Selasa, 06 September 2016

HUKUM DAN KEKUASAAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Masalah hukum dan kekuasaan merupakan salah satu persoalan penting dalam filsafat hukum. Keduanya sering diungkap dalam satu bahasan, namun juga dibahas dalam tinjauan terpisah.
            Dengan memahami hakekat  hukum dan kekuasaan secara mendasar, akan mengantar pada pembentukan  dan penegakan  hukum disatu sisi dan perolehan  sreta pelaksanaan kekuasaan disisi lain yang senantiasa lebih arif dan bijaksana.
Didalam kehidupan bermasyarakat misalnya, telah diatur hak dan kewajibannya yaitu dengan menetapkan cara bertingkah-laku serta keharusan untuk mentaatinya, lalu jka persoalan ketaatan itu hanya diserahkan sepenuhnya kepada kemauan bebas orang perorang, maka apa yang menjadi tujuan penegakan hukum sulit tercapai. Dalam konteks ini  perlu adanya suatu penendali berupa lembaga kekuasan dapat memaksa denga suatu sanksi agar manusia mentaati hukum.
            Perbincangan tentang pemaksaan dalam rangka mentaati hukum tersebut dengan sendirinya akan menyentuh permasalahan substansi kekuasaan yang punya kemampuan serta kewenangan untuk menggunakan potensi paksaannya. Dalam kondisi seperti inilah namak keterkaitan erat antara hukum dan kekuasaan.

            Dalam makalah ini, masalah hukum dan kekuasaan tersebut akan dipaparkan dalam rangka pemahaman untuk selanjutnya dapat memberi pengaruh pada perilaku untuk mentaati hukum. Untuk itu permasalahan disekitar hukum dan kekuasaan menarik untuk dipaarkan . Karenanya menjadi latar belakang untuk mengangkat dalam makalah ini dengan judul “hukum dan kekuasaan”.

B. Permasalahan.
            Sebagai titik tolak dalam rangka pembahasan disekitar hukum dan kekuasaan seperti tersebut pada uraian latar belakang di atas, maka perlu diangkat pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah hukum dan kekuasaan itu ;
2. Bagaimana pertalian antara hukum dan kekuasaan ;
3. Bagaimana efektifitas dan ketaatan terhadap hukum ;
4. Bagaimana  konsepsi  hukum  dan   kekuasaan  dalam   perundang-undangan   di Indonesia.
C. Maksud dan tujuan Penulisan.
            Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Hukum” pada program Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas Muslim Indonesia, yang sekaligus bertujuan menambah wawasan serta memperdalam kajian hukum khususnya tentang konsepsi hukum dan kekuasaan, serta implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat yang sadar akan perlunya efektivitas  hukum dalam rangka pencapaian tujuannya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian hukum dan Kekuasaan
            Pengertian hukum dan kekuasaan dari segi kekuatan dan penggunaannya terkadang sulit dibedakan, walaupun secara tersendiri mempunyai arti yang berbeda. Menghindari kekaburan yang berbeda, diperlukan suatu pengertian dari masing-masing hukum dan kekuasaan tersebut.

a. Pengertian Hukum
            Hukum dalam bahasa Yunani disebut “Ius “ , dalam bahasa Inggeris disebut “law” dan dalam bahasa Belanda disebut “recht”.
            Selanjutnya, walaupun hukum itu sulit didefenisikan, namun banyak pakar tetap memberikan pengertian. Dan sebagai pedoman cukup kiranya memperhatikan pengetian yang dikemukakan oleh Simorangkir dan Wiryono Sastropronoto,  ( 1957 : 6 ),  Bahwa hukum itu adalah “peraturan--peraturan yang  bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukum yaitu dengan hukuman tertentu”.
            Dari pengertian di atas dapat ditarik beberapa unsur yaitu :
1. Hukum itu berupa peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam masyarakat.
2. Hukum itu bersifat memaksa ;
3. Peraturan-peraturan itu dibuat oleh lembaga yang berwenang,;
4. Dan peraturan-peraturan itu mempunyai sanksi atau ancaman hukum.
            Dengan pengertian diatas memberikan pemahaman bahwa masyarakat bersedia menerima hukum karena menyadari bahwa kadang kepentingan individual dan atau golongan lebih dominan sehingga diperlukan adanya tatanan normatif yang dikokohkan dengan sistem sanksi . Hans Kelsen ( 1973 : 50 ) menyebutkan “ The sanctions of law have the character of coercive acts in the sense developed above “. Jika demikian, tatanan itu memaksakan anggota masyarakat yang tidak taat agar kelangsungan hidup masyarakat dapat dipertahankan .
            Mengungkap makna hakekat dan sifat menurut pandangan aliran filsafat positivisme hukum, secara harfiah dapat dibedakan bahwa unsur daya paksa itu adalah suatu sifat hukum sedang hakekat hukum pada dasarnya berpangkal tolak pada hubungan antara manusia dalam dinamika kehidupan masyarakat, yang berupa sebagai proses sosial pengaturan cara bertingkah laku. Selain itu hakekat hukum adalah bertumpu pada ide keadilan dan kekuatan moral .
            Ide keadilan tidak pernah terlepas dari kaitan hukum , ia adalah suatu hakekat dari hukum . Demikian pula kekuatan moral, adalah unsur hakekat hukum, sebab tanpa adanya moralitas , maka hukum akan kehilangan supremasi ( imperative mood ) dan ciri independensinya. Bahkan keadilan ataupun ketidak adilan itu menurut hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia . Hal ini melahirkan masalah-masalah yang memerlukan kajian tersendiri.
b.Pengertian kekuasaan
            Pengertian kekuasaan  dalam bahasa Belanda disebut “Macht “, dalam bahasa ingeris disebut “Otoritie “.
            Menurut pandangan politik, kekuasaan adalah merupakan hakekat dari suatu politik karena proses politik tidak lain adalah serangkaian peristiwa yang hubungannya satu sama lain didasarkan atas kekuasaan , seperti yang dinyatakan oleh Joseph Roucek (Cheppy Haricahyono, 1986; 186 ) “ ... the central problem of politics is thet of the distinction and control of power. Politics is the quest for power and political relationships are power relationships, actual or potential “.
            Selanjutnya, menurut Meriam Budiardjo ( 1982 :10) kekuasaan adalah “Kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku. “
            Pengertian kekuasaan diatas, kendati bermakna sosiologis namun secara realistis mengingatkan bahwa manusia hidup pada dasarnya mempunyai berbagai keinginan dan tujuan yang hendak diraih. Dalam konteks ini , demikian pula yang terjadi pada kekuasaan yang dimiliki oleh negara , tidak terbatas pada kehidupan dibidang politik semata, tetapi dibidan hukum pun kekuasaan senantiasa seiring dan bergandengan .
            Agar kekuasaan itu kokoh, memerlukan legitimasi, dalam hal ini terutama legitimasi etis. Etika politik menuntut agar kekuasaan sesuai dengan hukum yang berlaku ( legalitas ) perlu disahkan secara demokratis ( legitimasi demokratis ) dan tidak bertentangan dengan perinsip-perinsip moral ( legitimasi moral). kesemuanya itu merupakan tuntutan yang dapat disebut legitimasi normatif atau etis, karena


berdasarkan keyakinan bahwa suatu kekuasaan hanya sah secara etis manakala sesuai dengan tuntutan legitimasi tersebut.
            Apabila legilitas kekuasaan diperoleh secara konstitusional dan dipergunakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka hukum mempunyai wewenang tertinggi dan penguasa berada dibawa hukum. Lili Rasyidi ( 1985  : 56 ) menyatakan : “Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak masyarakat. Maksudnya. hukum harus menjaga kekuasaan agar tidak merusak sifat dasar harkat dan martabat kodrati manusia. “
            Adapun sifat kekuasaan menurut G.J. Wolhoof ( 1955 : 210 ) terdiri dari 3 macam yaitu :               
1. Tindakan mengatur ( regeling ) yang bersifat menetapkan aturan umum .
2. Tindakan mengurus (bestuur) yang bersifat mengambil tindakan khusus yang mengenai     peristiwa kongkrit yang ditujukan buat pribadi khusus :
3. Tindakan mengadili  ( recht praak ) yang bersifat mengambil keputusan khusus untuk mengakhiri persengketaan hukum antara dua pihak.

 B. TEORI KEKUASAAN
            Kehendak ingin menguasai orang lain adalah suatu kenyataan yang ada dikalangan manusia itu sendiri, akibatnya dalam kehidupan bermasyarakat dengan mudah memperlakukan sesuatu yang dapat melecehkan martabat golongan masyarakat tertentu. Hal ini antara lain ditunjukkan dalam peraktek kekuasaan kerajaan Perancis dahulu kala.
            Dengan kondisi pemerintahan dimana kekuasaan sangat mendominasi seperti itu, muncullah Montesquieu yaitu seorang  Filosof dan ahli hukum tata Negara

Perancis yang menawarkan teori kekuasaan dalam bukunya yang terkenal  “ De Les prit des Lois “ ( Jiwa undang-undang ).
            Kekuasaan menurut Montesquieu lazim disebut teori “Trias Politika” yaitu terdiri dari 3 komponen sebagai mana yang dikemukakan G.J. Wolhoof (1955 : 209) yaitu : “ Kekuasaan perundang-undangan ( legislatif power vet  gven de macht ) ;  Kekuasaan penyelenggaraan  ( exekutif power vet voeren de macht ) ; Kekuasaan pengadilan   (yudicatif power rechterlijke macht ).”
            Menurut Montesquieu, ketiga bentuk kekuasaan tersebut harus dipisahkan dan tiap-tiap kekuasaan harus mandiri atau terpisah satu sama lain
            Pada dasarnya teori kekuasaan diatas, walaupun telah dianggap usang,  namun jelas telah mengilhami peraktek kekuasaan yang ada. Di Indonesia misalnya, pembagian kekuasaan yang demikian tetap ada, tetapi tidak bersifat mutlak, dalam arti tetap ada keterkaitan dalam bentuk koordinasi .

C. PERTALIAN ANTARA HUKUM DAN KEKUASAAN
            Hukum dalam kaitannya dengan kekuasaan ada dua sisi yang harus dibedakan yakni hukum obyektif, adalah merupakan kekuasaan yang mengatur dan hukum subyektif adalah merupakan kekuasaan yang diatur oleh hukum obyektif . Karena itu dapat dikatakan bahwa pada satu sisi hukum adalah kekuasaan, tetapi pada sisi lain kekuasaan itu belum tentu hukum. Hukum baru dapat bergerak apabila disertai dengan kekuasaan  sebagaimana yang dikemukakan Harun Utuh ( 1998 : 118 ) “Hukum dapat bergerak karena kekuasaan (power ). kekuasaan bisa bergerak karena kekuatan (force). Tetapi kekuasaan dan kekuatan harus diatur dan berdasarkan hukum. Perwujudan hukum dalam sebuah negara adalah undang-undang dan kebiasaan serta sumber hukum lainnya. Perwujudan kekuasaan adalah pemerintah atau penguasa. dan perwujudan kekuatan adalah angkatan bersenjata”.
            Dari pendapat diatas , jelas menunjukkan bahwa hukum membutuhkan adanya kekuasaan, tetapi hukum itu tidak akan membiarkan suatu kekuasaan menungganginya. Sering terjadi komplik antara keduanya disebabkan kekuasaan dalam berbagai bentuknya tidak menerima pembatasan-pembatasan, bahkan terlalu jauh mengintervensi hukum baik dalam perwujudannya maupun dalam pelaksanaan atau penegakannya..
            Yang ideal dalam hal ini ,  justru hukum harus bekerja memberikan patokan-patokan tingkah laku berupa pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan disamping menyalurkan atau memberiakan kekuasaan kepada orang-orang tertentu. Satjipto Rahardjo ( 1996 : 148 ) dalam hal ini menyatakan  :”Hukum itu merupakan sumber kekuasaan, oleh karena dialah kekuasaan itu dibagi-bagikan dalam masyarakat. “
            Pertalian antara hukum dan kekuasaan itu sangat erat, hukum memerlukan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan memerlukan pengaturan dari hukum . Sudikno Mertokusumo (1991 :20 ) menyatakan “ Hukum ada karena kekuasaan yang sah  kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum .Jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah “
            Tanpa adanya kekuasaan, maka pelaksanaan hukum dimasyarakat akan mengalami hambatan. Lagi pula suatu masyarakat dapat dikatakan tertib manakala masyarakat itu telah memiliki kesadaran hukum, dalam hal ini sangat terkait bagaimana kekuasaan itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
            Suatu kenyataan dalam masyarakat, wibawa negara (kekuasaan)  dapat dipermasalahkan oleh rakyatnya, jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang sangat mendasar terhadap tata hukum yang dijunjung tinggi oleh masyarakat,  dalam keadaan demikian ternyata  hukum mengendalikan segala perintah dari negara sehingga suatu kekuasaan yang dibangun merupakan wibawa .  Sebaliknya,  kekuasaan yang menggunakan kekerasan semata--mata ternyata tidak sanggup bertahan lama, karena ketaatan yang ada berganti dengan perlawanan terhadap wibawa  dan kekuasaan negara. Oleh karena itu  diciptakan pertalian antara hukum dan kekuasaan yang kondusip yaitu sesuai dengan kesadaran  dan kultur masyarakat serta berorientasi pada antisipasi masa depan yang dicita-citakan.

D. EFEKTIVITAS HUKUM DAN KETAATAN TERHADAP HUKUM
            Hukum sebagai penomena empiris hanya dapat dimengerti apabila hukum itu  dipandang dalam hubungannya dengan masyarakat. Sejauh mana efektif atau tidaknya hukum terlihat pada wujud keberlakuannya baik sebagai atauran sosial maupun sebagai aturan-aturan moral.
       Suatu persepsi bahwa hukum dapat exist karena adanya kekuasan fisik sebagai unsur esensial di dalamnya, tampa kekuasaan fisik, maka hukum kehilangan kapasitasnya sebagai kekuatan yang mengikat . Hal ini bersesuai dengan karakter kaedah hukum yang membedakan dengan kaedah-kaedah lainnya seperti yang dikemukakan oleh Leopold Pospisil (Achmad Ali, 1998 : 183 ) yang menamakannya sebagai “ atribute of law “ yaitu empat artibut  khas hukum sebagai berikut :
1. Atribute of authority yaitu bahwa hukum merupakan keputusan - kepeutusan dari pihak- pihak yang berkuaasa dalam masyarakat, keputusan-keputusan mana di tujukan untukmengatasi ketegangan- ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat;
2. Atribute of intention of universal applicasion yaitu  keputusan-keputusan yang mempunyai daya jangkau panjang untuk masa mendatang :
3.Atribute of obligation merupakan ciri dimana keputusan -keputusan pengawasan yang harus berisi kewajiban-kewajiban pihak pertama terhadap pihak kedua dan sebaliknya. Dalam hal ini semua pihak harus masi dalam keadaan hidup ;
4. Atribute of sanction yang menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berhuasa harus dikeluarkan dengan sanksi, yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.
Walaupun terdapat pandangan bahwa hukum itu mengatur tingkah laku orang meskipun tidak ada paksaan kekerasan.  Akan tetapi suatu kenyataan bahwa efektifitas hum tidak terlepas dari adanya unsur pemaksaan. Mengenai kaedah hukum tampa unsur pemaksaan yang sering di contohkan yaitu batas usia minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria dalam hukum perkawinan dengan alasan  semata bersipat mengatur, ternyata jika ditelusuri hal itu tidak benar . Seperti yang dikemukakan oleh ( Achmad Ali, 1998 : 185 ) bahwa ketentuan hukum  perkawinan itu memaksa pejabat yang berwenang tidak menikahkan calon mempelai yang tidak memenuhi kriteria usia kawin itu. “
            Oleh karena ancaman paksaan merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaedah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka dengan sendirinya unsur pemaksaan menjadi penentu efektifitas hukum. Karenanya. Jika suatu aturan hukum efektif misalnya, maka kemungkinan ancaman paksaannya kurang berat ataukah mungkin ancaman paksaan itu tidak terkonikasikan dengan baik. Dalam hal ini sangat terkait dengan terkait dengan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
            Selanjutnya, tingkat kesadaran hukum itu pada gilirannya mempengaruhi kualitas ketaatan terhadap hukum, apakah ketaatan itu lahir dari hati yang tulus ataukah hanya karena faktor eksternal. Mengenai kualitas ketaatan terhadap hukum tersebut menurut H. C. Khelman ( Achmad Ali, 1998 : 193 ) terdiri dari tiga jenis, yaitu :
1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena ia takut terkena sanksi;
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak;
3. Ketatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.
                 Berdasarkan pendapat di atas, maka ukuran efektifitas hukum selanjutnya adalah kualitas ketaatan masyarakat. Jika sebagian besar masyarakat menaati berarti hukum itu efektif, dan jika yang terjadi sebaliknya kebanyakan masyarakat tidak taat yang ditandai dengan terjadinya frekwensi pelanggaran dan atau kejahatan yang cukup tinggi , bahkan semakin meningkat, maka itu berarti wujud hukum tidak atau kurang efektif.
                 Apabila menghendaki penegakan hukum yang ditopang dengan kekuasaan ( power ) maka tidak ada pilihan lain kecuali mengupayakan agar hukum itu dapat exist seefektif mungkin dalam rangka mencapai hakekat tujuan hukum yang dicita-citakan

E. KONSEPSI HUKUM DAN KEKUASAAN MENURUT PERUNDANG-                              UNDANGAN  DI  INDONESIA
            Membicarakan tentang bagai mana konsepsi hukum dan kekuasaan menurut perundang-undangan di Indonesia dapat kita lihat dalam statemen bahwa “ Negara Indonesia berdasar atas hukum, (rechts staat ) dan bukan berdasar atas kekuasaan ( machts staat ). Jelasnya akan diuraikan lebih lanjut.
            Masing-masing negara didunia dapat berbeda dan bebas menentukan sistem apa yang menjadi dasar pemerintahannya. Demikian halnya indonesia, adalah Negara yang berdasarkan atas hukum ( rechts staat ), bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka ( machts staat ). Demikian yang disebutkan  dalam penjelasan resmi undan - undang Dasar   1945. seperti yang dikemukakan terdahulu , Indonesia juga mengenal pembagian kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif; Akan tetapi pembagian yang dimaksud bukan berarti pemisahan secara mutlak.
            Indonesia sebagai negara hukum , berarti segala kekuasaan dan alat-alat pemerintahannya di dasarkan dan berdasarkan atas hukum, karenanya tidak dapat ditolerir segala tindakan yang tidak berdasar dan bahkan bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Berdasarkan perundang-undangan di Indoinesia, dikenal ada 2 teori kedaulatan yang perlu ditegakkan  yaitu :

a. Teori Kedaulatan Hukum
            Teori ini berpandangan bahwa kedaulatan negara berdasarkan hukum. Hukumlah yang menjadi sumber segalanya dan harus dikedepankan atau dijunjung tinggi oleh setiap warga negara tampa kecuali. Hukum dalam pengertian ini baik dalam pengertian tertulis maupun tidak tertulis berupa kebiasaan  ketertiban  yang ditaati oleh masyarakat. Hukum dalam hal ini merupakan spirit of the people,karenanya warga negara patuh pada hukum.
             Bentuk kedaulatan hukum yang dianut diindonesia tergambar dalam ketentuan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa : “ segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya .“

b. Teori kedaulatan Rakyat
            Teori ini berpandangan bahwa kedaulatan itu bersumber pada rakyat, kekuasaan negara harus berdasarkan atas kehendak rakyat, rakyatlah yang menentukan dan berdaulat. Anggota perwakilan rakyat menjadi penentu dalam kepentingan negara, karena ditangannyalah berada kekuasaan yang tertinggi. 
            Kedaulatan Rakyat ini sering di sebut kedaulatan parlementer dan negara yang berdasarkan atas kedaulatan rakyat disebut negara demokrasi.
             Bentuk kedaulatan rakyat yang dianut  di Indonesia, jelas disebutkan dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa : “ kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majlis permusyawaratan Rakyat.”
            Dengan teori kedaulatan rakyat, maka peresiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat berbuat sewenang-wenang , kedudukannya tidak lebih sebagai mandataris dan perwakilan rakyat yang harus menjalankan haluan negara sesuai yang telah di tetapkan oleh Majlis permusyawaratan Rakyat tersebut.  
             Baik kedaulatan hukum maupun kedaulatan rakyat, keduanya merupakan bentuk kedaulatan yang dianut di Indonesia  sebagai negara berdasarkan hukum. Maksudnya,berdasar atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Dan selain itu pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi dan tidak bersifat absolutisme atau kekuasaan yang tidak terbatas . Tentang hal ini di sebutkan dalam penjelasan undang-undang Dasar 1945 sebagai berikut :

I. Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum  ( Rechts staat ).
  Negara Indonesiamberdasar atas hukum (rechts staat ) tidak berdasarkan kekuasaan belaka ( machtsstaat ).
II. Sistem Konstitusionil.
     Pemerintahan berdasar atas sistem Konstitusi (Hukum Dasar ) tidak bersifat              absolutisme (Kekuasaan yang tidak terbatas ).”
     Jadi walupun secara tegas pembukaan serta batang tubuh dari Undang-undang Dasar l945 tidak menyebutkan bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum  namun dari penjelasan ternyata diakui eksistensi supremasi hukum itu.
                 Dengan demikian maka penegakan rule of law di Indonesia berkisar pada usaha-usaha agar kekuasaan eksekutif diatur dan dibatasi oleh hukum. Dan agar kekuasaan eksekutif terikat pada hukum, maka tugas pengawasan terhadapnya haruslah diserahkan kepada kekuasaan Yudikatif.
                 Menurut Soerjono Sukanto (l983:70), Hal ini disebabkan  oleh karena disatu pihak diperlukan pencegahan (prevensi) dan tindakan (repressi) terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan eksekutif, dan dilain pihak agar supaya pengawasan terhadap eksekutif tidak diadakan secara sewengang-wenang. Mengenai hal ini, juga dipahami dari ketentuan pasal 24 Undang-undang Dasar l945, yaitu :
(1). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain -lain badan kehakiman menurut Undang-undang.
(2). Susunan dan Kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-undang .
             Eksistensi kekuasaan Yudikatif  atau kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara   rule of law adalah sangat tepat, oleh karena kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan yang merdeka , yaitu terlepas dari pengaruh ekstra judisial. Tentang hal ini, dengan tegas dinyatakan dalam pasal  1 Undang-undang nomor 14 tahun l970 sebagai berikut :
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan  peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.”
   Dengan demikian supremasi hukum dapat diwujudkan apabila telah tercipta kondisi-kondisi yang mendasari hukum itu sendiri serta keterkaitannya dengan pranata-pranat sosial lainnya. Adapun kondisi-kondisi tersebut secara minimal dapat dirumuskan:
1.  Hukum merupakan aturan umum dan jelas  sehingga mudah dipahami;
2. Hukum tidak salin bertentangan   atau  senantiasa bersesuai dengan kondisi     kultur  masyarakat  ;
3.  Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaannya.
    
BAB  III
P E N U T U P
Sebagai penutup makalah ini, akan dikemukakan beberapa simpulan dari pembahasan pada bab terdahulu sebagai berikut :
1. Sekedar pedoman tentang apa hukum itu, dikemukakan  pengertian  hukum sebagai peraturan tingkah laku yang bersifat memaksa dalam masyarakat yang di buat oleh lembaga yang berwenang, pelanggaran mana terhadap peraturan tersebut dijatuhi sanksi. Sedang kekuasaan pada hakekatnya adalah suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan yang mendapat legitimasi dari masyarakat.
2. Hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik, disatu sisi hukum memberi batas-batas pada kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dan disisi lain kekuasaan merupakan suatu jaminan bagi berlakunya hukum, tanpa kekuasaan maka pelaksanaan hukum dalam masyarakat akan mengalami hambatan. hukum dapat diberdayakan karena bantuan kekuasaan dan kekuasaan selanjutnya dapat diberdayakan dengan suatu kekuatan (force). Terjadinya konflik antara hukum dan kekuasaan justru disebabkan tidak tegasnya pembatasan-pembatasan yang mengakibatkan terjadinya saling intervensi satu dengan yang lainnya.
3. Di Indonesia dianut sistim  pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan sebagaimana ajaran trias politika. Kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif, walaupun merupakan lembaga tersendiri tetap mempunyai hubungan satu sama lain. Keberlakuan hukum secara efektif harus didukung dengan atribut -atribut hukum khususnya atribute of sanction yang dapat mengantar masyarakat pada kesadaran da n ketaatan sehingga hakekat tujuan penegakan hukum itu dapat terwujud dalam kehidupan masyrakat. Keberlakuan hukum yang demikian justru terjadi karena adanya dukungan secara timbal balik antara hukum dan kekuasaan yang ada.
4. Konsepsi hukum dan kekusaan di Indonesia tergambar dalam statemen “Indonesia adalah negara hukum (rechts staat) dan bukan negara kekuasaan (machts staat)”. Sebagai implementasinya, dianut teori kedaulatan hukum dan teori kedulatan rakyat seperti termaktub dalam penjelasan UUD 1945 jo. pasal 24 UUD 1945 jo. pasal 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970.
Demikian hal-hal yang dianggap prinsip dalam pembahasan makalah ini, semoga memenuhi maksud tugas pembelajaran filsafat hukum dan semoga bermanfaat.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Achmad Ali, 1998 , Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, PT. Yasrif Watampone ( Anggota IKAPI ), Jakarta.

Cheppy Haricahyono, 1986, Ilmu politik dan Perspektifnya, Tiara Wacana, Yogyakarta

G.J. Wolhoof, 1995, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Negara, Timun Mas, Makassar.

Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, New York.

Harun Utuh, 1998, Ilmu Hukum, Usaha Nasional, Surabaya.

Lili Rasyidi, 1985, Dasar-dasar filsafat Hukum, Alumni Bandung.

Mariam Budiarjo, 1982, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta.

Simorangkir, JCT. dan Wirjono Sastropronoto,1957, Pelajaran Hukum di Indonesia, Gunung Agung, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Sudikno Metro kusumo1991 , Mengenal Hukum, Liberty Jogyakarta

Satjipto Raharjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra Adidtya Bakti, Bandung.

Theo Huibers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisiue, Yogyakarta.

0 komentar

Posting Komentar