Pertumbuhan dan perkembangan hadis perlu dipahami oleh umat muslim sebab semua ulama dalam islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai disiplin ilmu dan menjadi rujukan kedua setelah Al-Qur’an. Untuk memahami hadis dengan baik kita perlu mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadist agar kita dapat memahami sejauh mana pertumbuhan dan perkembangannya dari masa kemasa. Sebelumnya kita harus memahami istilah dasar dalam ilmu hadis untuk lebih memfokuskan pemahaman kita terhadap perkembangan hadis.
Al-Qur’an dan hadis sama-sama sebagai sumber ajaran Islam. Namun dari segi periwayatan, Alquran berbeda dengan hadis. Alquran periwayatannya tidak pernah dipermasalahkan oleh umat Islam sebab dalam sejarah pengumpulannya, seluruh ayat yang terhimpun dalam mushaf tidak pernah mengalami perubahan, baik pada zaman Nabi saw maupun sesudahnya. Karenanya, penelitian terhadap Alquran hanya berfokus pada kandungan dan aplikasinya. Sedangkan untuk hadis Nabi saw yang dikaji tidak hanya kandungan dan aplikasinya, tetapi juga periwayatannya.[1]Hadis Nabi saw yang sampai kepada kita, telah melalui suatu proses periwayatan, yakni kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis dengan menyandarkannya kepada orang yang menjadi sandarannya, dengan menggunakan salah satu bentuk kalimat periwayatan.[2]
Masa periwayatan hadis, mengalami proses sejarah yang cukup panjang. Dengan kata lain bahwa, hadis yang sampai pada kita saat ini, telah melalui sejarah pertumbuhan dan perkembangan yang sangat lama. Berdasarkan dari sejarah perkembangan hadis, Hasbi Ash-Shiddieqy mengklasifikasikan atas tujuh periode yang masing-masing memiliki ciri khas tertentu.[3] Di antara ketujuh periode tersebut, dilihat dari segi metode penyusunan kitab hadis dapat dibedakan atas dua, yaitu periode sebelum abad ke III H, dan periode sesudah abad III H.
Ada juga yang membaginya dalam tiga periode yang disebut periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern.
Dalam buku-buku Ulumul Hadis, ditemukan beberapa periode sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis. Namun demikian, kelihatannya terdapat perbedaan dalam pemetaan periode-periode tersebut, sehingga sangat menarik untuk dibahas dan dikaji lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
Berdasar dari uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka masalah pokok dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ?
Untuk uraian lebih lanjut, maka sub masalah yang dijadikan obyek pembahasan adalah :
1. Apa yang dimaksud sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ?
2. Bagaimana periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis
Pada dasarnya, istilah pertumbuhan mengandung arti timbul kemudian bertambah besar. Sedangkan perkembangan yang berasal dari kata kembang, berarti mekar, terbuka atau membentang, jadi perkembangan adalah menjadi bertambah sempurna.[4]Jika dikaitkan dengan eksistensi hadis itu sendiri, maka sejarah pertumbuhan hadis adalah masa awal munculnya hadis, yakni di masa Nabi saw dan menjadi bertambah menyebar pada masa sahabat. Setelah masa tersebut, hadis kemudian berkembang dalam arti mengalami kemajuan untuk sampai pada kesempurnaannya. Dengan demikian, sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis adalah masa-masa awal adanya hadis di masa Nabi saw dan kemudian mengalami masa-masa kemajuan terutama setelah masa sahabat.
Makna pertumbuhan sering diartikan sama dengan perkembangan, sehingga kedua istilah ini, penggunaannya seringkali dipertukarkan untuk makna yang sama. Ada pakar yang suka menggunakan istilah pertumbuhan saja dan ada yang suka menggunakan istilah perkembangan saja.
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis, bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa, yang terjadi pada masa Nabi saw, kemudian secara periodik pada masa masa sahabat dan tabi'in, serta masa-masa berikutnya.
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis, tentu akan menggambarkan sikap dan tindakan umat Islam, khususnya para ulama ahli hadis terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya, hingga terwujudnya kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna.
Di antara para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis. Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yakni (1) masa Nabi saw, sahabat dan tabim; (2) masa pentadwinan; (3) masa setelah tadwin.
Segi pertumbuhan dan perkembangan hadis, pada masa awalnya terutama pada masa Nabi saw, dan sahabat, dominan pada kemampuan hafalan, dan pada segi penulisan belum begitu siginifikan. Bahkan di saat itu, Nabi saw memang pernah bersabda sebagaimana dalam hadis berikut
Artinya :
Haddab bib Khalid al-Azdiy menceritakan kepada kami, Hammam menceritakan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari Atha' bin Yasar, dari Abi Sa'id al-Khudry bahwa Rasulullah saw bersabda, janganlah kalian tulis (apa yang berasal) dariku, dan barang siapa yang telah menulis dariku selain al-Qur'an, maka hendaklah dia menghapusnya. (HR. Muslim)[5]
Dengan hadis tersebut, dipahami bahwa tulisan hadis pada masa awalnya belum ada, karena Nabi saw sendiri melarang sahabatnya untuk menulis hadis-hadis dengan alasan kekhawatiran bercampur baurnya hadis dengan penulisan Alquran. Namun larangan penulisan hadis-hadis tersebut hanya berlaku untuk sementara waktu saja, karena pertimbangan tertentu. Sesudah itu, pelarangan tersebut berubah menjadi kebolehan menulis hadis dan itupun hanya berlaku di sebagian sahabat. Hal ini sebagaimana dalam riwayat bahwa,
Zuhair bin Harb dan 'Ubaidullah bin Sa'id keduanya menceritakan bahwa dari al-Walid. Zuhair berkata al-Walid bin Muslim menceritakan kepada kami, al-Awzai menceritakan kepada kami, Yahya bin Abi Katsir menceritakan kepadaku, Abu Salamah yakni Ibn 'Abd. al-Rahman menceritakan kepadaku, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw bersabda : tulislah sesuatu dari untuk (diberikan) Abu Syah.[6]
Hadis di atas, tanpak kontroversi dengan kandungan hadis sebelumnya. Namun dalam kajian M. Syuhudi Ismail bahwa kedua hadis tersebut tidak boleh dipertentangkan. Sebab, dari kedua tersebut dipahami memang Nabi saw pernah melarang menulis hadis, tetapi larangan itu hanya bersifat temporal. Sementara perintah menulis hadis adalah berlaku universal.[7]Bahkan seharusnya penulisan hadis-hadis di saat setelah Nabi saw wafat merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya ajaran-ajaran Islam yang telah disampaikan Nabi saw.
Sepeninggal Nabi saw, kendatipun terbuka peluang untuk membukukan hadis, tetapi dalam fakta sejarah di masa sahabat belum ada kegiatan pembukuan secara resmi, karena mereka masih mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatan yang kuat.[8]Demikian seterusnya, sampai memasuki masa tabiin, telah bermunculan hadis-hadis palsu dan menyebabkan umat Islam terpecah atas beberapa golongan yang mulanya berorientasi politik berubah menjadi paham keagamaan, seperti Khawarij, Syi'ah, Murji'ah dan lain-lain serta masuknya penganut agama lain ke dalam Islam. Dari situasi ini, maka Umar bin Abdul Azis yang ketika itu menjabat Gubernur Mesir (65-85 H) mengambil inisiatif dalam rangka penyelamatan hadis-hadis dari kemusnahannya.
Berdasar pada uraian di atas, jelaslah bahwa masa pertumbuhan hadis adalah bermula sejak masa Nabi saw, dan kemudian mengalami masa perkembangan yang signifikan mulai pada masa tabi'in, bersamaan dengan tampilnya Umar bin Abdul Azis, menjabat Gubernur Mesir.
1. Masa Kelahiran Hadis
Pada masa Nabi Muhammad SAW menjadi pusat perhatian para sahabat. Apapun yang didatangkan dari Nabi Muhahammad SAW baik berupa ucapan,perbuatan maupun ketetapan merupakan referensi yang dibuat pedoman dalam kehidupan para sahabat.[9]
Setiap sahabat mempunyai kedudukan tersendiri dihadapan rasulullah. Adakalanya yang disebut “al-sabiqun al-awwalun” yakni para sahabat yang pertama-tama masuk islam. Seperti khulafaurrasyidin dan Abdullah Ibnu Mas’ud. Ada juga sahabat yang sungguh-sungguh menghafal hadist rasul, misalnya Abu Hurairah. Dan ada juga sahabat yang usianya lebih panjang dari sahabat lain,sehingga mereka lebih banyak menghafalkan hadist,seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas. Demikin juga ada sahabat yang mempunyai hubungan erat dengan Nabi,seperti Aisyah,Ummu Salamah dan Khulafaurrasyidin. Semakin erat dan lama bergaul semakin banyak pula hadist yang diriwayatkan dan validitasnya tidak diragukan.[10]
Namun demikin sahabat juga adalah makhluk biasa,harus mengurus rumah tangga, sehingga bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya,maka tidak setiap kali lahir sebuah hadis disaksikan langsung oleh seluruh sahabat. Sehingga sebahagian sahabat menerima hadis dati sahabat lain yang mendengar langsung ucapan Nabi atau melihat langsung tindakannya. Apabila sahabat berdominsili didaerah yang jauh dari Madinah seringkali hanya memperoleh hadis dari sesama sahabat.[11]
Pembicaraan tentang masa kelahiran hadis, berarti fokus pembicaraannya adalah hadis pada awal pertumbuhannya di masa Nabi saw dan sahabat, sampai penghujung abad pertama Hijriah.
Uraian tentang masa kelahiran hadis ini, berkaitan langsung dengan pribadi Nabi saw sebagai sumber hadis. Beliau telah membina umatnya selama 23 tahun, dan masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu, sekaligus di-wurud-kannya hadis. Di masa kelahiran hadis inilah, sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian sahabat sebagai ahli waris hadis generasi pertama.
Ketika Nabi saw masih hidup, beliau mengajarkan hadisnya kepada sahabat dalam bentuk dan dengan metode lisan, tulisan, dan peragaan praktis.[12]Dengan metode lisan, beliau bisa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Sesudah mengajar sahabat, biasanya beliau mendengarkan lagi yang sudah mereka pelajari. Kemudian dengan metode tulisan, dapat dijumpai dengan adanya surat-surat Nabi saw kepada raja, penguasa, kepala suku, gubernur. Demikian pula dengan metode praktis, Nabi saw mengajari cara wudhu', shalat, puasa, haji, dan selainnya.
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Alquran dan hadis sebagai dua sumber ajaran Islam, Nabi saw menggunakan jalan yang berbeda, yakni sebagaimana yang telah disinggung bahwa hadis-hadis pada awalnya dilarang ditulis secara resmi tetapi tetap dihafal, sementara Alquran dianjurkan untuk ditulis dan dihafal. Dengan begitu, praktis catatan tidak resmi dari sebagian sahabat tetap ada, dan dengan sengaja mereka melakukannya, yakni menulis. Hal ini juga sebagaimana yang dikemukakan Shubhi al-Shalih bahwa,
Artinya :
Dan yang pasti adalah bahwa sebagian besar sahabat sempat menulis sekumpulan hadis semasa hidup Rasululullah saw, di antara mereka ada yang menulis dengan izin khusus Rasulullah, dikecualikan dari larangan bersifat umum ...tetap pada umumnya mereka mencatat apa yang mereka himpun baru pada tahun-tahun terakhir kehidupan Nabi, sesudah beliau memberi izin kepada si spa saja yang in gin dan sanggup melakukan pencatatan hadis.[13]
Di antara sahabat yang memiliki catatan hadis adalah, Abdullah bin Amr bin al-Ash, Jabir bin Abdulah bin Amr al-Anshari, Abu Hurairah, Abu Syah, Rafi bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abu Thalib, dan Ibn Mas'ud.[14]Catatan-catatan mereka, tertulis dalam pelepah kurma secara utuh dan terjaga sampai pada suatu masa dibutuhkan maka catatan tersebut diperlihatkan.
Sepeninggal Nabi saw, bukan berarti otentisitas hadis tidak terjaga, justru usaha yang dilakukan para sahabat, terutama di masa khulafaur rasyididin sangat ketat. Pada masa masa Abu Bakar, usaha penyaringan diseleksi dengan cara persaksian (syahadah) terhadap riwayat yang disampaikannya. Begitu pula yang terjadi pada zaman khalifah Umar bin al-Khattab, beliau menolak orang yang meriwayatkan hadis tampa disertasi persaksian.
Kemudian di zaman kekhalifahan Utsman bin Affan, penyaringan terhadap riwayat hadis, mengikuti apa yang telah dilakukan Abu Bakar dan Umar. Bahkan, Utsman pernah menyatakan dalam khutbahnya bahwa "seseorang tidak dibenarkan meriwayatkan suatu hadis dari Nabi saw, bila aku tidak pernah mendengarnya pada zaman Abu Bakar dan masa Umar. Pada masa kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, selain melalui persaksian, ia gunakan metode lain dalam menerima suatu riwayat, yaitu periwayat harus disertasi bersumpah bahwa ia telah mendengar riwayat dari Nabi saw.[15]
Apa yang telah dikemukakan, adalah cara dan upaya para khulafaur rasyidin dalam menjaga otensititas hadis, sekaligus bentuk kehatian-hatian mereka dalam menyikapi munculnya banyak riwayat hadis. Jadi perlu ditegaskan di sini bahwa pada masa kelahiran hadis, yakni ketika Nabi saw masih hidup, sampai masa khulafaur rasyidin belum ada upaya untuk menulis hadis dalam suatu kitab. Namun demikian, harus diyakini bahwa hadis-hadis ketika itu tetap terjaga keorisinilannya karena adanya berbagai cara antisipatif yang dilakukan para sahabat dan khulafaur rasyidin sebagaimana yang telah dijelaskan.
2. Masa Penulisan Hadis
Masa penulisan hadis, adalah terjadi di zaman tabiin, yakni abad pertama Hijriah. Pada masa ini, hadis-hadis belum langsung ditulis secara keseluruhan, lalu dibukukan. Tetapi, diawali dengan kegiatan perlawatan mencari mencari hadis di berbagai tempat.
Tercatat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabiin dalam mencari hadis, yaitu Madinah, Mekkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir, Andalus, Yaman, dan Khurasan. Di kota-kota itu, masih terdapat beberapa sahabat ahli yang hidup. Di Madinah misalnya, masih ada Abu Hurairah, Abdullah bin 'Umar, dan Abu Sa'id. Di Mekkah, ada Mu'az bin Jabal, dan Haris bin Hisyam. Di Kufah, ada Sa'ad bin Waqqas, dan Abdullah bin Mas'ud. Di Bashrah, ada Anas bin Malik, dan Abdullah bin Abbas. Di Syam, ada Abu Ubaidah al-Jarh, Abdullah bin Unais. Di Mesir, ada Amr bin al-Ash, dan Uqbah bin Amr. Di Andalus, ada Mas'ud bin al-Aswad, dan Bilal bin Haris. Di Yaman, ada Mu'az bin Jabal yang pernah diutus oleh Nabi saw, menjadi hakim. Di Khurasan, ada Buraidah bin Husai al-Asalmi.[16]
Begitu antusiasnya para tabiin berlawat ke kota-kota di mana para ahli hadis menetap, merupakan bukti bahwa di masa itu, upaya pengkajian hadis mengalami perkembangan yang signifikan ketimbangkan masa sebelumnya. Mengenai kondisi perlawatan mencari hadis masa yang dialami para tabiin ini, oleh Subhi al-Shalih men
yatakannya bahwa,
Artinya :
Para perawi tidak merasa puas hanya menimba ilmu dari penduduk negeri sendiri, atau dari satu kota saja, baik yang jauh maupun yang dekat dengan tempat tinggalnya. Karena itu, berlawat mencari hadis ke negeri-negeri yang jauh menjadi dambaan utama mereka. Dengan begitu, mereka bisa memperoleh ilmu dari sumber-sumber yang pertama. Mereka juga bisa mewujudkan keyakinannya, yaitu bahwa mendapatkan kemampuan melalui pengajaran langsung akan efektif dan lebih berbekas.[17]
Shubhi Shalih lalu menyebutkan beberapa tabiin yang sangat antusias mencari hadis. Misalnya Jabir bin Abdullah membeli seekor unta, yang dipacunya menuju Syam selama sebulan hanya untuk menemuka Abdullan bin Unais dan bertanya tentang hadis yang menyangkut masalah qishas. Tabiin lain seperti Sa'id bin Musayyab berkata,
( Sungguh aku rela berlawat berhari-hari dan bermalam-malam hanya untuk mencari satu hadis). Demikian pula Abi Qalabah menyatakan,”
Dalam perlawatan mereka mencari hadis, digunakannya pula kesempatan menulis hadis dan dihafalnya secara baik. Dengan begitu semakin tumbuh dan berkembanglah tradisi menulis hadis-hadis. Berbagai persoalan praktis pun mulai muncul. Di antaranya ialah karya tulis hadis karangan sahabat yang terkenal merangkap juru tulis Nabi saw, misalnya Zaid bin Tsabit mengenai Faraid. Belakangan ditemukan pula himpunan hadis yang menurut para ahli menyangkut berbagai masalah yuridis, seperti perkawinan, thalak, ganti rugi bagi korban dan sebagainya.[18]Jadi, di masa-masa awal ini kompilasi sistematis ditandai dengan adanya percampur bauran hadis-hadis Nabi saw dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabiin yang bersifat praktis dan yuridis.
Penulisan hadis, suatu media terpenting bagi sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis, terutama dalam aspek komersialisasi dan penyebarannya di tengah-tengah masyarakat. Sampai pada gilirannya memasuki akhir abad I Hijriah, atau memasuki awal abad kedua Hijriah tulisan-tulisan tentang hadis semakin banyak ditemukan, namun tidak tertata dengan baik, yakni belum memiliki metode tersendiri. Agar penulisan hadis-hadis tetap mentradisi, maka keluarlah instruksi dari khalifah Umar bin Abd. Azis untuk menulis hadis-hadis secara ekektif, yakni tertata dengan baik dan menggunakan metode-metode tertentu, kemudian hadis-hadis itu dihimpun untuk dibukukan. Dari sinilah, kemudian dimulai penulisan hadis-hadis secara massal.
Perlu ditegaskan di sini Umar bin 'Abdul Aziz ketika itu, telah menjabat sebagai khalifah, sebelumnya menjabat Gubernur di Mesir. Beliau adalah sebagai khalifah kedelapan dari Bani Umayyah. Menurut al-Zalzaf, inisiatif Umar bin Abd. Azis dalam menginstruksikan agar hadis-hadis ditulis dalam sebuah karya tersendiri dilatar belakangi oleh dua alasan pokok sebagai berikut:
1. Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri dan dikhawatirkan hadis akan hilang (musnah) bersama dengan wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian dalam memelihara hadis.
2. Banyak berita yang diada-adakan oleh kaum mubtadi', seperti Khawarij, Syiah dan Murji'ah serta yang lainnya.[19]
Setelah adanya instruksi secara resmi dari khalifah Umar bin Abd. Azis untuk menulis lalu menghimpun hadis-hadis, maka dimulailah pada fase berikutnya, yakni periode pertumbuhan dan perkembangan hadis di mana hadis-hadis mulai dibukukan dengan menggunakan berbagai metode ilmiah.
3. Masa Pembukuan Hadis ( Tadwin al-hadist)
Yang dimaksud dengan Tadwin al-hadis pada periode ini adalah kodifikasi atau pembukuan secara resmi berdasarkan perintah kepala negara,dengan melibatakan beberapa tokoh dibidangnya,bukan dilakukan secara perseorangan untuk kepentingan pribadi,seperti yang pernah terjadi pada zaman rasulullah SAW.[20]
Usaha dimulai pada masa pemerintahan islam yang pimpin oleh khalifah Umar bin Abd al-Azis(khalifah ke 8 dari kekhalifaan bani Umayyah), melalui instruksinya kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Khalifah menginstrusikan kepada Abu Bakar Ibn Hazm agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman al-Anshari ( Murid Kepercayaan Aisyah ) dan al-qasim bin Muhammad bin abi bakar. Intruksi yang sama juga ditujukan kepada Muhammad bin syihab al-Zuhri, yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada lainnya.
Umar bin Abd al-Azis memang hidup dalam suasana ilmiah dan sebagai amirul mu’minin ia tidak jauh dari ulama. Ia menilai penting memelihara dan menghimpun hadis rasulullah SAW karena didorong oleh aktivitas para tabi’in yang sudah membolehkan membukukan hadis. Faktor lain yang berpengaruh terhadap jiwa para ulama dan amirul mu’minin adalah munculnya praktek pemalsuan hadis yang dilatar belakangi oleh persaingan politik dan perselisihan antara aliran.[21]
Sistem pembukuan ini madih bersifat kontemporer,yakni masih berbaur antara hadis Nabi,fatwa-fatwa sahabat,juga fatwa-fatwa tabi’in,sehingga muncullah istilah hadis marfu’,mauquf dan maqthu.[22]
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini beredar dan dicetak antara lain:
1. Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin anas
2. Al-mushannif karya abdrrazak bin hammam As-Shan’ani
3. As-sunnah karya said bin Mansur
4. Al-mushannaf karya abu Bakar bin abu Syaibah.[23]
4. Masa Pentashihan hadis
Masa pentashihan atau penyaringan hadisketika pemerintahan dipegang oleh dinasti bani Abbas, khususnya sejak masa al-makmum sampai dengan al-Mutakdir (sekitar tahun 201 – 300 H).[24]
Pada masa ini para ulama hadismulai memisahkan mana hadisdan mana fatwa sahabat dan tabi’in, demikian pula memilah-milah mana hadis sahih, hasan maupun yang dhaif. Disamping itu pula menetapkan kaidah-kaidah hadis, ilat-ilat hadis dan tafsir sejumlah perawi-perawi hadis, sehingga muncullah Ilmu Dirayah Hadis yang banyak macamnya disamping Ilmu Riwayah Hadis. Dari kriteria yang mereka pergunakan dalam menilai hadis, maka muncullah kitab-kitab Shahih dan kitab-kitab Musnad.[25]
Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya kemudian dikenal dengan Kitab al-Sitta (Kitab induk yang enam).[26]
Secara lengkap kitab induk yang enam tersebut dapat diurutkan sebagai berikut:
1. Al-Jami’al-Shahih susunan Imam al-Bukhari
2. Al-Jami’al-Shahih susunan Imam Muslim
3. Al-Sunan Susunan Abu Dawud
4. Al-Sunan Susunan Al-Tirmidzi
5. Al-Sunan Susunan An-Nasa’i
Untuk mengumpulkan, menyaring dan mensistematisir produk hadis yang sangat melimpah ini, sejumlah ulama terkemuka telah melakukan perjalanan menjelajah seluruh dunia pada masa itu. Pencari-pencari hadis yang bersemangat pergi dari suatu tempat ke tempat yang lain dan bertanya dari orang lain yang satu ke orang yang lain. Tujuannya tiada lain adalah untuk menetapkan keshahihan sebuah hadis.[28]
Dalam menetapkan dasar-dasar pentashihan sebuah hadis, para ulama hadis memperhatikan beberapa kriteria misalnya rijal al-hadis, apakah ia pernah bertemu dengan orang yang ia riwayatkan hadisnya atau tidak? Apakah ia orang cacat, tercela atau sering berbuat tidak sopan? Imam Bukhari misalnya, dalam menetapkan sunnah sangat ketat, sehingga para ulama hadis menyatakan bahwa Imam al-Bukhari adalah orang yang kuat hafalannya dan jarang bandingannya, disamping itu beliau mempunyai keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang tampaknya kurang baik.
Terkadang Imam Bukhari dan Imam Muslim berbeda dalam menentukan kriteria dan syarat bagi seorang perawi, seperti masalah rijatul hadis harus lebih erat dengan perawi, perawi harus lebih erat dengan perawi yang memberi periwayatannya. Tetapi kedua-duanya sama-sama menentukan syarat bahwa hadis sanadnya harus bersambung, dan perawinya muslim yang berpredikat “al-Shiddiq” tidak suka bertadlis dan tidak berubah akal, bersikap adil, kuat hafalannya, tidak ragu-ragu dan baik pula iktikadnya.
Beberapa kitab-kitab Hadis yang disusun pada masa itu:
1. Kitab-kitab shahih, yaitu kitab-kitab yang memuat hadits-hadits shahih saja;
2. Kitab-kitab sunnah, yaitu kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih dan hadis-hadis yang tidak terlalu dhaif;
3. Kitab-kitab musnad yaitu kitab-kitab yang menyusun segala macam hadis tanpa memperdulikan shahih tidaknya, serta tidak menerangkan derajat-derajatnya.[29]
Kitab-kitab shahih diwakili oleh kitab al-Bukhari dan kitab Muslim. Imam Bukhari menyusun kitab bernama al-Jama Shahih al-Musnadi min hadits rasul yang dikenal dengan Shahih al-Bukhari. Kitab ini merupakan kitab pedoman kedua setelah Al-Qur’an. Isi kandungannya berjumlah 9082 hadis marfu’ dan sejumlah hadis maqthu dan mauquf. Sedang Imam Muslim menyusun kitab bernama al-Jami’ al-Shahih yang dikenal dengan Shahih muslim. Keistimewaan kitab ini adalah susunannya lebih baik daripada Shahih Bukhari. Dan kedudukannya Shahih Muslim menurut para ulama nomor dua setelah Shahih Bukhari.
Selanjutnya kitab-kitab susunan diwakili oleh Sunan an-Nisa’i yang dinamakan al-Mutaba’min as-sunah dan Sunan Abu Dawud yang berisikan 4800 hadis setelah adanya penyeleksian dari 500.000 hadis yang ditulisnya dan sunan al-Turmidzi, serta Sunan Ibnu Majah dan Sunan al-Darimy.
Dan untuk kitab-kitab musnad diwakili oleh kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambali yang berisikan 40.000 buah hadits dan 10.000 diantaranya yang diulang-ulang.[30]
5. Masa Pengkajian Hadis
Pada masa ini para ulama hadits mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab hadits untuk topik-topik tertentu. Untuk itu mereka membuat sistematika penyusunan hadits agar memudahkan pengkajiannya.
Tentunya sistematika susunan hadits pada masa ini lebih baik dari masa sebelumnnya, karena upaya ulama pada masa kini bukan mencari, tetapi hanya mengumpulkan dan selanjutnya mensistemasi menurut kehendak atau kebutuhannya. Ada yang mensistemasi menurut kehendak pengarang sendiri, ada yang mensistemasi den gan mendahulukan bab thaharah, wudhu dan kemudian shalat dan seterusnya, misalnya hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, maka diletakkan di bawah nama Abu Bakar. Ada juga yang mensistemasi dengan bagian-bagian yaitu bagian seruan, larangan khabar, ibadah dan af’al. Demikian pula ada yang menyusun berdasarkan abjad hijaiyyah seperti kitab al-Jami’ shagir oleh al-Syuyuti.[31]
Beberapa kitab yang disusun berdasarkan sistematika penyusunan hadist yang telah ditetapkan para ulama hadis pada masa itu antara lain:
1. Kitab-kitab Mustakraj adalah kitab yang hadistnya diambil dari hadist perawi lain dan sanad perawi yang diambilnya dan kadang-kadang para mustakraj meninggalkan suatu periwayatan karena tidak pemperbolehkan sanad sendiri.
2. Kitab-kitab Mustadrak adalah kitab yang hadistnya didapat dari pengumpulan hadist yang memiliki syarat-syarat al-bukhari atau Muslim atau kedua-duanya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau dishahihkan oleh beliau berdua.
Kedua kitab inilah yang paling banyak diproduksi dan model tersebut merupakan ciri khas dari pembukuan hadist pada masa ini.[32]
6. Masa Kontemporer
yang dimaksud dengan masa kntempirer dalam konteks ini adalah zaman mutaakhirin,yaitu era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga sakarang ini.[33]
Sperti kita ketahui para muhadditsin yang hidup pada abad ke dua dan ketiga dinamakan”Mutaqaddimin”sedang yang hidup pada abad yang keempat dinamakan”Mutaakhirin”´dan kebanyakan mereka kumpulkan adalah dari hasil petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin.[34]
Ciri-ciri masa ini hampir sama dengan masa pengkajian, hanya saja cakupannya diperluas. Misalnya masa pengkajian mengumpulkan dari beberapa kitab hadits lalu disistematisasi menurut kehendak muallif. Pada masa ini disamping mengumpulkan para ulama juga menyusun kitab zawid yakni pen yusunan kitab yang hadits-hadits tidak termuat dan tidak terdapat dalam kitab-kitab sebelumnnya. Demikian juga merenofasi nilai-nilainya dalam kitab tertentu serta menerangkan tempat-tempat pengambilan hadits-hadits yang semula perawinya tidak disebutkan.[35]
Kecenderungan ulama Mutaakhkhirin adalah menyusun hadits menurut topik (Mawdhu) yang dibicarakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menetapkan masalah atau topik yang akan dibahas
2. Menghimpun hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut
3. Menyusun runtutan hadits sesuai dengan masa turunnya diserertai dengan pengetahuan tentang asbabul wurudnya.
4. Memahami korelasi hadits-hadits tersebut dalam babnya masing-masing
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
6. Melengkapi pembahasan dengan ayat-ayat yang relefan dengan topik tersebut
7. Mempelajari hadits-hadits tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun hadits-hadits yang mempunyai makna yang sama atau mengkompromikan antara yang umum dan yang khusus, mutlak yang mukhayyad (terkait) sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muatan atau perbedaaan atau pemaksaan.[36]
Tokoh-tokoh hadits pada masa kontemporer antara lain:
1. Imam Az-Zahabi, as-Suyuti (w 911 H)
2. Ibnu Taimiyah (611-728 H = 1263-1328 M)
3. Ibnu Hajaral-Asqalani (773-853 H)
4. Imam Muhammad Abu Zahrah (w 1394 H)
5. Syekh Mansur Ali Nasif, Syekh Ismail bin Muhammad bin Abdul Hadi Al-Aljuni al-jarahi (w 1162 H = 1749 M)
6. Muhammad bin Asy-Syaukani (w 1250 H - 1834 M)[37]
Disamping itu tokoh hadits kontemporer yang paling terkenal sekarang ini adalah Yusuf Qardhawi yang lahir di Mesir ( 9 september 1926) dan Muhammad al-Ghazalih lahir di mesir tahu 1917 dan wafat 1996.[38]
Kedua tokoh hadits kontemporer ini melakukan kajian-kajian secara menyeluruh tentang hadits dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan modern. Meskipun ada sebagian ulama yang menggolongkannya sebagai inkarussunnah. Ini mungkin di sebabkan karena beliau sangat ketat dalam menentukan keshahihan sebuah hadits.
BAB III
KIESIMPULAN
Dari pembahasan di atas kita dapat mengambuil kesimpulan:
1. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits dimulai sejak Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul
2. Catatan hadits Rasul itu di buat dari pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit kayu dan tulang-tulang hewan.
3. Masa pembukuan hadits yang secara resmi dilakukan atas kebijaksanaan pemerintah terjadi pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz (w 101 H)
4. Masa pentahihan atau penyaringan hadits dimulai keteka pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa al-Makmum sampai dengan al-Muktabir (sekitar tahun 201-300 H)
5. Pada masa pengkajian hadits para ulama hadits mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab hadits untuk topik-topik tertentu
6. Masa kontemporer adalah zaman Mutaakhirin yang era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shiddiqy,M.Hasbih,Sejarah dan pengan tar ilmu Hadist,Cet.ke 6, Jakarta : Bulan Bintang,1980
Bakhtiar,Amsal,Filsafat Ilmu,Jakarta : Raja Grafindo Persada,1970
Bustamin, M.Isa,H.A.Salim,Metodologi kritik Hadist,Cet I Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,2004
Dewan Redaksi Ensklopedi Islam,Ensiklopedi Islam,Cet Ke 4,Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve,1997
Khatib, al-Muhammad Ajaj,As-sunnah Qablat Tanwin diterjemahkan oleh A.H.Akram Fahma,dengan judul : Hadist Nabi sebelum di Bukukan,Cet,I,Jakarta : Gema Insani Press,1999
Muhaimin,Mujib,Abdul Muzakkir jusuf,Kawasan dan wawasan Studi Islam, Cet I,Jakarta : Kencana, 2005
Qathan, al-Manna, Mabahits Fil Ulumil al-Hadist,diterjemahkan oleh Mifdhal abdurrahman,dengan judul : Pengantar studi Ilmu Hadist,Cet,Ke 2,Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2006
Rahman,Fazlur,Islam,diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad,Cet.IV, Bandung:Pustaka,2000
Ranuwijaya,Utang,Pengantar Ilmu Hadist,Cet III,Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998
Suparta,Munzier,Ilmu Hadist,Cet,ke-3,Jakarta : PT.Raja Grapindo Persada,2002
Shalih al-subhi, Ulumul al-Hadist wa Musthalahuhu,Cet ke-9 Bairut : Dar al-Ulum al-Malayin,1977
Zuhri,Muhammad,Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis,Cet,Ke-11,Yogyakarta: Tiara Wanama Yogya,2003
[1]M. Syuhudi Ismail, Dampak Penyebaran Hadis Palsu dan Manfaat Pengetahuan (Ujung Pandang: Berkah, 1989), h. 12.
[2] Nur al-Din Itr, Manhaj al-Naqd fry 'Ulum al-Hadits, diterjemahkan oleh Endang Soetari dan Mujiyo dengan judul Ulum al-Hadis I (Get. II; Bandung: Remaja RosdaKarya, 1995), h. 169.
[3] Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar llmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 26-27
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Get. XII; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1220 dan 539
[5]Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi wa al-Naysaburi, ShahihMuslim, juz IV (Beirut: Bar al-Afaq al-Islamiyah, 1977), h. 2298
[6]Abu Abdillah Muhammad bin al-Mughirah bin Ismail al-Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhary, juz I (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), h, 32. Lihat juga Muslim, ibid., juz II, h.988-989
[7]M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma'ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Get. I; Jakarta: Bulan Bmtang, 1994), h. 82.
[8]Lihat Muhammad Zuhri, Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997), h. 51.
Prof. Dr.Muhaimin,MA,Dr.Abd.Majid,M.Ag, Dr. Jusuf Mudzakkir,M. Si, Kawasan dan Wawasan Studi Islam ( Cet I : Jakarta,Kencana,2005)h.147
Ibid hal.148
[12]Muhammad Mustafa A/ami, Studies in Hadith Methodology and Literature, di-terjemahkan oleh Meth Kieraha dengan judul Memahami Ilmu Hadis; Telaah Metodologi dan Literatur Hadis (Cet. Ill; Jakarta: Lentera, 2003), h. 33.
[13]Shubhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Musthalahahuh (Get. I; Bairut: Dar al-Ilm al-Malaym, 1959), h. 23.
[14]Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-tadwin (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), h. 16.
[15] Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits; Dari Klasik sampai Modern (Get. : Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), h.24-25.
[16]Mudatstsir, Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 101-103.
[17]Shubhi al-Shalih, op. cit., h. 53.
[18]Lihat Muhammad Mustafa Azami, Studiesin Hadtsh Metodology and Literature, diterjemahkan oleh Muhammad Kuraha dengan judul Memahami Ilmu Hadis : Telaah Metodologi Literatur Hadis (Jakarta : Lentera, 1995), h. 05)
[19]Lihat Muhammad al-Zalzaf, al-Ta'rifbi al-Our'dn wa al-Hadits (Kuwait: Maktabah al-Falah, t.th.), h. 210.
[23] Manna al-Qathan, Fi Ulumi al-Hadist,diterjemahkan oleh : Mifdhal Abdurrahman dengan Judul : Pengantar Studi Ilmu Hadist ( Cet II: Jakarta,Pustaka al-Kautsar,2006) h.54
[37] Dewan Redaksi Insklopedi Islam,Suplemen Ensiklopedi Islam, ( Cet Ke 4: Jakarta,Ikhtiar Baru Van Hoeve,1997)h.157-158
[38] Bustamin dan M.Isa H.A.Salam Metodologi Kritik Hadist,(Cet Pertama : Jakarta,PT.Raja Grafindo Persada,2004)h 89 dan 99
0 komentar
Posting Komentar