Rabu, 07 September 2016

TAFSIR IMAM AL-QURTHUBI

 I . PENDAHULUAN 

A.    Latar Belakang
Petunjuk yang terkandung  di dalam al-Qur’an mencakup segala solusi dan jalan keluar dari setiap permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan manusia  baik dari masalah kebodohan syubhat, syahwat dan lain sebagainya.
Generasi pertama dalam hal ini, mengetahui dengan pasti tujuan dan maksud di turunkannya al-Qur’an sehingga mereka berlomba-lomba menghafal dan mempelajarinya, mereka menggali kekayaan yang sangat berharga darinya, mendalami hukum-hukumnya dan selanjutnya mereka membersihkan hati mereka dari kotoran akidah yang bathil dan dari dekadensi moral, kemudian setelah itu mereka mengarahkan masyarakat dengan petunjuk al-Qur’an ini ke arah yang baik yang bisa mengantar mereka semua kepada sebuah kemenangan.

Al-Qur’an tetap terbuka untuk diinterpretasi  dalam rangka menjawab persoalan –persoalan umat. Dengan begitu konsep-konsep yang dikaji dari al-Qur’an melalui penalaran yang dilakukan oleh pakarnya tetap dirasakan sebagai alternative paling utama untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan umat manusia khususnya umat Islam.
 Interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam metode dan pendekatan sesuai kemampuan dan keahlian pakar yang menekuninya.  Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh al-Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, beliau lebih  konsentrasi dalam menafsirkan ayat-ayat yang mengandung hukum dalam al-Qur’an[1].
Al-Imam al-Qurthubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum, ia juga mengemukakan masalah-masalah khilafiyah, mengetengahkan dalil bagi setiap pendapat dan mengomentarinya serta tidak fanatik terhadap madhzab[2]. Jujur dalam argumentasinya , santun dalam mendebat musuh-musuhnya dengan penguasaan ilmu tafsir dan segala perangkapnya serta penguasan ilmu syariat yang begitu mendalam.
            Beliau senantiasa menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya karena hal itu merupakan suatu keberkahan ilmu yang tak ternilai harganya[3]
  Pemakalah mencoba meneliti manhaj beliau pada kitanya al-jami’ Li Ahkam al-Qur’an sebagai salah satu kitab tafsir yang hingga kini menjadi rujukan utama dengan kerangka pembahasan seperti berikut.
                                                                                                                                                           B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Riwayat Hidup al-Imam al-Qurthubi?
2.       Indentifikasi Kitab
3.      Bagaimana Manhaj al-Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an?

II . PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup al-Imam al-Qurthubi
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn al-Farid al-Anshari al-Hazraji al-Andalusi, beliau adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertakwa kepada Allah swt, beliau senantiasa menyibukkan diri dalam menulis dan beribadah[4].
Penulis belum mendapatkan data yang pasti kapan beliau dilahirkan, ini mungkin terjadi karena pada zaman dahulu memang sering sekali ulama sebagai orang yang terkenal, orang besar, dicatat saat wafatnya, tetapi jarang sekali diketahui dan dicatat hari kelahirannya, karena budaya mencatat tanggal lahir belum memasyarakat lagi pula orang tuanya tidak tahu kalau nanti anaknya akan menjadi ulama yang besar.
Tapi di dalam buku Ensiklopedi Agama dan Filsafat dicantumkan bahwa beliau dilahirkan di Cordova (spayol) tahun 486 H/1093 M dan wafat pada bulan syawwal tahun 567 H/1172 M[5]. Terdapat sedikit perbedaan  dengan apa yang ditulis oleh al-Dzahabi dalam tafsir wa al-Mufassirun tentang tahun wafat beliau yakni tertulis bahwa beliau wafat tepatnya pada bulan syawwal tahun 671 H[6] . Semoga senantiasa mendapat ridha’ , magfirah dan tempat yang layak di sisi Allah swt.
Beliau adalah seorang yang menempati kedudukan penting dikalangan ahli ilmu khususnya dibidang ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an[7]. Dalam hidupnya ia menumpahkan perhatiannya dalam bidang karangan yang bersifat ilmiah sehingga banyak buku yang telah disusunnya, antara lain yaitu kitab Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, al-Usna Fi Syarh al-Asma’ al-Husna, al-Tidzkar fi Afdhal al-Adzkar, Syarh al-Tuqhsa, Qam’u al-Hirsh bi al-Zuhd wa al-Qana’ah, al-Tadzkirah bi Umur al-Akhirah dan lain sebagainya[8].  

B.     Indentifikasi Kitab Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an
Kitab ini bernama al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, terdiri dari 11 jilid bersama fihrisnya, dan terdiri dari 20 juz karena disetiap jilidnya terdiri 2 juz, dikarang oleh Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn al-Farid al-Anshari al-Hazraji al-Andalusi.  Bairut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M.
Untuk lebih jelasnya pembahasan pada setiap jilid kitab tersebut akan di uraikan sebagai berikut:
1.      Jilid I
·         Juz I          : Menafsirkan surah al-Fatihah dan al-Baqarah
·         Juz 2         : Menafsirkan surah al-Baqarah
2.      Jilid II
·         Juz 3         : Menafsirkan surah al-Baqarah
·         Juz 4         : Menafsrikan surah Ali Imran
3.      Jilid III
·         Juz 5         : Menafsirkan surah al-Nisa’
·         Juz 6         : Menafsirkan surah al-Maidah dan al-An’am
4.      Jilid IV
·         Juz 7         : Menafsirkan surah al-An’am, al-A’raf, dan al-Anfal
·         Juz 8         : Menafsirkan surah al-Taubah dan Yunus


5.      Jilid V
·         Juz 9         : Menafsirkan surah Hud, Yusuf, al-Ra’du, dan Ibrahim
·         Juz 10       : Menafsirkan surah al-Hijr, An-Nahl, al-Isra’ dan al-Kahf
6.      Jilid VI
·         Juz 11       : Menafsirkan surah Maryam, Taha, al-Anbiya’
·         Juz 12       : Menafsirkan surah al-Hajj, al-Mu’minun dan al-Nur
7.      Jilid VII
·         Juz 13       : Menafsirkan surah al-Furqan, al-Syua’ra’, al-Naml, al- Qashash, dan al-Ankabut
·         Juz 14       : Menafsirkan surah al-Rum, Luqman, Sajadah, al-Ahzab,    Saba’ dan  Fathir.
8.      Jilid VIII
·         Juz 15       : Menafsirkan surah Yasin, al-Shaafat, Shad, al-Zumar, Ghafir dan al-Fusshilat
·         Juz 16       : Menafsirkan surah  al-Syura’, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Muhammad, al-Fath dan al-Hujurat.
9.      Jilid IX
·         Juz 17       : Menafsirkan surah Qaf, al-Zariyat, al-Thur, al-Najm, al-Qamar, al-Rahman, al-Waqiah, al-Hadid, al-Mujadalah 
·         Juz 18       : Menafsirkan surah  al-Hasyr, al-Muntahanah, al-Shaff, al-Jum’ah, al-Munafiqun, al-Taghabun, al-Thalaq, al-Tahrim, al-Mulk, Nun, al-Haqqah, al-Maarij, Nuh.
10.  Jilid X
·         Juz 19       : Menafsirkan surah al-Jiin, al-Muzammil, al-Muddatsir, al-Qiyamah, al-Insan, al-Mursalat, al-Naba’, al-Naziat, Abasa’, al-Takwir, al-Infithar, al-Muthaffifin, al-Insyiqaq dan al-Buruj.  
·         Juz 20       : Menafsirkan surah  al-Thariq, al-A’la’, al-Ghasyiyah, al-Fajr, al-balad, al-Syams, al-Layl, al-Dhuha, Alam nasyrah, al-Tiin, al-Alaq, al-Qadr, al-bayyinah, al-Zalzalah, al-Adiyat, al-Qariah, al-Takatsur, al-Ashr, al-Humazah, al-Fil, al-Qurays, al-Maun, al-Kautsar, al-Kafirun, al-Nashr, al-Masad, al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas.


C.    Manhaj al-Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an
Dikalangan ahli tafsir memandang bahwa tafsir al-jami’ Li Ahkam al-Qur’an atau sering juga disebut dengan tafsir al-Qurthubi, termasuk tafsir pilihan dan paling besar mamfaatnya karena pengarangnya telah menemukan metode yang luas dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an[9].
Beliau tidak hanya mencantumkan kisah-kisah dan sejarah dan memusatkan perhatian pada tafsir ayat-ayat hukum semata, akan tetapi beliau menguraikan panjang lebar dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, mengemukakan qira’ah dan kadang-kadang menghubunkannya dengan yang punya qira’ah, beliau juga mengurai masalah linguistik. Secara singkat bisa kita simak metode penafsirannya dengan penjabaran berikut:

1.      Pendekatan
Yang dimaksud dengan metode pendekatan adalah pola pikir (al-ittijah al-Fikr) yang digunakan untuk membahas suatu masalah[10]. Al-Imam  al-Qurthubi dalam tafsirnya juga menggunakan beberapa pendekatan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an  seperti:
a)      Pendekatan Syar’i (fiqhi)
Pendekatan ini berusaha mengkaji al-Qur’an dengan mengeluarkan hukum-hukum Islam produk istimbat yang diyakini, hukum tersebut secara bertahap digali hingga sampailah pada era perhatian terhadap produk istimbat[11] seperti :
¨@Ïmé& öNà6s9s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$#ß]sù§9$# 4n<Î)öNä3ͬ!$|¡ÎS 4  ... (البقرة : 187)
Al-Imam al-Qurthubi setelah memberikan tafsiran terhadap ayat diatas, beliau lalu mengulas beberapa pendapat ulama mengenai “orang yang makan dan minum disaat berpuasa karena lupa” lalu memberikan  tarjih  seperti pada  perkataannya.[12]
قلت وهو الصحيح, وبه قال الجمهور ان من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه وان صومه تام لحديث أبي هريرة قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم اذا أكل الصائم ناسيا أو شرب ناسيا فانما هو رزق ساقه الله تعالي اليه ولا قضاء اليه
 

b)     Pendekatan Linguistik
Pendekatan linguistik adalah pendekatan yang lebih cenderung mengandalkan kebahasaan, dalam pendekatan ini di tekankan pentingnya bahasa dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an,[13]pendekatan ini sangat banyak digunakan oleh beliau dalam memberikan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an seperti ketika menafsirkan ayat berikut[14]:
اهدنا الصراط المستقيم (الفاتحة : 6)--- اهدنا دعاء ورغبة من المربوب الي الرب, والمعني : دلنا علي الصراط المستقيم وأرشدنااليه ,وارنا طريق هدايتك الموصلة الي انسك وقربك .الصراط المستقيم هو دين الله الذي لايقبل  من العباد غيره وقال عاصم الأحول عن أبي العالية (الصراط المستقيم) رسول الله وصاحباه ومن بعده .                                                                      


2.      Sumber Data
Dalam tafsir al-Qurthubi terlihat jelas pengarang kitab ini juga menggunakan ra’yu dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an seperti ketika beliau memberikan defenisi pada kalimat Qulubuhum Maradh pada ayat berikut[15]
في قلوبهم مرض فزادهم الله مرضا ... (البقرة : 10) والمرض : عبارة مستعارة للفساد الذي في عقائدهم وذلك اما أن يكون شكاونفاقا واما جهدا وتكذيبا والمعني قلوبهم مرض لخلوها عن العصمة والتوفيق والرعاية والتأييد.                   
Disamping penggunaan ra’yu beliau juga tidak terlepas dari penggunaan ma’tsur dalam memberikan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an seperti ketika beliau menafsirkan surah al-fatihah , sebelum memulai penafsirannya beliau lebih awal mengemukakan fadhilah dan nama surah al-fatihah dengan mengutip beberapa hadis Nabi saw seperti[16]:
 روي الترمذي عن أبي بن كعب قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم ما أنزل في التوراة ولا في الانجيل مثل أم القرأن وهي مقسومة بيني وبين عبدي ولعبدي ماسأل                                                                 . وقوله (الحمد لله)روي أبو محمد عبد الغني بن سعيد الحافظ من حديث أبي هريرة وأبي سعيد الخدري عن النبي قال اذاقال العبد الحمد لله قال صدق عبدي الحمد لي                                                                                    
3.      Tehnik Interpretasi
a)      Interpretasi  Sosio-Historis
Interpretasi ini menekankan  pentingnya memahami kondisi aktual ketika al-Qur’an diturunkan (al-Azbab al-Nuzul)[17], hal ini berpijak bahwa pada suatu landasan factual bahwa terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan berkaitan dengan peristiwa-peristiwa atau kasus-kasus tertentu sebagai contoh di sini dapat dikemukakan tentang penginterpretasian kata al-Tahlukah pada ayat berikut:
وانفقوا في سبيل الله ولاتلقوا بأيديكم الي التهلكة... (البقرة :195)
            Menjelang turunnya ayat diatas ada suatu kasus di mana seorang sahabat membagi-bagi harta perbekalan perangnya  kepada sahabat lainnya hingga habis, dengan demikian maka yang dimaksud dengan al-Tahlukahdalam ayat ini adalah membiarkan diri terpuruk dalam kesengsaraan dan kelaparan[18].
b)     Interpretasi  Kultural
Untuk dapat memahami al-Qur’an dengan baik harus memampaatkan konsep pengetahuan yang mapan, penggunaan pengetahuan inilah yang disebut dengan tehnik interpretasi cultural, penggunaan tehnik ini beracu pada asumsi bahwa pengetahuan yang benar tidak bertentangan dengan al-Qur’an tapi justru dimaksudkan mendukung kebenaran al-Qur’an[19].
 Penafsiran al-Qur’an melalui tehnik ini sesungguhnya dapat ditemukan dalam tradisi akademik para sahabat sebagaimana yang dijelaskan al-Qurthubi dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat berikut:
ولاتقتلوا أنفسكم ان الله كان بكم رحيما(النساء :29)            ...
            Menurut riwayat yang ditakhrij Abu Daud, Amru bin Ash perna berdalil dengan ayat ini ketika ia berpendapat tidak wajib mandi junub dengan air yang sangat dingin karena takut membahayakan kehidupan, peristiwa ini terjadi pada perang Zat al-Salasil dan ini pun ditaqrirkan oleh rasulullah ketika beliau mendengar laporan kejadian itu, beliau hanya tersenyum sepatah kata pun tidak memberikan komentarnya[20].
c)      Interpretasi  linguistik
Pada tekhnik ini, ayat al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan kaedah-kaedah bahasa baik dari segi etimologis, leksikal, maupun gramatikal[21]. Penggunaan tehnik ini berdasar bahwasanya al-Qur’an diturunkan dalam berbahasa arab sebagaimana yang dipaparkan dalam al-Qur’an surah al-Ra’du ayat 37.
            Al-Qurthubi dalam tafsirnya juga banyak menggunakan tehnik ini sebagai salah satu langkah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, seperti ketika beliau menafsirkan ayat berikut[22]:
الذين يؤمنون باا لغيب ويقيمون الصلوة وممارزقنهم ينفقون (البقرة : 3) قوله (الذين) في موضع خفض نعت للمتقين ويجوز الرفع علي القطع أي هم الذين, ويجوز النصب علي المدح .وقوله (يؤمنون) يصدقون, والايمان في اللغة التصديق وقوله (باالغيب ) الغيب في كلام العرب : كل ما غاب عنك .وقوله (ويقيمون الصلاة)معطوف جملة علي جملة, واقامة الصلاة أداؤها بأركانها وسننها وهيئتها في او قاتها ...                                                  

4.      Analisis
Al-Qurthubi dalam tafsirnya, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara membagi-bagi ayat al-Qur’an kepada beberapa bagian dalam satu surah misalnya beliau menafsirkan ayat per ayat kemudian dalam satu ayat itu dipaparkan asbab al-Nuzulnyakalau ada, kemudian  memenggal ayat tersebut menjadi beberapa kata lalu menjelaskan kosa katanya, juga aspek qiraat dan nahwunya barulah beliau mengunkap sejumlah pendapat ulama yang terkait terutama yang berbicara hukum lalu  beliau memberikan tarjih sebagai hasil ijtihadnya.

5.      Penyajian
Metode penyajian yang digunakan beliau dalam kitabnya adalah dengan memilah-milah beberapa ayat al-Qur’an misalnya dalam satu surah ayatnya dibagi menjadi beberapa bagian, kemudian dalam satu ayat dipenggal menjadi beberapa kata, dan setelah itu barulah beliau memberikan pembahasan secara rinci dengan memberikan penjabaran kosa kata, aspek gramatikal, aspek qira’ah, menyebutkan asbab al-Nuzul, menyebutkan berbagai pendapat ulama yang terkait tertutama ketika membahas ayat-ayat hukum serta beliau tak lupa mentarjih dari pendapat-pendapat tersebut.       

6.      Penulisan
 Metode penulisan yang digunakan oleh al-Qurthubi dalam  kitab tafsirnya adalah metode tahlili dimana beliau telah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan dari awal hingga akhir berdasarkan susunan mushaf, Ia menjelaskan ayat demi ayat, surah demi surah dengan menjelaskan makna mufradatnya serta beberapa kandungan lainnya.


III . PENUTUP/KESIMPULAN


Dari pemaparan makalah diatas, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai beikut:
1.      Nama lengkap al-Qurthubi adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn al-Farid al-Anshari al-Hazraji al-Andalusi, beliau adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertakwa kepada Allah swt, beliau senantiasa menyibukkan diri dalam menulis dan taat beribadah kepada Allah. Beliau dilahirkan di Cordova tahun 486 H dan meninggal tahun 671 H. Semoga senantiasa mendapat ridha’ magfirah dan tempat yang layak disisi Allah swt.
2.      kitab tafsir al-Qurthubi terdiri dari 11 jilid bersama fihris-nya, 20 juz karena disetiap jilidnya terdiri dari 2 juz dan telah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan dari awal hingga akhir berdasarkan susunan mushaf.
3.      Metode yang digunakan al-Qurthubi dalam tafsir-nya, antara lain:   berusaha mengkaji al-Qur’an dengan mengeluarkan hukum-hukum Islam produk istimbat yang diyakini, menjelaskan sebab turunnya ayat, menyebutkan perbedaan bacaan dan bahasa, memilih-milih perkataan fuqaha,  serta mengadopsi pendapat-pendapat ahli tafsir pendahulunya setelah menyaring dan mengomentarinya, seperti Ibnu Jarir, Ibnu Athiya, Ibnu al-Arabi, al-Jasshash dan lain-lain.




DAFTAR PUSTAKA



Al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II, Cet II; Kairo: Maktabah al-Wahbah, 1424 H/2003 M.

Ali, Mahmud Nuqrasyi al-Sayyid al-Tafsir wa Rijaluh Baina al-Haqiqah wa al-Ifthira’ Cet I; kairo: Dar al-Fikr al-Islamy, 1422 H/2001 M.

Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an diterjemahkan oleh Muzdzakir As, dengan judul Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an Cet. III; Jakarta: PT. Pustaka Antar Nusa, 1996.

Al-Qurthubi, Abi Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari’, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Jilid I, II dan III,  t. Cet. Bairut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M.

Effendy, Mochtar Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid V , Cet I; Universitas Sriwijaya, 2001.

Quthan, Manna’ul, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Halimuddin, dengan judul Pembahasan Ilmu al-Qur’an Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995.

Salim, Abd Muin, Metodologi Ilmu Tafsir Sebuah Rekontruksi Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagi Disiplin Ilmu (Orasi pengukuhan  Guru Besar IAIN Alauddin, 1999)

Suryadilaga, M. Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir  Cet I; Yogyakarta: Teras, 2005.

Syurbasyi, Ahmad Qishhatul Tafsir, diterjemahkan oleh Zufran Rahman, dengan judul Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-karim Cet I; Jakarta: Kalam Mulia, 1999.




[1]Manna’ul Quthan, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan Halimuddin, Pembahasan Ilmu al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995), h. 221
[2]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an diterjemahkan Muzdzakir As, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: PT. Pustaka Antar Nusa, 1996), h. 520
[3]Abi Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari’ al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Jilid I ( t. Cet. Bairut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M), h. 15
[4]Ibid., h. 11
[5]Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid V (Cet I; Universitas Sriwijaya, 2001), h. 71
[6]Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II (Cet II; Kairo: Maktabah al-Wahbah, 1424 H/2003 M), h. 336 
[7]Ahmad Syurbasyi, Qishhatul Tafsir, diterjemahkan Zufran Rahman, Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-karim(Cet I; Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 222
[8]Mahmud Nuqrasyi al-Sayyid Ali, al-Tafsir wa Rijaluh Baina al-Haqiqah wa al-Ifthira’ (Cet I; kairo: Dar al-Fikr al-Islamy, 1422 H/2001 M), h. 163 
[9]Ahmad Syurbasyi, Op Cit., h. 222
[10]M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Cet I; Yogyakarta: Teras, 2005), h. 138
[11]Ibid., h. 141
[12]Al-Qurthubi, Op Cit Jilid I, h. 300
[13]M. Alfatih Suryadilaga, Op Cit h. 143
[14]Al-Qurthubi, Op Cit Jilid 1, h. 143
[15]Ibid., h. 192
[16]Ibid., h. 128
[17]M. Alfatih Suryadilaga, Op Cit h. 142
[18]Al-Qurthubi, Op Cit jilid II, h. 337
[19]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir Sebuah rekontruksi Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagi Disiplin Ilmu (Orasi pengukuhan  Guru Besar IAIN Alauddin, 1999), h. 35
[20]Al-Qurthubi, Op Cit jilid III, h. 137
[21]Abd. Muin Salim, Op Cit h. 34
[22]Al-Qurthubi, Op Cit jilid I,  h. 158

0 komentar

Posting Komentar