BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam tata hukum Indonesia, hukum Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Hukum Islam merupakan salah satu unsur dalam pembangunan hukum nasional, selain hukum adat dan hukum Barat.
Pentingnya posisi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional, tidak terlepas dari situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Dalam kaitan ini, Ismail Saleh sewaktu masih menjabat Menteri Kehakimam, dalam salah satu tulisannya di Harian Kompas, seperti dikutip Moh. Daud Ali, menyatakan antara lain bahwa “… tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar rakyat Indonesia terdiri dari pemeluk agama Islam”. Agama Islam menurutnya, mempunyai hukum Islam dan secara subtansial, terdiri dari dua bidang, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah.
[1] Pengaturan hukum yang bertalian dengan bidang ibadah, bersifat rinci. Sedangkan pengaturan mengenai muamalah, tidak bersifat rinci, melainkan hanya prinsip-prinsipnya saja. Adapun pengembangan dan aplikasi prinsip-prinsip yang disebut terakhir, diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara negara dan pemerintahan, yakni uliy al-amri. Dalam keadaan demikian, hukum Islam mampu membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya. Oleh karena itu, jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiah adanya teranspormasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan relevan dengan kebutuhan hukum bagi umat Islam.
Jalan pikiran yang membawa kepada argumen bahwa agama Islam tidak identik dengan orang-orang Islam. Dalam artian bahwa agama Islam tidak salah, sedangkan kesalahan yang biasanya didapati adalah bagi pemeluknya.
Nasionalisme Indonesia mencoba mendapatkan dari keadaan-keadaan yang ada atau menciptakan sesuatu yang baru, yang dapat diterima oleh semua kelompok dan kelihatannya berhasil melakukan modernisme di indonesia. Modernisme Islam Indonesia khususnya, sebagaimana dikemukakan oleh Haji Agus Salim, pada dasarnya bercorak inklusivitas.[2]Jadi, seorang muslim adalah seorang senantiasa moderen, maju, progresif, terus menerus mengusahakan perbaikan-perbaikan bagi diri dan masyarakat.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa hukum Islam tak mungkin dilepaskan dari pembinaan hukum Nasional. Ia telah menjadi bagian integral dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Islam di indonesia adalah sebuah agama yang hidup dinamis dan kini sedang bergumul dalam proses tarnsformasi yang bergerak dari status kuantitas. Pergumulan ini sebagai fenomena sosio kultural yang amat menarik, sebab hal itu terjadi justru pada saat Islam mengalami kemacetan karena politik.[3]
Modernitas atau dengan kata lain kemoderenan, suatu sikap modern yang tampaknya hanya mengandung kegunaan peraktis langsung, tetapi pada hakekatnya mengandung arti yang lebih mendalam lagi, yaitu kebenaran mutlak kepada Allah. Jadi, agaknya mengejutkan kalau modernitas membawa kepada taqarrub dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Seorang modernis berpendapat bahwa hanya nilai-nilai yang dapat dijadikan dasar atau ide-ide yang diimport dari Eropa. Sadar atau tidak, ia menganggap nilai-nilai itu lebih tinggi dari Islam.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan dalam Makala ini yaitu:
1. Bagaimana modernisme dalam hukum Islam?
2. Bagaimana modernisme dan reformasi dalam pranata sosial?
3. Bagaimana reformasi hukum Islam di Indonesia?
4. Bagaimana reformasi pranata sosial di Indonesia?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini tentunya untuk memberikan referensi dan menambah disiplin ilmu terkait:
1. Moderenisme dalam hokum islam
2. Moderenisme dan reformasi dalam pranata social
3. Reformasi hokum islam di Indonesia
4. Reformasi pranata social di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Modernisme dalam Hukum Islam
Modernisme dalam Islam adalah rangkaian pikiran dan aliran dalam ijtihad untuk berfikir yang rasional dan untuk merubah paham-paham atau adat istiadat yang harus disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan yang ada pada saat sekarang ini, tanpa meninggalkan nilai-nilai yang Islami. Oleh sebab itu, peluang senantiasa terbuka dan harus dilakukan dengan memperhatikan implikasi sosial dari penerapan produk pemikiran hukum tersebut. Dalam bahasa teradisonal, dunia dibagi atas: (1) dar al-islam (tempat di mana Islam sebagai agama mayoritas mengendalikan pemerintahan), yakni hukum sakral Islam atau syariah, mengatur kehidupan manusia; (2) dar al-shulh (tempat di mana umat Islam sebagai minoritas, tetapi berada dalam kedamaian dan dapat melaksanakan agama mereka secara damai dan bebas); (3) dar al- harb (tempat di mana umat Islam bukan saja minoritas, tetapi juga mereka dalam keadaan konfrontasi yang harus berjuang menghadapi lingkungan sosial dan politik eksternal untuk dapat mengajarkan ajaran agamanya). Oleh karena itu, peluang yang harus dilakukan adalah ijtihad dari segi tinjauan pikiran, karena ini merupakan paling penting dalam pembinaan perkembangan hukum Islam yang tidak lepas berpatokan kepada nas-nas yang ada.[4]Justru itu, peranan ulama sangat besar dalam berijtihad untuk menjawab tantangan sosial di masa yang akan datang. Dengan perinsip itu, hukum memiliki berbagai fungsi, yaitu: Pertama, fungsi transformasi keyakinan pada kekuasaan dan kehendak Allah dan Rasul-Nya ke dalam nilai-nilai etik dan moral, yang dijadikan rujukan prilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Kedua, mengatur berbagai bidang kehidupan manusia yang diinternalisasikan ke dalam pranata sosial yang tersedia atau menjadi cikal bakal pranata sosial yang baru. Ketiga, fungsi mengikat, manakala dilakukan transaksi sosial di antara manusia, baik antara individu maupun antara individu dengan masyarakat, termasuk yang berkenaan dengan hak hak-hak kebendaan. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh kekuasaan kolektif yang memiliki legalitas publik dan kelengkapan alat, dalam hal penyelenggara kekuasaan yudisial dan aparatur negara dalam bentuk keputusan pengadilan.
B. Modernisme dan Reformasi dalam Pranata Sosial
Modernisasi dan reformisme erat kaitannya dalam hal peranata sosial, khususnya dalam hukum Islam, karena masing-masing berupaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan atau penyempurnaan terhadap pemahaman-pemahaman yang baru, tanpa meninggalkan nas dalam Alquran dan Hadis. Modernisme dalam pranata sosial adalah aliran-aliran yang mengeluarkan gagasan-gagasan untuk mengubah tradisi politik, ekonomi, dan sosial yang tidak sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat modern, yang harus disesuaikan dengan kebutuhan sosial.
Reformasi dalam bidang ibadah harus menyangkut semua dimensi kehidupan manusia, perbuatan yang bernilai ibadah harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan diaktualisasikan dengan bidang muamalah. Begitu pula yang bersifat sosial kemasysrakatan, harus dilandasi dengan pesan-pesan moral yang tertuang dalam ibadah ritual, sehingga segala perbuatan adalah dalam rangka pengabdian kepada Allah.
Reformasi dalam hukum, harus disemangati untuk menegakkan kebenaran di atas segala-galanya, karena kebenaran yang berasas pada landasan moral, norma agama, dan sosial, sehingga paradigmanya merupakan kebenaran konstitusional. Dalam kehidupan ini, seringkali hukum dimarjinalkan yang mengandung unsur kebenaran.
C. Reformasi Hukum Islam di Indonesia
Reformasi muncul sebagai akibat adanya desakan yang sangat kuat dari arus bawah yang dimotori oleh kelompok umat Islam, menuntut perlunya diadakan reformasi. Seperti halnya, kehadiran Undang-undang Peradilan Agama pada tahun 1989, tentu saja semakin meniupkan angin segar bagi kaum muslimin setelah hampir seabad yang mendambakan suatu lembaga peradilan agama yang seragam dan mandiri.
Untuk memperoleh gambaran awal mengenai kedudukan dan wewenang Peradilan Agama yang diajukan ke DPR, muncul banyak tanggapan. Tokoh sentral pembaharu Islam, Norcholish Madjid mengatakan bahwa RUUPA memang sudah menjadi tuntutan pembangunan hukum nasional, tetapi jangan ada kesan inklusif. Dengan sambutan hangat masyarakat Islam, kelompok Kristen dan nasionalis sekuler memperlihatkan rasa tidak senangnya terhadap RUUPA yang diajukan pemerintah tersebut. Sampai-sampai Persekutuan Gereja Indonesia merasa perlu mengadakan sidang majlis yang berlansung di Caringin, khusus membahas RUUPA itu. Dalam konsensusnya, mereka khawatir kalau RUU itu mengganggu konsensus nasional yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat.[5]
Kenyataan politik yang dialami umat Islam mulai awal penjajahan sampai sekarang, permasalahan yang mesti dipecahkan kaum intelektual Islam adalah persoalan tentang umat Islam yang selalu dipojokkan sebagai anti Pancasila, padahal sila-silanya tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam? Kemudian sikap kaum muslimin terhadap arus modernisasi yang menjadi landasan kebijakan Orde Baru. Yang perlu dipikirkan adalah cara melakukan terobosan-terobosan untuk mengembangkan daya gerak psikologis umat Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran baru, menurut Bachtiar Effendi, membawa tiga implikasi:
1. Mereformulasikan dasar-dasar keagamaan/teleologis politik;
2. Mendefinisikan ulang cita-cita politik islam;
Dalam kaitan ini, Nurcholish Madjid lebih banyak melakukan elaborasi pikiran-pikiran Islam, dalam hubungannya dengan modernisasi sosial politik umat Islam Indonesia kontemporer. Rumusan pemikiran baru lebih bersifat empirik dan berusaha menghindari kesan apologetik, sehingga gagasan tentang hubungan Islam dengan modernisasi, berbeda dengan kaum reformis. Meskipun umat Islam yang mayoritas di Indonesia, namun kontribusinya terhadap hukum Islam sangat sedikit. Menurut Nurcholish Madjid, umat Islam menghadapi dua pilihan, antara keharusan pembaharuan dan mempertahankan sikap teradisional.
Upaya penciptaan ketentuan-ketentuan hukum baru sebagai jawaban atas tuntutan zaman, membutuhkan daya cipta dan kreativitas kemampuan memperediksi kemungkinan-kemungkinan untuk beberapa masa mendatang, sangat dibutuhkan.
Dalam pembinaan hukum Islam yang terambil dari syariat Islam, memiliki asas yang perlu diperhatikan. Menurut Sayuti Thalib, hukum Islam itu terdiri atas sekurang-kurangnya tiga asas, yaitu: (1) asas keadilan, (2) asas kepastian hukum, dan (3) asas kemamfaatan.[7]
Dalam pemikiran Islam, jiwa dan inti demokrasi dilaksanakan tanpa banyak gembar gembor.[8]Apabila gagasan sebagaimana yang dikemukakan Samuel Huntington tentang benturan budaya antara Barat dan Islam, apabila benar-benar dilaksanakan oleh Barat, maka Islam akan ditindas habis-habisan. Menghadapi tantangan-tantangan baru ini, gagasan modernisme Islam tumbuh seiring dengan gerakan nasionalis lokal yang mulai dirasakan.
D. Reformasi Pranata Sosial di Indonesia
Pranata sosial dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: Pertama, ia merupakan aktualisasi hukum Islam yang bertumpu pada interaksi sosial yang mempola, setelah mengalami pergumulan dengan kaidah-kaidah lokal yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Setelah itu, terjadi adaptasi dan modifikasi dengan hukum Islam dengan kaidah lokal, yaitu proses sosialisasi dan institusionalisasi hukum Islam terjadi dalam hubungan timbal balik dengan kaidah- kaidah lokal yang dianutnya. Kedua, pranata itu merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam masyarakat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi ini mengacu kepada keyakinan tentang benar atau salah. Ia merupakan perwujudan amal saleh sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi sosial.[9]
Pranata hukum secara ideal dan materi hukum, harus mengandung kepastian hukum supaya ketertiban hukum dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Materi hukum harus dapat menumbuhkan kepatuhan hukum serta tanggung jawab sosial pada setiap warga negara, supaya tenteram dalam masyarakat. termasuk penyelenggara negara. Materi hukum harus dapat memberi rasa aman dan tenteram, mendorong kreativitas dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan.
Adapun Perubahan sosial yang bisa saja terjadi dalam keluarga, yang mendasar adalah tumbuhnya kesadaran hukum individual dengan model berikut:
1. Emansipasi memberi jaminan bagi kaum wanita pekerja ke arah yang memudahkan terjadinya perceraian;
2. Kuatnya kesadaran akan hak individual, dapat menimbulkan marital rape dalam hubungan suami isteri;
3. Anak sadar akan haknya antara lain to love ho me,sehingga dapat menuntut perolehannya kepada orang tua melalui pengadilan;
4. Jika terjadi pemukulan terhadap anak sebagai wujud tanggung jawab, dipandang sebagai perbuatan pidana;
5. Sadar akan hak individual, maka konflik rumah tangga dalam hal yang more confidential yang pantang diungkap di pengadilan, maka dapat menjadi faktor utama terjadinya perceraian.[10]
Adapun unsur pelaksanaan hukum, turut menentukan tumbuh tidaknya kesadaran hukum dalam masyarakat, yang berimbas pada terjaminnya ketertiban sosial. Dengan posisi itu, aparat penegak hukum dituntut untuk menunjukkan prestasi dan kerja keras seobyektif mungkin.
Adapun yang harus dimiliki aparat penegak hukum adalah sikap mental yang baik. Mereka seharusnya bekerja semata-mata untuk menegakkan hukum dan kebenaran, demi terwujudnya ketertiban sosial. Dalam melaksanakan tugasnya, mereka tidak berperestasi apa-apa kecuali penegakkan yang hak dan menghilangkan kezaliman.
Sikap mental yang baik yang dimiliki para penegak hukum, akan membuat masyarakat tunduk dan patuh pada setiap ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku.
Dalam hal pembentukan materi hukum, yang harus diperjuangkan agar materi hukum yang dibentuk, baik melalui kodifikasi maupun unifikasi, pembentukan materi senantiasa berpijak pada tatanan nilai dan norma-norma yang dianut masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Modernisme dalam Islam adalah rangkaian pikiran dan aliran dalam ijtihad untuk berfikir yang rasional dan untuk merubah paham-paham atau adat istiadat yang harus disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan yang ada pada saat sekarang ini, tanpa meninggalkan nilai-nilai yang Islami.
Modernisasi dan reformisme erat kaitannya dalam hal peranata sosial, khususnya dalam hukum Islam, karena masing-masing berupaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan atau penyempurnaan terhadap pemahaman-pemahaman yang baru, tanpa meninggalkan nas dalam Alquran dan Hadis. Modernisme dalam pranata sosial adalah aliran-aliran yang mengeluarkan gagasan-gagasan untuk mengubah tradisi politik, ekonomi, dan sosial yang tidak sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat modern, yang harus disesuaikan dengan kebutuhan social.
Upaya penciptaan ketentuan-ketentuan hukum baru sebagai jawaban atas tuntutan zaman, membutuhkan daya cipta dan kreativitas kemampuan memperediksi kemungkinan-kemungkinan untuk beberapa masa mendatang, sangat dibutuhkan.
Pranata sosial dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: Pertama, ia merupakan aktualisasi hukum Islam yang bertumpu pada interaksi sosial yang mempola, setelah mengalami pergumulan dengan kaidah-kaidah lokal yang dianut oleh masyarakat Indonesia.Kedua, pranata itu merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam masyarakat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
B. Saran
Semoga makalah ini memberikan manfaat terkait moderenisasi hokum. Kepada para pembaca agar kiranya mengambil referensi lain sebagai bahan pertimbangan. Saran dan masukan sangat diharapkan demi penyempernaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Rahman Haji. Pemikiran Islam di Malaysia, Sejarah dan Aliran. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Ali, Mohammad Daud. Asas-asas Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Aminuddin dan Mohtar Mas’oed. Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Bisri, Cik Hasan, dkk. Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Esposito, John L. dan John O Voll. Demokrasi di Negara-negara Muslim. Cet. I; Bandung: Mizan, 1999.
Esposito, John L. Identitas Islam pada Perubahan Sosio Politik, alih Bahasa A. Rahman Zainuddin. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Hasan, Sofyan dan Warkum Sumitro. Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia. Cet. I; Surabaya: Usaha Nasonal, 1994.
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan ke Indonesiaan. Cet. XI; Bandung: Mizan, 1998.
Rahman, Mohamed Ali Abdul. Al-I’tibar: Mengembangkan Ilmu Agama Islam. Cet. II; Jakarta: CV Rajawali, 1996.
Tebba, Sudirman. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Cet. I; Bandung: Mizan, 1993.
Thalib, Sayuti. Asas-asas Hukum Nasional yang Sejajar dengan Asas-asas Hukum Islam.Jakarta: BPHN, 1983.
Tim Penyusun. 70 Tahun H. Munawir Sjadzali: Kontektualisasi Ajaran Islam. Cet. I; Jakarta: IPHI, 1995.
[1]Lihat Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1990 ), h. 242.
[2]Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan ke Indonesiaan (Cet. XI; Bandung: Mizan, 1998), h.90.
[3]Lihat Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Surabaya: Usaha Nasonal, 1994 ), h. 14.
[4]Lihat Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 164.
[5]Lihat Aminuddin dan Mohtar Mas’oed, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 143.
[6]Lihat ibid.
[7]Lihat Sayuti Thalib, Asas-asas Hukum Nasional yang Sejajar dengan Asas-asas Hukum Islam(Jakarta: BPHN, 1983), h. 86.
[8]Lihat Tim Penyusun, 70 Tahun H. Munawir Sjadzali: Kontektualisasi Ajaran Islam (Cet. I; Jakarta: IPHI, 1995), h.380.
[9]Lihat Cik Hasan Bisri, dkk., Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 61.
[10]Lihat ibid., h. 62.
0 komentar
Posting Komentar