A.Pendahuluan
Studi terhadap al-Qur’an sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup signifikan seiring dengan akselerasi perkembangan sosial budaya dan peradaban manusia sejak turunnya al-Qur’an hingga sekarang.[1] Fenomena tersebut merupakan konsekuwensi logis dari adanya umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks yang terbatas dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks yang tak terbatas.
Hal demikian tidak terlepas dari implikasi pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an itu shalih li kulli zaman wa makan. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Muhammad Syahrur bahwa al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia.[2]
Dari kenyataan di atas menjadi salah satu pendorong munculnya berbagai macam metode dan corak dalam mengeksploirasi ayat-ayat al-Qur’an, sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat di mana si mufassir berada, serta tingkat intelektualitasnya.
Salah satu metode dan corak penafsiran yang muncul pada awal perkembangan tafsir adalah tahlily dengan corak atsari. Inilah yang mewarnai kitab-kitab tafsir pada saat itu, seperti tafsir al-Thabari, tafsir al-Suyuthi, tafsir al-Samarqandi yang dikenal dengan tafsir Bahr al-’Ulum dan lain-lainya. Dan yang terakhir ini menjadi obyek kajian dalam makalah.
II. Background Abu al-Laits dan Karya-Karyanya
Abu al-Laits bernama Nashr Muhammad bin Ibrahim al-Khitabi al-Samarkandi[3]al-Tawzy al-Balkhi. Ada yang menyatakan bahwa Abu al-Laits bernama Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Samarqandi.[4] Ia digelari dengan al-Faqih, karena ia sangat mendalami ilmu fiqhi. Gelar ini sebenarnya didasarkan atas mimpinya ketika melihat Nabi saw dalam tidurnya lalu Nabi memberikan gelar ini. Gelar kedua adalah Imam al-Huda.
Tidak diketahui secara pasti tentang tahun kelahirannya. Hanya ada dugaan bahwa dia lahir antara tahun 301–310 H. Hal ini memungkinkan orang tidak mengetahui karena tahun kelahiran itu tidak terlalu menjadi fokus perhatian. Seseorang yang lahir itu tidak diketahui perjalanan hidupnya apakah akan menjadi orang yang berhasil atau tidak.
Adapun mengenai tahun kewafatannya juga terjadi perbedaan, di antaranya disebutkan oleh al-Dawidy dalam kitabnya Thabaqat al-Mufassirin Abu al-Laits wafat pada malam selasa 11 Jumadil Akhir 398 H. Ada pula yang berpendapat, ia wafat 383 H, sedang yang lainnya 373 H. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, yang berbeda hanya berkisar tentang tahun, akan tetapi dalam hal hari dan bulan kematiaannya hampir-hampir tidak ada perbedaan.[5]
Mengenai perjalanan intelektualnya, penulis tidak menemukan data-data di mana ia pernah menimbah ilmu, apakah ia melanglang buana ke satu daerah ke daerah yang lainnya. Yang pasti bahwa Abu al-Laits mempunyai beberapa guru yang ahli dalam bidangnya masing-masing dan murid-murid serta karya tulis dengan berbagai bidang ilmu keislaman. Sementara mazhab yang dianut adalah mazhab Hanafi. Hal ini terlihat dari beberapa kitab-kitab fiqhi yang ditulis, banyak bercorak mazhab Hanafi.
a. Adapun guru-gurunya, sebagai berikut :
1. Muhammad bin Ibrahim al-Tawziy adalah bapaknya sendiri yang merupakan guru pertamanya, seorang ahli dalam bidang fiqhi dan hadis, sehingga Abu al-Laits dalam tafsirnya banyak menukil hadis dari bapaknya.
2. Abu Ja’far al-Hawdawi
3. al-Khalil bin Ahmad al-Qadhi al-Zafsy, ahli dalam fiqh dan hadis.
4. Muhammad bin al-Fadhl al-Balkhi al-Mufassar.
b. Murid-muridnya, diantaranya adalah:
5. Luqman bin Hakim al-Farqani
6. Na’im al-Kahtib Abu Malik
7. Muhammad bin Abd al-Rahman al-Zubairy
8. Ahmad bin Muhammad Abu Suhad
9. Thair bin Muhammad bin Ahmad bin Nashr Abdullah al-Hadady[6]
c. Karya-karya Abu al-Laits, yaitu :
- Dalam bidang fiqhi adalah :
1. Hizanat al-Fiqh ditahqiq oleh Dr. Salahuddi al-Nahiy.
2. ‘Uyun al-Masail, yaitu sebuah kitab yang menguraikan cabang-cabang mazhab Hanafi.
3. Muqaddimat Abu al-Laits fi al-Shalah
4. Al-Nawazil fi al-Fatawa
5. Ta’sis al-Nadzair al-Fiqhiyyah
6. al-Nawadi al-Muqayyad
7. Al-Mabahits fi Furu’ al-Fiqhi al-Hanafiy
8. Syarh al-Jam’u al-Kabir oleh kitab Muhammad bin Hasan al-Syibaniy
9. Syarh al-Jamu’ al-Shagir oleh kitab Muhammad bin Hasan al-Syibany
10. Muqaddimat fi Bayan al-Kibar wa al-Shigar
11. Fatwa Abi al-Laits.
- Dalam bidang tasawwuf adalah :
1. Tanbihul Gafilin
2. Bustan al-‘Arifin
3. Qurrat al-‘Uyun wa Mufrih al-Qalb
- Dalam bidang ushul al-Din, adalah:
1. Ushul al-Din
2. Bayan Aqidat al-Ushul
3. Risalat fi Ma’rifat wa al-Iman
4. Risalah al-Hukumi
5. Quwwat al-Nafs fi Ma’rifat al-Arkan al-Khams
- Dalam bidang tafsir adalah:
Salah satu tafsir yang dikarang oleh Abu al-Laits adalah bahrul‘Ulum.[7]
III. Profil Tafsir al-Samarkandi
Tafsir al-Samarqandi masih satu generasi dengan kitab tafsir al-Thabary, sehingga tafsir ini termasuk tafsir berdasarkan atas riwayat atau dikenal dengan tafsir bi al-Ma’tsur.[8] Sementara dalam kitabnya sendiri yang ditahqiq oleh Ali Muhammad Mu’awwad menganggapnya sebagai gabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dengan tafsir bi al-ra’yi.[9]Namun pada umumnya ulama menganggap sebagai tafsir bi al-ma’tsurkarena atsar-lah yang paling dominan dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Hanya saja dalam mengungkapkan atsar tidak memberikan penilaian yang kritis terhadap isnad (mata rantai perawi hadis).
Kitab tafsirnya ini disebut dengan nama “Bahrul Ulum” karena kedalaman ilmu yang dimilki oleh Abu al-Laits. Kitabnya ini ditulis dalam tiga jilid. Mengenai manuskripnya ada tiga sebagai berikut :
1. Salinan I terdapat di Universitas Endimburgh dan kurang empat surah, yaitu surat al-Nahl, al-Isra’, al-Hijr, dan surat al-Kahf. Salinan ini terbagi atas 4 jilid dalam dua juz. Juz I mulai surat al-Fatihah sampai akhir surat Ibrahim, juz II mulai surat Maryam sampai akhir kitab dengan tulisan yang sangat jelas, jumlah lembarannya sebanyak 352 dengan 24 baris. Pada akhir tulisannya diberikan simbol (ظ) dan ditulis kalimat sebagai berikut:
تم المجلد الرابع عند الضحى يوم الجمعة
2. Salinan II terdapat di Dar al-Kutub al-Mishriyah dengan kode nomor 56. Ayatnya ditulis dengan tinta merah dengan 543 halaman dan 29 baris serta diberikan simbol ( أ ) pada akhir kitabnya.
3. Salinan III terdapat juga di dar al-Kutb al-Mishriyah dengan kode nomor 6, ditulis dengan 542 halaman, 29 baris dan diberikan simbol pada akhir kitabnya dengan ( ب ).[10]
Di dalam muqaddimahnya, Abu al-Laits menempatkan pembahasan khusus tentang pentingnya mempelajari tafsir dengan suatu sub judul, yaitu: باب الحث على طلب التفسير . Menurutnya, orang wajib menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir,[11] sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat dari sahabat. Dia mengatakan bahwa Allah telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an: واحى الى هذا القرآن لأنذركم به ومن بلغ ... . al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang Arab dan ‘Ajam, mereka tidak bisa dijadikan sebagai petunjuk kecuali setelah mereka mengetahui penafsirannya. Dengan demikian mempelajari tafsir adalah suatu keharusan.[12]
Selanjutnya juga mengecam orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan hanya mengandalkan akal semata tanpa didasari dengan ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an. Hal ini jelas terlihat dalam muqaddimahkitabnya: لا يجوز لأحد ان يفسر القرآن من ذات نفسه برأيه.[13]
IV. Manhaj Tafsir al-Samarqandiy
Sebagai tafsir yang bercorak riwayat, tafsir al-Samarqandi termasuk tafsir tahlily[14], dengan demikian, operasional dalam tafsirnya menggunakan sumber-sumber dan pendekatan yang digunakan dalam penafsirannya.
A. Sumber-sumbernya adalah :
1. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena suatu asumsi dasar bahwa al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan. Dalam hal ini, Al-Suyuthi berpendapat bahwa barang siapa yang ingin menafsirkan al-Qur’an, yang pertama harus dilihat adalah al-Qur’an karena tidak ada sebuah penafsiran yang paling akurat keculi dengan al-Qur’an.[15]Seperti disebutkan dalam al-Qur’an :
والذين آمنوا وعملوا الصالحات سندخلهم جنات
Menurut Abu al-Laits ayat di atas ditafsirkan dengan ayat :
مثل الجنة التى وعد المتقون فيها انهار من ماء غير آس .......
2. Sumber kedua dalam menafsirkan al-Qur’an adalah hadis. Menurut abu al-Laits bahwa bilamana tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an, maka sebagian penjelasan diambil dari hadis.
3. Sumber ketiga adalah perkataan sahabat.
Di antara sahabat yang banyak dinukil oleh Abu al-Laits adalah Ali bin abi Thalib, Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’b, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Zubair dan sahabat yang lainnya.
4. Sumber keempat adalah perkataan tabi’in
Di antara mereka yang dijadikan sumber tafsir di kalangan tabiin adalah al-Hasan, Said bin Jubair, Atha’, ‘Ikrimah, Wahab bin Munabbih, al-Suddy, Muqatil, dan sumber paling banyak diambil dari Mujahid.[16]
Di samping ke empat sumber di atas, di dalam tafsir Abu al-Lais juga menggunakan sumber-sumber lain dalam menafsirkan al-Qur’an. Di antara sumber itu adalah ;
1. Israiliyyat
Ulama membagi cerita-cerita ahl al-kitab kepada tiga bagian:
a. Ada cerita yang tidak jauh bertentangan dengan al-Qur’an dan diriwayatkan dengan sumber hadis shahih. Ini dianggap shahih, seperti penentuan nama sahabat nabi Musa yaitu Khidr.
b. Cerita yang bertentangan dengan syariat atau bertentangan dengan akal manusia, seperti yang disebutkan dalam kitab Taurat bahwa yang disembelih dalam kisah nabi Ibrahim adalah Ishaq bukan Ismail. Menurut ulama bahwa kisah ini tidak bisa diterima.
c. Cerita yang tidak ditolak dan tidak pula diterima. Kita ber-tawaqqup saja. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi, sebagaimana dalam sabdanya: “Janganlah kamu membenarkan dan mendustakan cerita ahl al-kitab, katakanlah bahwa kami percaya kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada kamu”.[17]
Ketiga model cerita israiliyyatdi atas secara umum terdapat di dalam tafsir bil ma’tsur seperti halnya dalam kitab tafsir al-Samarqandi. Hanya saja di antara tafsir itu ada yang sangat selektif dalam mengambil kisah tersebut, tidaklah semua cerita yang bersumber dari ahl al-kitab dimasukkan dalam tafsirnya, tidak seperti dengan tafsir al-Samarqandi yang mengambil ketiga bentuk cerita israliyyat di atas.
Menurut pemakalah, hal inilah yang merupakan salah satu ‘kekurangan’ tafsir al-Samarqandi, karena tidak selektifnya dalam menilai cerita-cerita yang ditampilkan oleh ahl al-kitab. Padahal cerita-cerita israiliyyat itu –sebagaimana telah disebutkan di atas- tidak semuanya sesuai dengan al-Qur’an, apalagi hadis yang dijadikan sumber adalah hadis yang berasal dari orang-orang yang dulunya adalah penganut ahl al-kitab.
Adapun sumber-sumber Abu al-Laits dalam cerita israilayyat adalah berasal dari hasil bacaan kitab Taurat itu sendiri dan didengar dari ahl al-Taurat, serta berasal dari ahl al-Kitab yang masuk Islam, seperti ‘Ikrima, al-Dhahhak, Muqatil, Wahab bin Munabbih, dan yang lainnya.
Salah satu contoh kisah israiliyyat yang dikutip oleh Abu al-Lais dalam kitab tafsirnya adalah kisah nabi Adam dengan Iblis ketika iblis melihat Adam dalam surga, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah 36.
فأزلهما الشيطن فأخرجهما مما كانا فيه....
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dia berkata: Ketika Iblis melihat Adam bersenang-senang di dalam surga, iblis iri sehingga dia berusaha masuk menggoda Adam dan ketika masuk dalam surga, iblis merubah bentuknya dalam bentuk ular.
B. Pendekatan dalam tafsir al-Samraqandi
Abu Al-laits dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an digunakan beberapa pendekatan berupa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu tafsir, karena hal itu sangat diperlukan dalam menafsirkan al-Qur’an. Di antaranya adalah:
1. al-Lughawy
Bahasa mempunyai peranan penting dalam menafsirkan al-Qur’an, karena bagaimana mungkin lahir sebuah penafsiran yang akurat tanpa didasari dengan pengetahuan bahasa Arab. Oleh karenanya, Abu al-Laits menyatakan bahwa tidak boleh seseorang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri sebelum mengenal dan mengetahui bahasa Arab dan asbab al-nuzul.[18]
Dalam aspek kebahasan ini Abu al-Laits memeperhatikan beberapa hal, yaitu dari segi makna lafaz, jika tidak ditemukan makna dari al-Qur’an maka kembali kepada kalam Arab atau syair yang berkaitan dengan kata itu. Disisi lain pula dari aspek kebahasaan ini adalah aspek nahwu, sharaf dan balagahnya.
2. Ulum al-Qur’an
Tentang ulum al-Qur’an ini dalam pengantar kitabnya dia membagi kepada bebarapa bagian, yaitu:
Pertama, mengenai qira’at. Abu al-Laits sangat memperhatikan qiraat sampai dia mengemukakan beberapa qira’at dengan menyebutkan argumen masing-masing, kemudian terkadang menguatkan salah satunya atau menggabungkan keduanya, misalnya dalam Qs. Al-Baqarah 2: 59 “ وقلو خطة“ Kata “khiththah” ada yang membacanya dengan rafa’ dan yang lainnya membaca nasab, menurutnya bahwa pendapat kedua adalah syaz. Dan yang paling kuat adalah rafa’.[19]
Kedua, al-Nasikh al-Mansukh.
Dalam persoalan ini terdapat perbedaan ulama dalam menyikapinya, akan tetapi Abu al-Laits tanpaknya tetap mamahami bahwa dalam al-Qur’an ada al-nasikh wa al-mansukh, baik dalam bentuknya al-Qur’an bil al-Qur’an maupun dalam bentuk al-Qur’an bil al-hadis, misalnya dalam QS al-Nisa 15, menurutnya ayat ini dinasihk dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ubadah bin Shamith, sesungguhnya Nabi bersabda: Allah telah menjadikan baginya (perempuan yang berzina) jalan, yaitu perjaka dengan gadis dipukul dengan 100 kali, al-sayyib dengan al-sayyib dirajam dengan batu.
Ketiga, asbab al-Nuzul,
Asbab al-nuzul adalah salah satu alat yang sangat penting dalam memahmi ayat al-Qur’an, karena terkadang dalam satu ayat itu memiliki sebab turunnya, sehingga bila seseorang tidak memahami sebab turunnya tentu pemahamannya pasti keliru. Dengan demikian, tentunya juga Abu al-Laits sangat memperhatikannya dalam menafsirkan ayat yang ada asbab al-nuzulnya.
Keempat, masalah fiqhi.
Sebagaimana telah diosebutkan terdahulu bahwa Abu al-Laits memiki gelar “al-faqih” sudah barang tentu dia memiliki ilmu yang sangat mendalam tentang fikh. Dan fikhnya bercorak Hanafy, akan tetapi meskipun bermazhab Hanafi dia tidak memihak kepada corak fikhinya dalam penafsirannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam Qs. Al-Baqarah 222, yang menjelaskan boleh tidaknya perempuan yang sudah haid digauli sebelum mandi wajib. Ayat ini bila dibaca dengan “يطهرن “ dengan tasydid huruf tha dan ha maka berarti samapi suci dari haid. Jadi boleh mendekatinya sebelum dia mandi. Akan tetapi bila dibaca dengan “يطهرن” tanpa tasydid bermakna sampai dia mandi. Jadi baru boleh dodekati bila dia sudah mandi wajib.
Abu al-Laits dalam kasus ini menerima kedua pendapat ini dengan alasan bahwa apabila perempuan masa haidnya kurang dari sepuluh hari maka tidak boleh didekati sebelum mandi wajib, akan tetapi bila masa haidnya lebih dari sepuluh hari lalu dia bersih, maka ketika bersih boleh didekati tanpa mandi wajib dulu.[20]
V. Analisis terhadap metode tafsir Abu al-Laits dalam Qs. Al-Fatihah 1-7
Dalam sub bahasan ini pemakalah akan menganalisa penerapan tafsir Abu al-Laits dalam Qs. Al-Fatihah, yang tentunya dalam penerapannya berdasarkan kepada metode yang telah diperpeganginya. Akan tetapi menurut pemakalah bahwa tidak kesemuanya metode yang telah dikemukakannya diterapkan dalam kasus surah Al-fatihah.
Sebagaimana dengan mufasir lainnya, Abu al-Laits dalam memulai tafsirnya ini hampir sama dengan mufasir sebelumnya, yaitu terlebih dahulu mengemukakan nama surah, tempat turunnya dan jumlah ayatnya.
Dalam kasus surah al-Fatihah berbeda dengan yang lainnya. Dia pertama-tama dia memulai tafsir dalam pembahasan khusus tentang basmalah, dia memishkan dengan surah al-Fatihah, meskipun basmalah itu tetap dikategorikan sebagai satu dari surah al-Fatihah.
Dalam uraian tafsirnya tentang basmalah itu berdasarkan sebuah riwayat dari ‘Am³r dia berkata: bahwa Rasulullah menulis sebuah surat dengan memulai dengan kata “باسمك اللهم “, maka turunlah ayat ke-41 surah Hud “ بسم الله مجريها ومرسيها “ maka digantilah dengan kata “bismillah” setelah itu turunlah ayat ke- 110 surah Bani Israil : “قل أدعوا الله أدعوا الرحمن “ maka ditambahlah dengan kata “الرحمن “ kemudian turunlah ayat ke-30 surah al-Naml : “إنه من سليمان وإنه بسم الله الرحمن الرحيم “ maka disempurnakanlah dengan kalimat bismillah ini. Berdasarkan riwayat ini bahwa bismillah itu tidak semua diawal surah itu merupakan ayat dari surah tersebut.[21]
Kemudian menjelaskan tentang perlunya basmalah itu dibaca setiap kali ingin melakukan sesuatu pekerjaan dan mamfaatnya dengan berdasarkan riwayat-riwayat.[22]
Memasuki penafsiran al-Fatihah Abu al-Laits tidak menjelaskan lagi bagaimana kedudukan basmalah itu dalam surah al-Fatihah, meskipun dalam surah ini tetap menganggap basmalah itu sebagai ayat pertama. Dan dia hanya langsung menjelaskan mengenai tempat turunnya, apakah di Mekah atau di Madinah. Di sini Abu al-Laits mengemukakan beberapa riwayat, yaitu dari Mujahid, yang menurutnya bahwa surah ini turun di Madinah, sementara yang lainnya (Abu Salh dari Ibn Abbas) menyebutkan bahwa turun di Mekah, dan ada juga pendapat bahwa surah ini dua kali turun, sekali turun di Mekah dan sekali tururn di Madinah.[23]
Dari argumen yang dikemukakan oleh Abu al-Laits di atas tidak menetapkan salah satu pendapat yang lebih kuat, dia hanya memaparkan riwayat-riwayat begitu saja tanpa ada suatu analisa.
Kemudian Abu al-Laits menjelaskan nama selain dari surah al-Fatihah dengan mengemukakan beberapa riwayat. Salah satu riwayat yang disebutkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: ‘sesungguhnya Allah menurunkan dalam kitab-Nya satu surah kepada Nabi, kemudian Uba’y bi Ka’ab ditanya tentang surah itu. Lalu dia bertanya apakah yang anda baca dalam shalatmu? Di jawab Umm al-Kitabkemudian Nabi berkata bahwa demi Allah tidak ada yang diturunkan dalam Taurat dan Injil sepertinya, yaitu al-sab’u al-matsani dan al-Qur’an al-‘Azim. Dan dinamakan al-sab’u al-matsani karena dibaca setiap raka’at shalat.[24]
Setelah menjelaskan nama dan tempat turunnya Abu al-Laits memulai panafsirannya ayat demi ayat dengan beberapa pendekatan:
1. Pendekatan Atsar
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa tafsir Abu al-Laits adalah sebuah tafsir yang memiliki corak bil al-ma’tsuryang sebagai acuannya dalam menafsirkan ayat. Namun menurut penelitian penulis, sekalipun tafsirnya dikategorikan sebagai tafsir bil al-ma’tsur, tidak semuanya ayat yang ditafsirkan berdasarkan riwayat, bahkan dalam satu ayat tidak dikemukakan riwayat.
Dalam kasus al-Fatihah ini, misalnya ketika menafsirkan kalimat al-hamdu lillah Abu al-Laits hanya mengemukakan beberapa riwayat saja, di antaranya adalah dari Ibn Abbas, yaitu bahwa kalimat ini bermakna semua bentuk syukur, hal ini ketika Adam bersin dia mengucapkan “al-hamdu Lillah” lalu Allah menjawabnya “yarhamkum Allah”. Hadis ini hanya sebagai penguat ketika menjelaskan penggunaan kata-kata antara lafaz al-hamddengan al-syukr.
2. Pendekatan Kebahasaan
Hal ini dapat dilihat ketika menafsirkan kalimat “alhamd Lillah” menurtnya bahwa kalimat ini bermakna “al-Sykr Lillah” pendapat ini sejalan yang kemukakan oleh Ibn Abbas, yaitu syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya.
Menurut ahli bahasa bahwa kata ini (al-hamd) sama artinya dengan al-syukr, akan tetapi sebagian yang lainnya tetap membedakan pengertian keduanya. Kata al-hamd lebih umum dari kata al-syukur, yang lainnya berpendapat bahwa kata al-syukr lebih umum dari kata al-hamd,karena kata al-syukur digunakan baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan, sementara al-hamd hanya dalam bentuk biasa.[25]
Menurut Quraish Shihab bahwa ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh ora ng yang dipuji, sehinga dia atau perbuatannya layak dipuji, yaitu, indah, diperbuat secara sadar dan tidak dipaksa. Jadi kata al-hamd dalam surah al-Fatihah ditujukan kepada Allah.[26]
3. Pendekatan Qiraat
Sebagaiman telah dijelaskan bahwa Abu al-Laits dalam menafsirkan ayat sangat memperhatikan qiraat-qiraat jika dalam ayat tersebut terdapat perbedaan qiraat dengan mengemukakan pendapat masin-masing ahli qiraat.
Misalnya dalam ayat ke4 dan ke-6, menurutnya bahwa ayat ke-4 terdapat dua bacaan, yaitu ada yang membaca dengan memanjangkan huruf mim-nya “مالك” dan kedua dengan memendekkan mim-nya “ملك”. Bacaan ini didasarkan beberapa riwayat yang shahih. Ulama yang membaca tanpa alif seperti Nafi’, Ibn Kasir, Hamzah, Ibn Amar bi Al-Ala’ dan Ibn Amir dengan makna ‘raja’. Sementara yang membaca dengan alif yaitu al-Kisai dengan mengartikan ‘pemilik’.[27]
Abu al-Laits dalam menyikapi kedua pendapat ini, agaknya condong kepada pendapat kedua sekalipun pada awalnya dia membaca tanpa alif, akan tetapi dengan motivasi salah satu hadis Nabi, bahwa siapa saja yang memabaca al-Qur’an maka baginya setiap huruf sepuluh kebaikan[28]
VI. Kesimpulan
Abu al-Laits adalah sosok ulam yang mumpuni berbagai ilmu keislaman dengan berbagai karya tulisnya yang menghiasi khazanah leteratur Islam, yang salah satunya adalah kitab tafsir yang dikenal dengan tafs³r al-Samarqandi al-Musamm± Bahr al-Ulm. Tafsir ini oleh sebagaian ulama menganggap sebagai tafsir yang bercorak atsary atau riwayat. Akan tetapi pemakalah lebih cenderung mengatakan bahwa tafsir ini adalah penggabungan antara atsary dan ra’yi, karena terlihat dari uraian tafsirnya banyak menguraikan melalui pendapat-pendapatnya dan hanya dalam kasus tertentu diungkapkan riwayat. Misalnya dalam kasus tafsir surat al-Fatihah.
Abi al-Laits dalam tafsirnya ketika mengutip riwayat tidak cermat atau tidak mengadakan pentarjihan apakah riawayat itu shahi atau tidak, bahkan ketika mengutip suatu hadis kadang menyebutkan semua sanadnya dan kesempatan lainnya hanya lansung kepada sanad pertama, tidak seperti halnya al-Thabary, dia mengemukakan sanadnya sampai terkahir. Di samping itu, dalam mengutip pendapat-pendapat ulama dia tidak menyebutkan siapa yang dimaksud, akan tetapi hanya menggunakan kata قيل، قال بعضهم.
Sebaliknya dalam satu hal -yang menurut penulis- merupakan keistimewaan tafsirnya adalah ketika mempersoalkan masalah-masalah fiqhiyah tidak mengunggulkan satu mazhab, pada hal dia adalah termasuk salah faqih dalam mazhab Hanafi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dâr al-Qalam, cet. I t. th.
Al-Laits, Abû, Tafsîr. al-Samarqandi al-Musammî Bahr al-‘Ulûm, Tahqîq dan ta’lîq Ali Muhammad Mu’awwad dkk., (cet. I; Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993 M/1413 H.
Shihab, Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim; Tafsir Surah-Surah Pendek Berdasrkan urutan Turunnya Wahyu, (Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Al-Suyuthi, Jalaluddin Al- al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’an,
Syahrur, Muhammad al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qiraah Mu’asharah, (Damaskus: Ahali li al-Nasyr wa al-Tawzi’y.
Ushama, Tehemen, Metodologi Tafsir al-Qur’an; Kajian Kritis, Obyektif, dan Komprehensif, Terjemahan Hasan Basri dan Amr oeni, (Jakarta: Risda Cipta, cet. I, 2000.
[1]Suatu bukti bahwa al-Qur’an itu shalih li kulli zaman wa makan sehingga al-Qur’an tidak akan hilang dan senantiasa menjadi kajian yang menarik sekalipun -menurut istilah Fachrul Rahman- sebagai Corpus yang tertutup, bukan hanya dikaji oleh umat Islam sendiri akan tetapi kalangan orientalis pun juga terlibat dalam kajian al-Qur’an, misalnya J.J. Jansen.
[2]Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qiraah Mu’asharah, (Damaskus: Ahali li al-Nasyr wa al-Tawzi’y, 192), h. 33.
[3]Gelar al-Samarqandi adalah nama daerah atau salah satu kota di Harrasan dimana daerah ini banyak menelorkan ulama besar dari berbagai ilmu. Lihat selengkapnya Abu al-Laits, Tafsir al-Samarkandi al-Musamma Bahr al-‘Ulum, Tahqiq dan ta’liq Ali Muhammad Mu’awwad dkk., (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993 M/1413 H), Juz I, cet. I, h. 8-9 selanjutnya disebut al-Samarqandi
[4]al-Samarkandi, ibid., h. 6
[5]Lihat al-Samarkandi, ibid., h. 7; lihat pula Tehemen Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur’an; Kajian Kritis, Obyektif, dan Komprehensif, Terjemahan Hasan Basri dan Amr oeni, (Jakarta: Risda Cipta, cet. I, 2000), h. 64.
[6]Lihat al-Samarqandi, op. cit., h. 11 -12
[8]Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar al-Qalam, cet. I t. th.), h. 225.
[9]Lihat al-Samarqandi, op. cit., h. 50
[10]lihat ibid., h. 62.
[11]Abu al-Laits tidak menyebutkan secara tersurat tentang syarat-syarat seorang mufassir secara terperinci, sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama lainnya, seperti dalam kitab Manna’ al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an dan ulam lainnnya. Hanya saja dalam kitab menyebtkan garis besarnya, yaitu menetahui ilmu bahasa yang merupakan alat utama, karena al-Qur’an itu sendiri mengakui dirinya sebagai kitab yang mengunakan lisan ‘arabiy.
[12]Lihat al-Samrakandi, ibid., h. 51.
[14]Tafsir tahlili lebih banyak mewarnai penafsiran al-Qur’an pada masa awal perkembangan tafsir , karena sebagai konsekuensi logis dari kondisi masyarakat pada waktu itu, sehingga masyarakat pada saat itu sangat cocok dengan model tafsir ini. Hanya saja menurut penelitian sebagian ulama, seperti al-Kumi, dia melihat bahwa tafsir model ini banyak penafsirannya panjang bertele-tele, tapi sebaliknya ada pula terlalu sederhana dan ringkas. Model tafsir ini mempunyai banyak kecenderungan dan arah penafsiran yang beraneka ragam, sehingga muncullah corak tafsir, misalnya corak fiqhi, falsafi, adabi, dan lain-lainnya.
[15]Jalaluddin Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an,
[16]Lihat al-Samarqandi, op. cit., h. 54.
[17]Lihat ibid., h. 55.
[18]Lihat al-Samarqandy, ibid., h. 60.
[22] Lihat Ibid.
[26]Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim; Tafsir Surah-Surah Pendek Berdasrkan urutan Turunnya Wahyu, (Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 18.
[27]Lihat al-samarqandi, op. cit., h. 81.
[28]Lihat ibid., h. 82.
0 komentar
Posting Komentar