A. Latar Belakang Masalah
Di dalam praktek hukum, terdapat istilah yurisprudensi yang ditimbulkan oleh putusan-putusan pengadilan, terutama putusan-putusan dari pengadilan negara tertinggi (Mahkamah Agung). Putusan-putusan pengadilan tersebut tidak langsung menimbulkan hukum, tetapi hanya sebagai faktor dalam pembentukan hukum, karena biasanya putusan-putusan pengadilan tertinggi diikuti oleh pengadilan yang lebih rendah. Kebiasaan yang dianut oleh pengadilan yang lebih rendah, itulah yang kemudian menjadi kebiasaan pengadilan atau yurisprudensi.[1]
Pada awal perkembangan Islam, istilah yurisprudensi diartikan sebagai ijtihad. Munculnya ijtihad telah ada pada masa Rasulullah. Rasulullah mengajarkan para sahabatnya untuk menggunakan daya nalarnya dalam menetapkan hukum. Sebagai contoh adalah, ketika Umar ibn al-Khaththab mencium isterinya dalam keadaan berpuasa. Menurut ijtihad Umar, puasanya itu batal. Akan tetapi, ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah, beliau memberikan jawaban melalui analogi. Rasulullah berkata: “Bagaimana pendapatmu apabila kau berkumur-kumur, apakah puasamu batal?” Umar menjawab: “Menurutku, kumur-kumur tidak membatalkan puasa”. Kemudian Rasulullah berkata: “Kalau begitu, teruskan puasamu”.[2]
Terjadinya perbedaan pengertian yurisprudensi pada masa lalu dan pada masa kini, merupakan suatu hal yang perlu diantisipasi, agar tidak terjadi tumpang tindih. Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba meluruskan pengertian yurisprudensi, sesuai dengan yang dikehendaki pada judul makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi titik permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan yurisprudensi dalam kaitannya dengan badan peradilan?
2. Bagaimana memberdayakan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum Islam?
3. Bagaimana fungsi yurisprudensi dalam mengoptimalkan kinerja Hakim Agama di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan Pembahasan
Kajian pembahasan makalah ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat, antara lain:
1. Untuk memperjelas makna istilah yurisprudensi dalam lapangan pemikiran hukum Islam;
2. Untuk mengetahui cara memberdayakan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum Islam;
3. Untuk mengetahui fungsi yurisprudensi dalam mengoptimalkan kinerja hakim agama.
II. PENGERTIAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN YURISPRUDENSI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Yurisprudensi
Secara etimologi, kata yurisprudensi berasal dari bahasa Inggris (jurisprudence), yang berarti general theory of law (teori ilmu hukum).[3]Sedangkan dalam bahasa Latin disebut dengan jurisprudentia, yang berarti keputusan hakim, berisi suatu peraturan yang dibuat sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara yang diberikan wewenang kepadanya.[4]
Dalam perluasan maknanya, yurisprudensi berarti: (1) ilmu tentang penerapan undang-undang peradilan, (2) himpunan keputusan-keputusan pengadilan, yang diikuti oleh para hakim dalam mengadili atau memutuskan perkara yang serupa.[5]
Dari dua makna yang disebutkan di atas, yang menjadi titik penekanan makalah ini adalah dalam pengertian yang disebutkan kedua, yaitu himpunan keputusan-keputusan pengadilan, khususnya keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan negara tertinggi (Mahkamah Agung). Himpunan keputusan-keputusan tersebut, menjadi dasar keputusan hakim lainnya untuk mengadili perkara serupa dan menjadi sumber hukum bagi pengadilan yang ada di bawahnya.
B. Macam-macam Yurisprudensi
Yurisprudensi tetap ialah keputusan-keputusan hakim yang berulang kali digunakan pada kasus-kasus yang serupa. Dengan kata lain bahwa yurisprudensi tetap terjadi, karena suatu rangkaian keputusan-keputusan serupa, atau karena beberapa keputusan yang diberi nama standaardarrenten. Keputusan standar yang dimaksud adalah keputusan Mahkamah Agung yang telah menjadi dasar dan baku , yang secara prinsipil memberi suatu penyelesaian tertentu bagi hakim lainnya.[6]
Keputusan standar yang disebutkan di atas menjadi pegangan yang kuat bagi kalangan pengadilan atau para sarjana hukum. Bahkan, sering kali merupakan suatu pegangan yang kuat daripada undang-undang, terutama jika undang-undang tersebut tidak sesuai dengan keadaan sosial yang ada.
Adapun yurisprudensi tidak tetap adalah yurisprudensi yang belum masuk dalam katagori yurisprudensi tetap.[7]Atau dengan kata lain keputusan hakim yang hanya dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan mengenai satu perkara serupa.[8]
C. Sejarah Perkembangan Yurisprudensi dalam Hukum Islam
Mengacu pada definisi yurisprudensi yang telah disebutkan di muka, maka yang sering dijumpai dalam penggunaan istilah yurisprudensi dalam hukum Islam adalah pada pengertiannya yang pertama, yaitu ilmu tentang prinsip-prinsip utama hukum, yang mengkhususkan diri pada bidang hukum dalam berbagai aspeknya, analisis tradisionalnya, sejarah asal mula perkembangannya, serta karakter ideal hukum tersebut.
Pernyataan di atas diperkuat oleh pandangan para fuqaha’ yang mengatakan sumber utama yurisprudensi hukum Islam adalah Alquran dan Sunnah. Kedua sumber hukum ini dijadikan sebagai yurisprudensi pada abad pertama hijriah.[9]Maksudnya adalah semua persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat pada masa itu, penyelesaiannya hanya berdasar pada Alquran dan Hadis Nabi.
Berbeda halnya setelah memasuki abad kedua hijriah, ketika umat Islam telah melewati perbatasan jazirah Arab dan memasuki wilayah-wilayah non-Arab. Pada masa itu persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat Islam semakin berkembang dan ruwet, sehingga dalam penyelesaiannya tidak cukup hanya menggunakan Alquran dan Hadis Nabi, tetapi telah berkembang dalam bentuk ijmak (konsesnsus para ulama), kias (analogi), istihsan, istishlah, dan sadd al-dzara’i. Pada masa ini telah muncul tokoh-tokoh pemikir hukum yang handal, seperti Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’iy, dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka-mereka itu telah mengeluarkan berbagai teori untuk memperkaya khazanah yurisprudensi hukum Islam.[10]
Kalau istilah yurisprudensi hukum Islam dialihkan dalam konteks keindonesiaan, khususnya dalam era modern, tampak adanya perbedaan dengan sejarah perkembangan di awal kemunculannya. Dalam konteks yang disebutkan terakhir, istilah yurisprudensi tidak lagi diartikan sebagai tatanan sumber-sumber hukum Islam, akan tetapi sudah mengarah kepada hasil keputusan pengadilan yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama.
Yurisprudensi Peradilan Agama yang dimaksud adalah hasil keputusan Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan Mahkamah Agung. Hasil keputusan tiga tingkat peradilan tersebut diakui sebagai salah satu dari sumber hukum Islam yang ada di Indonesia , untuk dijadikan acuan oleh para hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara serupa.
III. YURISPRUDENSI PERADILAN AGAMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. Kedudukan Yurisprudensi Peradilan Agama dalam Tata Hukum di Indonesia
Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Soepomo, ia mengatakan bahwa yurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber penting bagi hakim bawahan dalam menemukan hukum obyektif. Meski seorang hakim tidak terikat dengan keputusan hakim lain, namun sudah menjadi kebiasaan bahwa hakim bawahan sangat memperhatikan keputusan hakim atasan, karena perkara yang dihadapinya kemungkinan banding dan kasasi.[12]
Mengacu pada kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa yurisprudensi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam memutuskan perkara yang serupa. Dengan kata lain bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum formil dalam sebuah negara.
Yurisprudensi sangat penting dipelajari di samping perundang-undangan yang ada, karena di dalam yurisprudensi terdapat banyak garis-garis hukum yang berlaku dalam masyarakat namun tidak terbaca dalam undang-undang. Jadi, memahami hukum dalam perundang-undangan saja tanpa mempelajari yurisprudensi, tidaklah lengkap.
Dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ditemukan beberapa bahan baku , yang antara lain adalah penelaahan produk pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang terhimpun dalam 16 buah buku. Ia terdiri atas empat jenis, yakni himpunan putusan PTA (Pengadilan Tinggi Agama), himpunan fatwa pengadilan, himpunan yurisprudensi Peradilan Agama, dan law report tahun 1877 sampai tahun 1984.[13]
Terkait pengembangan hukum materil di Indonesia , dilakukan upaya peningkatan kerja sama antara lembaga penelitian hukum, perguruan tinggi, dan lembaga lainnya yang terkait secara koordinasi. Dalam hal tersebut dilakukan penataan, antara lain dengan menyusun program atau proyek pengembangan Pengadilan Agama, termasuk pembentukan hukum melalui yurisprudensi Peradilan Agama, meningkatkan pembinaan, pengukuhan kedudukan, dan peranan yurisprudensi sebagai sumber hukum serta memperluas penyebaran yurisprudensi Peradilan Agama, tidak hanya terbatas pada badan Peradilan Agama, tetapi juga kepada kalangan penegak hukum di Peradilan Agama, perguruan tinggi, dan masyarakat luas.[14]
Di samping mempergunakan dimensi pembaruan atau dimensi penyempurnaan tersebut di atas, dalam pengembangan hukum materil Peradilan Agama sesuai dengan GBHN 1993, perlu ditingkatkan kualitas pembentukan hukum melalui yurisprudensi Peradilan Agama, peningkatan kualitas hakim Peradilan Agama sebagai penegak hukum dan keadilan dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.[15]
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa yurisprudensi Peradilan Agama menjadi sumber hukum, tidak hanya bagi hakim-hakim Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara, juga untuk kalangan penegak hukum, perguruang tinggi, dan masyarakat luas yang ingin menerapkan hukum Islam.
B. Fungsi Yurisprudensi dalam Mengoptimalkan Kinerja Hakim Agama
Hakim mempunyai kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas. Hakim dalam melakukan tugasnya adalah bebas menyelaraskan undang-undang dengan keadaan masyarakat sewaktu keputusan dijatuhkan, dengan cara:
1. Mengadakan pernafsiran apabila peraturan perundang-undangan, tidak atau kurang jelas;
Jadi, hukum terbentuk di samping karena disebut dalam undang-undang, juga karena kebiasaan-kebiasaan dan hasil produk peradilan. Dengan demikian, meski hakim mempunyai kebebasan dalam mengambil rujukan atas perkara yang diperiksanya, juga ia harus berpedoman pada yurisprudensi untuk perkara yang sejenis.
Dengan mengacu para yurisprudensi yang ada, maka hakim-hakim Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang sejenis, tidak akan keliru lagi dalam mengambil keputusan. Oleh karena, yurisprudensi yang ada itu sudah teruji kebenarannya secara formil.
Selain itu, secara teori, yurisprudensi yang ada, dapat dipakai kembali setelah menganalisisnya secara mendalam. Hal ini didasarkan pada kerangka berpikir:
1. Putusan pengadilan yang ada memiliki dua dimensi. Dimensi pertama merupakan wujud penetapan hukum dalam peristiwa hukum yang kongkrit. Sedangkan dimensi yang kedua merupakan cerminan pembentukan hukum oleh hakim memiliki kewajiban untuk berijtihad, sesuai dengan ketentuan pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.[17]
2. Keputusan pengadilan didasarkan pada sumber hukum tertulis, baik dalam hukum material maupun dalam hukum formal.
3. Keputusan pengadilan didasarkan atas sumber hukum tidak tertulis, nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dan pandangan para ahli.
4. Keputusan pengadilan dilakukan terhadap perkara yang diajukan, tentunya setelah melalui proses peradilan dengan prosedur hukum yang berlaku.
5. Keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, menjadi bagian sumber hukum tertulis dalam wujud yang nyata dan terbatas.[18]
Berangkat dari hasil analisis yang telah diebutkan di muka, dapat dipahami bahwa terdapat hubungan yang erat antara hakim dengan yurisprudensi. Tugas hakim ada dua, yaitu: (1) membuat suatu keputusan, dan (2) menggunakan yurisprudensi yang ada untuk menelaahnya, kemudian mengambil keputusan. Dengan demikian, pemberdayaan yurisprudensi adalah memanfaatkan yurisprudensi dalam menetapkan secara langsung suatu perkara dan sebagai pertimbangan bagi hakim selanjutnya dalam perkara yang sama.
IV. PENUTUP
Bertitik tolak dari pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Yurisprudensi ialah himpunan keputusan-keputusan pengadilan, khususnya keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan negara tertinggi (Mahkamah Agung). Himpunan keputusan-keputusan tersebut, menjadi dasar keputusan hakim lainnya untuk mengadili perkara serupa dan menjadi sumber hukum bagi pengadilan yang ada di bawahnya.
2. Yurisprudensi Peradilan Agama menjadi sumber hukum, tidak hanya bagi hakim-hakim Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara, juga untuk kalangan penegak hukum, perguruang tinggi, dan masyarakat luas yang ingin menerapkan hukum Islam.
3. Dengan mengacu para yurisprudensi yang ada, maka hakim-hakim Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang sejenis, tidak akan keliru lagi dalam mengambil keputusan. Oleh karena, yurisprudensi yang ada itu sudah teruji kebenarannya secara formil.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Cik Hasan, et al. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional. Cet. II; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 8.
--------. Peradilan Agama dalam Tatanan Masyarakat Indonesia . Cet. I; Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1997.
--------. Peradilan Agama di Indonesia. Cet. I; Jakarta : Balai Pustaka, 2001.
Dahlan, Abdul Azis, et al. Ensiklopedi Hukum Islam Indonesia . Jilid II Cet. I; Jakarta : PT Ichtiar Baru-van Hoeve, 1996.
Hallaq, Wael B. A. History of Islamic Legal Theories, diterjemahkan oleh E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid dengan judul Sejarah Teori Hukum Islam. Cet. I; Jakarta : PT Raja Grafinso Persada, 2000.
Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. I; Jakarta : PT Sinar Grafika, 1993.
Syarifin, Pipin. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. I; Bandung : Pustaka Setia, 1998.
Tim Penyusun. Ensiklopedi Nasional Indonesia . Jilid XVII. Jakarta : PT Cipta Adi Pustaka, t.th.
[1]Lihat R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. I; Jakarta : PTSinar Grafika, 1993), h. 158.
[2]Lihat Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam Indonesia , Jilid II (Cet. I; Jakarta : PT Ichtiar Baru-van Hoeve, 1996), h. 666.
[3]Lihan Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. I; Bandung : Pustaka Setia, 1998), h. 120.
[4]Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid XVII (Jakarta : PT Cipta Adi Pustaka, t.th.), h. 421.
[5]Lihat Abdul Azis Dahlan, et al., op. cit., Jilid VI, h. 1965.
[6]Lihat R. Soeroso, op. cit., h. 163.
[7]Lihat ibid., h. 164.
[8]Lihat Tim Penyusun, loc. cit.
[9]Lihat Wael B. Hallaq, A. History of Islamic Legal Theories, diterjemahkan oleh E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid dengan judul Sejarah Teori Hukum Islam (Cet. I; Jakarta : PT Raja Grafinso Persada, 2000), h. 10-22.
[10]Lihat ibid., h. 23-30.
[11]Lihat R. Soeroso, op. cit., h. 165.
[12]Lihat ibid., h. 166.
[13]Lihat Cik Hasan Basri, et al., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 8.
[14]Lihat ibid., h. 105-106.
[15]Lihat ibid., h. 106-107.
[16]Lihat R. Soeroso, op. cit., h. 168.
[17]Lihat Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. I; Jakarta : Balai Pustaka, 2001), h. 300.
[18]Lihat Cik Hasan Basri, Peradilan Agama dalam Tatanan Masyarakat Indonesia (Cet. I; Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1997), h. 64-65.
0 komentar
Posting Komentar