakala dilanggar.
Islam pada hakekatnya merupakan sebuah sistem yang komponennya terdiri atas akidah, syariat, dan akhlak, maka persepsi terhadap hukum Islam haruslah dalam kerangka sistem itu. Dengan demikian, hukum Islam harus dipahami sebagai hukum yang berdasarkan nilai-nilai aqidah dan nilai -nilai akhlak, untuk kesejahteraan manusia dunia dan akhirat. Hukum Islam bukan hanya sekedar alat untuk digunakan menghukum para peleceh hukum, melainkan sekaligus berfungsi sebagai perekayasa sosial.
B. Eksistensi Hukum Islam dalam Sejarah Bangsa Indonesia
Dalam sejarah panjang perkembangan dan keberadaan Indonesia, baik sebagai komunitas maupun sebagai negara, hukum sebagai tatanan yang tumbuh dalam masyarakat, turut mendapingi proses historis bangsa Indonesia, dengan melewati berbagai proses pertumbuhan, mulai dari awal kedatangan Islam sampai sekarang ini, hukum Islam menjadi faktor penting dalam menentukan dalam setiap pertimbangan politik untuk mengambil kebijaksanaan penyelenggaraan negara.
1. Hukum Islam pada Masa Kolonial
Pada awal penjajahan kolonial Belanda di Indonesia, hukum Islam tetap diakui sebagai hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, bahkan dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan negara melalui pasal 75 ayat (3) Undang-uandang Tata Negara Hindia Belanda yang disebut RR (Regrening Reglement), dan selanjutnya dimuat dalam Stb 1885 Nomor 2.[8]
Legitimasi berlakunya hukum Islamwaktu itu didasari Undang-undang pasal 78 ayat (2) RR yang berbunyi: “Dalam hal terjadinya tindak perdata antara semua orang Indonesia asli atau orang ang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada keputusan hakim Agama atau ketentuan agama mereka”.[9]
Keadaan tersebut berubah setelah kolonial Belanda melancarkan politik hukumnya. Usaha-usaha untuk melemahkan dan mematikan hukum Islam semakin terasa setelah kedatangan Snouck Hurgronye. Ia berhasil menerapkan pasal 134 ayat (2) IS (Indische Staatsregeling) sebagai pengganti pasal 78 ayat (2) RR.
Jika dianalisis lebih jauh, maka sejarah berlakunya hukum Islam pada masa kolonial dapat dilihat dari dua priode, yaitu: (1) priode penerimaan hukum Islam sepenuhnya, dan (2) priode penerimaan Hukum Islam oleh hukum adat. Priode penerimaan Hukum Islam sepenuhnya, disebut dengan teori receptio in complexu, sedankan priode penerimaan Hukum Islam oleh hukum adat disebut teori receptie.
Teori receptio in complexuadalah suatu priode di mana Hukum Islam diberlakukan sepenuhnya bagi orang Islam, sebab mereka telah memeluk agama Islam. Sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pemerintah kolonial memberlakukan hukum Islam bagi umat Islam, khususnya hukum perkawinan dan hukum waris, yang kemudian disebut dengan hukum kekeluargaan. Untuk menjamin pelaksanaan hukum tersebut, oleh Belanda dikeluarkan peraturan Resolutie der Indische Regeering, tanggal 25 Mei 760, yang kemudian dikenal dengan Compendium-Freijer. Dalam Regeerings-reglement(RR) tahun 1885, pasal 75, dinyatakan bahwa oleh hakim Indonesia hendaklah memberlakukan undang-undang agama (Godsdienstige Wetten).
Sedangkan recpetie, dipahami bahwa Hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Dalam Indische Starsregeling (IS) yang diundangkan dalam Stbl. 1929. 212, bahwa Hukum Islam dicabut dari tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 berbunyi: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”. Selanjutnya pada thn 1937, pemerintah Hindia Belanda mengemukakan gagasan bahwa wewenang Pengadilan Agama yang mengadili masalah kewarisan sejak tahun 1882, dialihkan menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Dengan Stbl 177: 116 tentang dicabutnya wewenang Pengadilan Agama, dengan alasan bahwa hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat.
2. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan.
Pada zaman Kemerdekaan, Hukum Islampun melewati dua priode. Priode pertama adalah priode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif, sedangkan priode kedua adalah priode Hukum Islam sebagai sumber autoritatif. Sumber persuasif dalam konteks hukum konstitusi ialah sumber hukum yang baru diterima orang apabila diyakini. Dalam konteks Hukum Islam, Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI, merupakan sumber persuasif. Sumber Hukum Islam baru menjadi sumber autoritatif (sumber hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum) dalam ketatanegaraan, ketika Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakui bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945.[10]
Dalam pemerintahan Orde Baru, politik hukum negara RI barulah diberlakukan dan dibuktikan dengan diundangkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dari pasal 2 UU tersebut, ditulis bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Sementara dalam pasal 63 dinyatakan bahwa yang dimaksud Pengadilan dalam Undang-Undang tersebut adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. Setelah Undang-Undang No. 1974 ini, kemudian diundangkan lagi UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, yang sekaligus mengokohkan kedudukan lembaga Peradilan Agama di Indonesia.[11]
Dalam konteks kontribusi hukum Islam dalam sistem politik hukum Indonesia, hukum Islam telah mengambil peran yang sangat besar. Paling sedikit dari segi jiwanya. [12]Buktinya adalah:
1. Di dalam UU No 2 thn 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam konsepnya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani, mempunyai keperibadian yang mantap dan mandiri, mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
2. UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Ini membuktikan bahwa Pengadilan Agama sudah sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di bumi Indonesia ini. Semua tidak lain adalah kontribusi umat Islam sebagai umat yang mayoritas.
3. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), meskipun tidak terbentuk undang-undang melainkan melalui Intruksi Presiden Nomor I tahun 1991, namun dalam kompilasi ini sangat membantu para hakim, terutama di Peradilan Agama.
Menurut Ismail Saleh, sumbangan hukum Islam terhadap hukum nasional tidak dapat dipungkiri bahwa sebahagian besar rakyat Indonesia terdiri dari pemeluk agama Islam, dan secara subtansial, ada dua bidang, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah.
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan merupakan sebahagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannnya.
Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia masa lalu, masa kini, dan masa datang bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional Indonnesia, baik tertulis maupun yang tidak tertlis dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum.
Teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tetntang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia, yaitu:
1. Ada, dalam arti sebagai bahagian integral dari hukum nasional Indonesia;
2. Ada,dalam arti adanya dengan kemandiriannya, yang diakui adanya kekuatan dan wibawanya oleh hukum nasional, dan diberi status sebagai hukum nasional;
3. Ada,dalam arti hukum nasional dan norma hukum Islam yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia.
4. Ada, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama.
Jadi, secara eksistensial, eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem. Oleh karenanya, maka hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meskipun harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai.
III. PENUTUP
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum Islam (khususnya Alquran) cukup memuat ajaran, ketentuan dan norma hukum yang dapat dikontribusikan dalam pembentukan hukum nasional dalam berbagai bidang hukum.
2. Untuk dapat dikontribusikan bagi hukum nasional, perlu dilakukan pemikiran kembali makna normatif dari norma-norma hukum Islam Alquran, khususnya agar dapat dimasukkan dalam perundang-undangan hukum nasional.
3. Untuk mengetahui arah pembangunan lima tahun negara Indonesia, dapat dilihat isi dari GBHN, sebab GBHN merupakan kerangka oprasional dalam upaya mengimplementasikan pesan-pesan konstitusi, termasuk dalam bidang hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
--------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Cet. V; Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 1997.
Alkostar, Artidjo dan M. Sholeh Amin. Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1986.
Ichtijanto. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional.Mimbar Hukum, No. 13 th. V, 1994.
Praja, Juhaya S. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukannnya. Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Ramulyo, Mohd. Idris. Asas-asas Hukum Islam, Sejarah Timbul dan Perkembangan, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia. Cet. I; Jakarta: sinar Grafika, 1995.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Syah, Ismail Muhammad. Filsafat Hukum Islam. Cet. II; Jakarta: Radar Jaya, 1992.
Zahri, Mustafa. Peranan Hukum Islam dalam Pembinaaan Hukum Nasional. Cet. I, Jakarta: PT al-Qushwa, t.th.
[1]Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Cet. V; Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 1997), h. 242.
[2]Pembabakan masa dalam kurun waktu tersebut di atas, dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa masing-masing masa tidak hanya punya nuansa, tetapi juga mempunyai perbedaan yang nyata dalam perkembangan hukum di Indonesia. Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 189.
[3]Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 3.
[4]Lihat Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: Radar Jaya, 1992), h. 17.
[5]Lihat Ichtijanto, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Nasional (Mimbar Hukum, No. 13 th. V, 1994), h. 50.
[6]Lihat Mustafa Zahri, Peranan Hukum Islam dalam Pembinaaan Hukum Nasional (Cet. I, Jakarta: PT al-Qushwa, t.th.), h. .82.
[7]Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 25.
[8]Lihat Mohd. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, Sejarah Timbul dan Perkembangan, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia (Cet. I; Jakarta: sinar Grafika, 1995), h. 54.
[9]Lihat Amrullah Ahmad, op. cit., h. 4.
[10]Dalam Piagam Jakarta atas perjuangan pemimpin Islam Nasionalis, memasukkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Meskipun kemudian sila tersebut tidak dipakai lagi, namun Dekrit President 5 Juli 1959 telah mengakui bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945. Ini berari jiwa Hukum Islam dalam tatanan hukum nasional tetap melekat adanya.
[11]Lihat Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukannnya (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 60.
[12]Lihat Amrullah Ahmad, op. cit., h. 260.
0 komentar
Posting Komentar