BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu adalah sesuatu yang mulia, yang merupakan anugrah dan nikmat dari Allah SWT yang diberikan kepada manusia agar dapat mengangkat derajat kemanusiaanya di dunia dan di akhirat, dan memang ada jaminan dari Allah tentang ketinggian derajat orang-orang yang berilmu, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Mujadilah (58) : 11
يرفع الله الذين امنوا منكم و الذين أوتوا العلم درجات
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang di berikan ilmu pengetahuan beberapa derajat”.[1]
Pengetahuan itu sendiri dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai denga rasa ragu-ragu, dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang kita sudah tahu dan apa yang kita belum tahu.[2]
Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri: Apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu ? Apakah ciri-cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan yang lainnya yang bukan ilmu ? Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar ? Kriteria apa yang kita pakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah ? Mengapa kita harus mempelajari ilmu ? Apa kegunaanya yang sebenarnya ?[3]
Disamping itu masih terdapat bentuk lain dalam usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yakni wahyu. Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan dua jenis pengetahuan. Yang pertama adalah pengetahuan yang didapatkan sebagai hasil usaha aktif manusia untuk menemukan kebenaran, baik melalui penalaran maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intuisi. Dipihak lain terdapat pengetahuan Yang kedua, yang bukan merupakan kebenaran yang didapat sebagai usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, melainkan berupa pengetahuan yang ditawarkan atau diberikan, umpamanya wahyu yang diberikan Tuhan lewat malaikat dan nabi-nabi-Nya[4].
Wahyu itu sendiri merupakan produk Tuhan, yang bersifat absolute bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, adapun orang-orang yang tidak beriman maka mereka tidak menganggap wahyu tersebut sebagai sesuatu yang absolute.[5]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan beberapa landasan pemikiran di atas, maka penulis mencoba membuat batasan-batasan permasalahan dalam penulisan ini sebagai berikut :
- Apa defenisi dari ilmu ?
- Ciri-ciri Ilmu
- Bagaimana penjabaran ilmu tersebut sebagai suatu metode dan produk?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ilmu
1. Definisi Ilmu secara Etimologi
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alika, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti: mengerti, memahami benar-benar, seperti ungkapan:
Dalam bahasa Inggris disebut science;dari bahasa Latin scienta (pengetahuan)_scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme.[7]Jadi pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[8]
2. Definisi Ilmu secara Epistimologi
Adapun beberapa defenisi ilmu menurut para ahli,[9]diantaranya adalah:
- Muhammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, baik kedudukanya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.[10]
- Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak.[11]
- Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang kemperehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman drngan istilah yang sederhana.[12]
- Ashley Monragu, Guru Besar Antropologi di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu system yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menemukan hakikat prinsip tentang hal ;yang sedang dikaji.[13]
- Harsojo, Guru Besar Antropologi di Universitas Padjajaran, menerangkan bahwa ilmu adalah :
1. Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan.
2. Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh factor, ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indra manusia.
3. Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk:”Jika…,maka…”.[14]
- Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan menusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran, Ia memikirkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.[15]
Dari keterangan para ahli tentang ilmu di atas, Amsal Bakhtiar menyimpulkan bahwa ilmu adalah sebahagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun). Mulyadi Kartanegara berpendapat bahwa objek ilmu tidak mesti selalu empiris, karena realitas itu tidak hanya empiris bahkan yang tidak empiris lebih luas dan dalam dibandingkan dengan yang empiris, Karena itu, dia memasukkan teologi adalah ilmu, yang sama dengan ilmu-ilmu lainya.[16]
B. Ciri-ciri Ilmu
Tidak semua pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar pengetahuan dapat dikatakan ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan metode ilmiah.
Jadi ciri ilmu mempergunakan metode.[17] “Metode” menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang merupakan langkah-langkah yang sistematis.[18] Tidak hanya suatu ilmu yang mempergunakan metode-metode. Penciptaan seni, pembentukan keputusan, dan karya pertukangan pun memakai metode. Walaupun demikian metode mempunyai kedudukan khas dalam ilmu. Entah dalam sains, ilmu sosial, atau dalam ilmu budaya. Bila seorang tukang sepatu peran metode penting tetapi sebagai penunjang saja. Tekanan terletak pada kegiatan praktis, seperti memakai alat dan mengadakan percobaan penting juga terutama untuk menunjang metode. Menerapkan ilmu pada kejuruan dan teknik mempengaruhi kegiatan ilmiah;
Secara sederhana metode ilmiah merupakan gabungan dari pendekatan rasional dengan pendekatan empiris. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan yang fiktif. Maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yakni: (a) harus konsisten dengan dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan; dan (b) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif di mana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif.[19]
Alur berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam lima langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah:
- Perumusan Masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan factor-faktor yang terkait didalamnya.
- Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berfikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan
- Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan.
- Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
- Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran disini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.[20]
Dari pemaparan singkat di atas tentang ciri ilmu, kita sudah bisa memahami bahwa ciri ilmu yaitu memiliki metode yang dikenal dengan metode ilmiah (sistematis, rasional, empiris, umum, komulatif), yang kebenarannya diuji secara rasional, empiris, riset dan eksperimental.
C. Ilmu sebagai Metode dan Produk
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peranan ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa adalah ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain.
Ilmu sebagai metode
Ilmu sebagai metode adalah merupakan suatu proses penerapan ilmu dengan penjabaran yang terperinci dalam rangka menemukan pengetahuan yang lebih luas. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan,[21] di antaranya adalah :
Metode Induktif; Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.[22] Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita akan tahu bahwa logam lain kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga dengan pengetahuan sintetik.[23]
Metode Deduktif; Deduktif ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runut.[24] Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Contohnya: Jika penawaran besar, harga akan turun. Karena penawaran besar, maka beras akan turun.[25]
Metode positivisme; Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1789-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian atau persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.[26]
Metode kontemplatif; Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh al-Ghazali.[27] Intuisi dalam tasawuf disebut ma’rifah yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.[28]
Metode dialektis; Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates, namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mecapai apa yang terkandung dalam pandangan.[29]
Ilmu sebagai produk
Carles Siregar menyatakan: “ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan”. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam buku Ilmu dalam persperktif menulis.”…ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan”.[30]
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas menusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun hanya terbatas untuk kelangsungan hidupnya. Dengan ilmu yang dimiliki oleh manusia, maka manusia mempergunakanya sebagai suatu produk untuk mengembangkan ilmu tersebut menjadi pengetahuan-pengetahuan dan hasil karya yang bisa diambil manfaatnya.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan dalam ilmu pengetahuan moderen ialah bahwa ilmu pengetahuan bertujuan menundukkan alam, alam dipandangnya sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan dan dinikmati semaksimal mungkin. Dalam hubungan ini Nasr (Sayyed Hosein Nasr) mengemukakan bahwa akibat yang akan terjadi dari pandangan demikian, alam diperlakukan oleh manusia modern seperti pelacur, mengambil manfaat dan kepuasan darinya tanpa rasa kewajiban dan tanggungjawab apapun.[31]
Perkembangan ilmu pengetahuan di zaman kontemporer ditandai dengan berbagai teknologi canggih. Teknologi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami kemajuan yang pesat. Mulai dari penemuan komputer, satelit komunikasi, internet dan lain-lain. Manusia dewasa ini memiliki mobilitas yang begitu tinggi, karena pengaruh teknologi komunikasi dan informasi.[32]Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi-spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit tetapi secara mendalam. Ilmu kedokteran pun semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis. Demikian bidang-bidang ilmu lain disamping kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainya, sehingga dihasilkan bidang ilmu baru seperti bioteknologi dan psikolinguistik.[33] Hal ini merupakan implementasi ilmu sebagai suatu produk yang dikembangkan oleh para ilmuwan
Produk-produk ilmu sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup umat manusia. Dan merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang budi kepada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya, Singkatnya ilmu merupakan sarana (juga produk-Pen-) untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.[34]
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan (memproduk) berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya untuk mempermudah kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat segatif yang menimbulkan melapetaka bagi manusia itu sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.[35]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka, penulis mengambil beberapa kesimpulan diantaranya :
- Defenisi ilmu adalah, sebagai pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun). Dan objek ilmu tidak mesti selalu empiris, karena realitas itu tidak hanya yang empiris bahkan yang tidak empiris lebih luas dan dalam dibandingkan dengan yang empiris. Karena itu teologi juga adalah ilmu yang sama dengan ilmu-ilmu lainya.
- Ilmu sebagai metode adalah merupakan suatu proses penerapan ilmu dengan penjabaran yang terperinci dalam rangka menemukan pengetahan yang lebih luas. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah :
1. metode induktif
2. Metode deduktif
3. Metode positivisme
4. Metode kontemplatif
5. Metode dialektis
· Ilmu adalah proses membuat pengetahuan, dan lebih bersifat kegiatan daripada sekadar produk yang siap untuk dikonsumsi. Dengan illmu yang dimuliki oleh manusia, maka manusia mempergunakanya sebagai suatu produk untuk mengembangkan ilmu tersebut menjadi pengetahuan-pengetahuan dan hasil karya yang bisa diambil manfaatnya. Ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
DAFTAR PUSTAKA
Admojo, Wihadi. Et al., Kamus Bahasa Indonesia . Cet. I; Jakarta : Balai Pustaka, 1998
Al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalal. Diterjemahkan oleh Masyhur Abadi dengan Setitik Cahaya Dalam Kegelapan. t. cet; Surabaya : Progressif, 2002
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Cet. VII; Surabaya : Bina Ilmu, 1981
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. t. Cet; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia . Al-Qur’an dan Terjemahannya. t. cet; madinah: Percetakan al-Qur’an al-Karim Raja Fahd, 1426
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. t. cet; Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta , 1984
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cet. XVI; Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. Filsafat Ilmu. t. cet; Yogyakarta: Liberty Ygyakarta, 1996
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam.Cet. II; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1984
[1]Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia , Al-Qur’an dan Terjemahannya, (t. Cet; Madinah: Percetakan al-Qu’ran al-Karim Raja Fahd, 1426H), h. 911
[2]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Cet. XVI; Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 19
[4]Ibid., h. 44
[5]KH. Nazaruddin Razak, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel, “Wawancara”, Makassar , 4 Oktober 2006
[6]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (t. Cet; Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta , 1984), h. 1036
[7]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (t. Cet; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 12
[8]Wihadi Admojo, et al., Kamus Bahasa Indonesia , (Cet. I; Jakarta : Balai Pustaka, 1998), h. 324
[9]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 15
[10]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Cet. VII; Surabaya: Bina Ilmu, 1981), h. 47
[11]Ibid., 47. Lihat juga Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1984), h. 14
[14] Ibid., 48-49
[15] Ibid., 49
[16]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 16
[18]Peter R. Senn, Social Science and Its Methods (Boston: Holbrook, 1971), h. 4. Sebagaimana dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri, op. cit. h. 119
[22]Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu, (t. Cet; Yogyakarta: Liberty Yogyakarta , 1996), h. 109
[23]Amsal Bakhtiar, op. Cit., h. 153
[24]Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Loc Cit.
[25] Amsal Bakhtiar, op. Cit., h. 153-154
[27] Ibid., 155
[28]Al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalal, diterjemahkan Masyhur Abadi, Setitik Cahaya dalam Kegelapan, (Surabaya : Progressif, 2002), h. 32
[29]Amsal Bakhtiar, op. Cit., h. 155-156
[30] Ibid., 91
[31]Ibid., 160
[33]Tim Dosen Filsafat UGM, op. cit., h. 52
[34]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 162
0 komentar
Posting Komentar