Rabu, 14 September 2016

SEJARAH ISLAM NUSANTARA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
           
Sejarah pendidikan Islam, selain mengandung perbendaharaan perkembangan ilmu pengetahuan pada zamannya, juga menumbuhkan perspektif baru dalam rangka mencari relevansi pendidikan Islam terhadap segala bentuk perubahan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dan bila dirinci, paling tidak ada dua manfaat yang dapat diperoleh dalam sejarah pendidikan Islam, yaitu bersifat umum yakni sebagai faktor keteladanan, dan yang bersifat khusus atau akademis dalam rangka pembangunan dan pengembangan pendidikan Islam.
            Dengan bertolak dari pengalaman-pengalaman dalam rangka penyelenggaraan pendidikan yang diperoleh dari studi tentang sejarah pendidikan Islam, akan memberikan arah bagi perubahan dan perkembangan itu, sehingga tetap berada dalam suatu kerangka pandangan yang utuh dan mendasar dalam bingkai nilai-nilai pendidikan Islam.
Jika kita membahas tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia , sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahmud Yunus, bahwa Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia sama tuanya dengan masuknya agama tersebut ke Indonesia.[1] Namun tulisan yang membicarakan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara atau ke Indonesia dapat dikatakan sangatlah kurang. Kekurangan tulisan ini sebagai akibat kurangnya informasi yang bersumber dari fakta peninggalan agama Islam. Inkripsi tertua tentang Islam tidak membicarakan kapan masuknya Islam ke Nusantara. Pada inkripsi tertua ini hanya membicarakan tentang adanya kekuasaan politik Islam, yakni kerajaan Islam Samudra Pasai pada abad ke-13 M.
Kurangnya fakta yang ditinggalkan oleh Islam, besar kemungkinan sebagai akibat sikap ulama Indonesia seperti yang disinyalir oleh Bung Karno, yaitu para kiai dan para ulama kurang dan bahkan dapat dikatakan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah.[2]Tidaklah mengherankan bila hal ini menjadi salah satu sebab sulitnya menemukan fakta tentang masa lampau Islam Nusantara.
Seiring masuknya agama Islam ke Nusantara, pendidikan Islam pun mulai menancapkan dirinya di kepulauan Nusantara ini, secara lembaga, pendidikan Islam pada saat itu masih dalam bentuk yang sangat sederhana, seperti mereka pada mulanya belajar di rumah-rumah, langgar/surau, mesjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren, setelah itu baru muncul sistem madrasah sebagaimana yang kita ketahui dewasa ini.
Namun bila kita berbicara tentang perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, tentu saja kita tidak bisa mengenyampingkan bagaimana keadaan Islam itu sendiri pada masa kerajaan Islam. Masa kerajaan merupakan salah satu dari periodesasi sejarah pendidikan Islam di Indonesia, sebab sebagaimana lahirnya kerajaan Islam yang disertai dengan berbagai kebijakan dari penguasanya saat itu, sangat mewarnai sejarah Islam di Indonesia, terlebih-lebih agama Islam juga pernah dijadikan sebagai agama resmi Negara atau Kerajaan pada saat itu.

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan sebagai titik tolak terhadap pembahasan selanjutnya adalah pendidikan Islam pada masa awal masuknya dan lahirnya kerajaan Islam dan pondok pesantren. maka penulis merumuskan batasan masalahnya sebagai berikut ;
a.       Bagaimanakah sejarah masuknya Islam di Nusantara?
b.      Bagaimanakah sistem pendidikan Islam pada masa awal masuknya Islam di Nusantara?
c.       Dan bagaimanakah pada masa lahirnya kerajaan Islam di Nusantara?
d.      Serta bagaimanakah pula pada masa lahirnya pesantren di Nusantara?
Tujuan makalah ini secara akademisi adalah agar mahasiswa mengetahui dan memahami tentang kapan masuknya Islam di Indonesia, keadaaan pendidikan Islam pada masa awal, dan lahirnya kerajaan Islam serta asal usul berdirinya pondok pesantren di bumi Nusantara yang kita cintai. Sehingga akan memberikan arah bagi perubahan dan perkembangan pendidikan Islam dan tetap berada dalam suatu kerangka pandangan yang utuh dan mendasar dalam bingkai nilai-nilai pendidikan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara
Sangat sedikit dan sulit kita mendapatkan informasi kongkrit, literature atau sumber-sumber sejarah tentang Islamisasi di Nusantara. Cukup sulit menentukan kapan dan di mana pertama kali tepatnya Islam masuk di Nusantara. Persoalan mengenai di mana Islam pertama kali masuk. Ada yang mengatakan di Jawa, dan ada yang mengatakan di Barus.
Ada dugaan bahwa sejarah Nusantara sengaja dikaburkan oleh penjajah yang menancapkan kekuasaannya sejak Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511 M, kemudian menguasai Ternate pada tahun 1522.[3]Jika kita mencoba menghitung-hitung sambil melihat awal mula penguasaan Portugis atas wilayah Malaka, selanjutnya Belanda dan Jepang berturut-turut menjajah Nusantara hingga tahun 1945, maka wilayah kita telah dijajah kurang lebih 434 tahun.
Seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Prof. S. Muhammad Naimar (India) dalam sebuah ceramahnya yang dikutip oleh Yusuf Abdullah Puar” bahwa bukti-bikti tangan pertama tentang bagaimana sesungguhnya Islam di pulau-pulau ini tidak mungkin diperoleh, tetapi bukti-bukti dari luar cukup menunjukkan bahwa peng-Islaman di daerah ini sudah terjadi sejak permulaan Islam, mungkin sejak nabi Muhammad SAW masih hidup.[4]
Terdapat beberapa versi tentang masuknya Islam di Nusantara, antara lain :
  1. Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis, diantaranya; Snouck Hugronje berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan bukti diketemukannya makan Sultan Malik al-Shaleh yang beragama Islam pertama, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang berasal dari Gujarat.
  2. Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim diantaranya Prof. Hamka, yang berpendapat bahwa Islam sudah datang di Indonesia pada abad Pertama Hijriah (awal abad 7 sampai abad 8 M) langsung dari Arab dengan bukti-bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat Internasional sudah dimulai jauh sebelum abad 13 melalui selat Malaka yang menghubungkan ke Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.[5] Prof Naquib al- Attas berpendapat bahwa catatan mengenai kemungkinan masuknya orang muslim di kepulauan  Indonesia adalah bersumber dari laporan Cina tentang pemukiman Arab di Sumatera utara dikepalai  oleh orang Arab pada tahun 55 H atau 672 M. Juned Pariduri juga berpendapat bahwa di Barus Tapanuli didapatkann sebuah makam yang bertuliskan tahun Haa-Miin yang berarti tahun 48 H atau 670 M. Dengan demikian maka Islam telah masuk di wilayah tersebut pada tahun 670 M.[6]
  3. Sarjana muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya bahwa memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke 7 dan 8 M, tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di pelabuhan secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke 13 ditandai dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Bagdad ibukota Abbasiyah oleh Hulagu Khan, dan Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.[7]
Dari beberapa pendapat di atas kita mendapatkan cukup gambaran bahwa Islam sudah masuk di Nusantara pada tahun 670 M dengan diketemukannya sebuah makam Islam di Tapanuli meskipun tidak dapat dipastikan apakah pada saat itu sudah terbentuk masyarakat muslim yang luas atau tidak. Selanjutnya kita tetap meragukan kebenaran informasi oleh para orentalis bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 karena pada masa itu telah berdiri kerajaan Islam. Ini berarti Islam sudah berkembang dan pada masa itu misi Kristenisasi penjajah juga sedang berlangsung, sehingga ada kemungkinan pengaburan sejarah Islam di Nusantara.
Seiring dari beberapa pendapat di atas bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad Pertama Hijriah atau abad ke-7 M. tetapi baru meluas pada abad ke-13 M. Perluasan Islam ditandai  berdirinya kerajaan Islam tertua di Indonesia, seperti Perlak dan Samudra Pasai di Aceh pada tahun 1292 dan pada tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia Bagian Timur.
Dalam hal ini menurut Mukti Ali, bahwa sesungguhnya penyiaran Islam di Indonesia, selain memegang ajaran-ajaran Islam itu gampang dimengerti juga karena kesanggupan pembawa Islam dalam memberikan konsesi terhadap adat kebiasaan yang ada dan hidup dalam masyarakat.[8]
Sedangkan Prof. Mahmud Yunus lebih merinci tentang faktor-faktor mengapa Islam dapat tersebar dengan cepat di seluruh Indonesia pada masa permulaan, yaitu:
  1. Agama Islam tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah diturut oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk Islam cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja.
  2. Sedikit tugas dan kewajiban Islam
  3. Penyiaran Islam dilakukan secara berangsur-angsur dan sedikit demi sedikit.
  4. Penyiaran Islam dilakukan dengan cara kebijaksanaan dan cara yang sebaik-baiknya.
  5. Penyiaran Islam itu dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum.[9]
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan mudahnya proses Islamisasi di Kepulauan Nusantara, sehingga pada gilirannya nanti menjadi agama utama dan mayoritas di negeri ini. Namun secara garis besarnya Islam masuk dan berkembang di Nusantara melalui kontak perdagangan, perkawinan, dakwah para muballiq.
Tentang proses perkembangan masyarakat Islam pertama melalui bermacam-macam kontak. Misalnya jual-beli, kontak perkawinan dan kontak dakwah langsung, baik secara individual maupun kolektif.[10]
Dari situlah semacam proses pendidikan dan pengajaran Islam dimulai, meskipun sangat sederhana. Materi pelajarannya yang pertama sekali adalah kalimat Syahadat. Sebab bagi siapa yang sudah bersyahadat berarti sesorang sudah menjadi muslim.
Dengan demikian kita ketahui bahwa ternyata pensyaratan memeluk agama Islam itu praktis sekali, dan dari sana pula pendidikan beranjak, dari hal-hal yang paling mudah hingga ke hal-hal yang bersifat praktis. Sehingga banyak masyarakat yang tertarik untuk memeluk agama Islam dikarenakan tidak memberatkan ajarannya dan sedikit tugas dan kewajibannya sebagaimana telah dijelaskan di atas.

B. Sistem Pendidikan Islam pada Masa Awal Masuknya Islam di Nusantara
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan Islam dimulai seiring dengan masuk agama Islam di Nusantara. Pada awal perkembangnya, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal oleh para pedagang muslim, sambil berdagang mereka menyiarkan agama Islam. Setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam.
Didikan dan ajaran Islam mereka berikan dengan perbuatan berupa contoh suri tauladan. Mereka berlaku sopan, ramah-tamah, tulus-ikhlas, amanah dan kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta menghormati adat-istiadat yang ada, yang menyebabkan masyarakat Nusantara tertarik untuk memeluk agama Islam.
Begitulah para penganjur agama Islam pada waktu itu melaksanakan penyiaran Islam kapan saja, di mana saja, dan siapa saja setiap ada kesempatan. Di situlah agama Islam diajarkan, dan didikan kepada mereka adalah cara mudah, dengan demikian orang akan dengan mudah pula menerima dan melakukannya.
Sementara itu hampir disetiap desa yang ditempati kaum muslimin mereka mendirikan mesjid untuk tempat mengerjakan shalat jum`at, dan juga pada tiap-tiap kampung mereka dirikan surau atau langgar untuk mengaji al-Qur`an dan tempat mengerjakan shalat lima waktu.
Pendidikan agama Islam dilanggar bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf arab (hijaiyyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci al-Qur`an. Pendidikan di langgar dikelola oleh seorang petugas yang disebut `amil, modin atau lebai (di Sumatera) yang mempunyai tugas ganda, disamping memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pelajaran biasanya diberikan pada pagi hari atau petang hari, satu sampai dua jam. Pelajaran memakan waktu selama beberapa bulan, tetapi pada umumnya sekitar satu tahun.
Anak-anak duduk dengan bersila dan belum memakai bangku dan meja. Guru pun duduk besila. Mereka belajar pada guru seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang. Pelajaran awal ialah belajar huruf al-Qur`an atau huruf hijaiyyah. Setelah pandai membaca huruf hijaiyyah tersebut, baru membaca al-Qu`an. Sementara itu yang juga diajarkan adalah tata cara mengerjakan ibadah shalat, masalah keimanan yang lebih dikenal dengan sifat dua puluh serta akhlak yang diajarkan lewat cerita-cerita seperti nabi-nabi, orang-orang shaleh sehingga diharapkan anak mampu meneladaninya. [11]
Satu hal yang masih belum dilaksanakan pada pengajaran al-Qur`an di langgar, dan ini merupakan kekurangannya adalah tidak diajarkannya menulis huruf al-Qur`an ( huraf arab), dengan demikan yang ingin dicapai hanya membaca semata. Padahal menurut metode baru dalam pengajaran belajar membaca harus diadakan pelajaran menulis, seperti halnya yang dikembangkan sekarang dengan memakai metode Iqra, di mana tidak hanya kemampuan membaca yang ditekankan, akan tetapi dituntut juga penguasaan si anak di dalam menulis.
Pengajian al-Qur’an pada pendidikan langgar dibedakan kepada dua macam, yaitu:
1.      Tingkatan rendah; merupakan tingkatan pemula, yaitu mulai mengenal huruf al-Qur’an sampai bisa membacanya diadakan pada tiap-tiap kampung, dan anak-anak hanya belajar pada malam hari dan pagi hari sesudah shalat subuh.
2.      Tingkatan atas, pelajarannya selain  tersebut di atas, ditambah lagi dengan pelajaran lagu, qasidah, barazanji, tajwid serta mengaji kitab perukunan.[12]
Adapun tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah agar anak didik dapat membaca alquran dengan berirama dan baik, dan tidak dirasakan keperluan untuk memahami isinya. Jadi dalam hal ini hanya sebatas agar anak mampu membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan tentang pemahaman akan isi dan makna al-Qur’an tersebut.
Pada penyelenggaraan pendidikan langgar murid tidak dipungut uang sekolah, akan tetapi tergantung kepada kerelaan orang tua murid yang boleh memberikan tanda mata berupa benda atau uang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hubungan antara anak didik dengan guru pada pendidikan langgar berlangsung terus walaupun kelak murid melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Mengenai metode penyampaian materi pada pendidikan langgar memakai dua sistem, yaitu sistem sorongan[13] dan sistem halaqah.[14]
Memang, dalam bentuk permulaan, pendidikan agama Islam disurau atau di langgar atau di mesjid masih sangat sederhana. Modal pokok mereka yang dimiliki hanya semangat menyiarkan agama bagi yang telah mempunyai ilmu agama, dan semangat menuntut ilmu bagi anak-anak. Yang terpenting bagi guru agama ialah dapat memberikan ilmunya kepada siapa saja, terutama pada anak-anak.

C. Sistem Pendidikan Islam pada Masa Awal Kerajaan Islam
Masa kerajaan merupakan salah satu dari periodesasi sejarah pendidikan Islam di Indonesia, sebab sebagaimana lahirnya Kerajaan Islam yang disertai dengan berbagai kebijakan dari penguasanya saat itu, sangat mewarnai sejarah Islam di Indonesia, terlebih-lebih agama Islam juga pernah dijadikan sebagai agama resmi Negara/Kerajaan pada saat itu.
Karena itulah, bila kita berbicara tentang perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, tentu saja kita tidak bisa mengenyampingkan bagaimana keadaan Islam itu sendiri pada masa kerajaan Islam ini.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa kerajaan Islam di Indonesia, serta bagaimana perannya dalam pendidikan Islam dan dakwah Islamiyah tentunya.
1.     Kerajaan Islam di Aceh
a. Kerajaan Samudra Pasai
Para ahli sepakat bahwa agama Islam sudah masuk di Indonesia (khususnya Sumatera ) sejak abad ke-7 atau 8 M, meskipun ketentuan tentang tahunnya secara pasti terdapat sedikit perbedaan.
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya al-Malik Ibrahim bin Mahdum. [15] Tetapi catatan lain ada yang menyatakan bahwa kerajaan Islam pertama adalah kerajaan Perlak.[16]
Mengenai perhatian pemerintah pada pendidikan Islam pada masa itu, menurut Ibnu Battutah (ketika berkunjung ke kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1345 M) mengungkapkan bahwa pada masa pemerintahan Malik az-Zahir, ia sangat kagum melihat dimana raja sangat alim dan begitu pula memberikan perhatian besar pada ilmu agama, dengan menganut Mazhab Syafi`i serta memperaktekkan pola hidup sederhana.[17]
Dilaporkan pula ia mengikuti raja mengadan khalaqah. Setelah shalat Dhuhur sampai Ashar. Keterangan tersebut diduga kerajaan Samudra Pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan berkumpul ulama-ulama dari berbagai Negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keagamaan dan keduniaan sekaligus.[18]

Adapun sistem pendidikan Islam yang berlaku pada masa kerajaan Samudera Pasai, yaitu:
a.       Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah fiqhi mazhab Syafi`i.
b.      Sistem pendidikannya secara informal berupa majelis ta`lim dan halaqah.
c.       Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh agama.
d.      Biaya pendidikan agama bersumber dari Negara.[19]
Setelah kerajaan Samudra Pasai mengalami kemunduran dalam bidang politik, tradisi pendidikan agama Islam terus berlanjut. Samudra Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara, walaupun secara politik tidak berpengaruh lagi.[20]

b. Kerajaan Perlak
            Kerajaan Perlak merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia. Bahkan ada yang menyatakan lebih dahulu dari kerajaan Samudera Pasai, namun kurang bukti valid dan data kepustakaan yang memperkuat pendapat tersebut. Yang jelas Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu. Berdasarkan faktor demikian maka Islam dengan mudah sekali bertapak di Perlak tanpa kegoncangan social dengan penduduk pribumi.
            Berita perjalanan Marco Polo seorang berkebangsaan Italia pengeliling dunia, pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 M. Dia menerangkan bahwa ibukota Perlak ramai dikunjungi pedagang Islam dari Timur Tengah, Parsi, dan India, yang sekaligus melakukan tugas-tugas dakwah.
Menurut sejarah, Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M tercatat sebagai Sultan yang ke-enam, terkenal sebagai Sultan arif bijaksana lagi alim sekaligus seorang ulama. Dan sultan inilah yang mendirikan semacam perguruan tinggi Islam pada saat itu.
Begitu pula di Perlak  terdapat suatu lembaga pendidikan lainnya berupa majelis ta`lim tinggi, yang dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim dan mendalam ilmunya. Pada majelis ta`lim diajarkan kitab-kitab agama yang punya bobot dan pengetahuan tinggi, seperti kitab Al Um karangan Imam Syafi`I dan sebagainya.[21]
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan dengan baik.
c. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaaan Aceh Darussalam yang diproklamasikan pada tanggal 12 Zulkaedah 916 h (1511 M) menyatakan perang terhadap buta huruf dan buta ilmu. Hal ini merupakan tempaan sejak beabad-abad yang lalu, yang berdasarkan pendidikan Islam dan pengetahuan.
Pada saat pemerintahan Sultan Alauddin Ali Mughayat Syah (1507-1522), Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan, sehingga banyaklah orang  dari luar yang datang menuntut ilmu. Bahkan Ibukota kerajaan Aceh Darussalam terus berkembang menjadi kota international san menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Dalam bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam adalah benar-benar mendapat perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga Negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, diantaranya :
  1. Balai Seutia Hukama ( lembaga pengembangan ilmu pengetahuan).
  2. Balai seutia Ulama ( lembaga pendidikan dan pengajaran).
  3. Balai Jamaah Himpunan Ulama (lembaga studi pendidikan dan ilmu pendidikan).
Adapun jenjang pendidikan yang ada adalah sebagai berikut:
a.       Meunasah (madrasah); berfungsi sebagai sekolah dasar, materi yang diajarkan yakni; menulis dan membaca huruf arab, ilmu agama, bahasa melayu, akhlak dan sejarahnya Islam.
b.      Rangkang ; setingkat Madrasah Tsanawiyah, materi pelajarannya yaitu;  Bahasa Arab, Ilmu Bumi, Sejarah, Berhitung, Akhlak, fiqhi dan lain-lain.
c.       Dayah ; setingkat Madrasah Aliyah, materi pelajarannya yakni; Fiqhi, Bahasa Arab, Tauhid, Tasawwuf/Akhlak, Ilmu Bumi, Sejarah/Tata Negara, Ilmu Pasti dan Faraid.
d.      Dayah Teuku Cik; setingkat dengan perguruan tinggi atau Akademi, materi pelajarannya yaitu; Fiqhi, Tafsir, Hadis, Tauhid (ilmu Kalam), Tasawwuf, Ilmu Bumi, Ilmu Bahasa dan Sastra Arab, Sejarah/Tata Negara, Mantiq, Ilmu Falaq dan Filsafat.[22]
Dari beberapa jenjang pendidikan diatas, kebanyakan diselenggarakan di mesjid sebagai tempat berbagai aktifitas umat. Dengan demikian, jelas sekali bahwa di kerajaan Aceh Darussalam, Ilmu pengetahuan benar-benar berkembang dengan pesat dan mampu melahirkan para ulama dan sarjana-sarjana Islam yang terkenal baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sehingga berdatanganlah para pelajar dari luar untuk menuntut ilmu di Aceh Darussalam. Sehingga menjadilah pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
2. Kerajaan Islam Demak
            Para ahli sejarah tampaknya berbeda pendapat tentang awal berdirinya kerajaan Demak. Sebagian ahli berpendapat bahwa kerajaan Demak berdiri pada tahun 1478 M, pendapat ini berdasarkan atas sesudah jatuhnya kerajaan Majapahit, Sebagian lainnya berpendapat bahwa kerajaan Demak berdiri pada tahun 1518 M. Hal ini berdasarkan bahwa pada tahun tersebut merupakan tahun berakhirnya masa pemerintahan Prabu Udara Brawijaya VII yang mendapat serbuan Raden Fatah dari Demak.[23]
            Kehadiran kerajaan Islam Demak dipandang rakyat Majapahit sebagai cahaya baru yang membawa harapan. Kerajaan Islam itu di harapkan sebagai kekuatan baru yang akan menghalau segala bentuk penderitaan lahir batin dan mendatangkan kesejahteraan. Raja Majapahit sudah kenal Islam jauh sebelum kerajaan Demak berdiri. Bahkan keluarga Raja Brawijaya sendiri kenal agama Islam melalui Cempa yang selalu bersikap ramah dan damai.[24]
            Dengan berdirinya kerajaan Islam Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama  di Jawa tersebut, maka penyiaran agama Islam makin meluas, pendidikan dan pengajaran Islam pun bertambah maju.
            Pelaksanaan sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak punya kemiripan dengan yang dilaksanakan di Aceh, yaitu dengan mendirikan mesjid di tempat-tempat yang menjadi sentral disuatu daerah, disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang Badal untuk menjadi seorang guru, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam.
            Penyiaran agama Islam dan perkembangan pendidikan Islam di Demak tidak terlepas dari sumbangsih para wali-wali di suatu daerah yang diberi gelar Sunan. Hubungan timbal-balik antara kerajaan Demak dengan wali-wali sembilan sangatlah besar peranannya dibidang dakwah Islamiyah dan berperan sebagai penasihat dan pembantu raja.[25]
            Dengan kondisi demikian, maka yang menjadi sasaran pendidikan dan dakwah Islam meliputi kalangan pemerintah dan rakyat umum. Dengan adanya  kebijakan para wali-wali menyiarkan agama dan memasukkan anasir-anasir pendidikan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan nasional Indonesia, sangat menggembirakan , sehingga agama Islam dapat tersebar di seluruh kepulauan Indosesia.
3. Kerajaan Islam Mataram
            Pada zaman kerajaan Islam Mataram (1586), terutama pada saat Sultan Agung berkuasa, terjadi beberapa macam perubahan. Seperti menggalakkan pertanian, perdagangan dengan luar negeri dan mengadaptasikan kebudayaan lama dari agama Hindu ke dalam  kebudayaan Islam.
            Adanya usaha dan kebijakan Sultan Agung pada masa pemerintahannya, yakni :
a.       Gerebek disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan maulid Nabi. Sejak saat itu terkenal dengan Gerebek Poso (puasa) dan Gerebek Mulud.
b.      Gamelan sekaten yang hanya dibunyikan pada gerebek Mulud, atas kehendak Sultan Agung dipukul di halaman mesjid besar.
c.       Karena hitungan Saka (Hindu) yang dipakai di Indonesia (Jawa) berdasarkan hitungan poerjalanan matahari, berbeda dengan tahun Hijriah yang berdasarkan perjalanan bulan, maka pada tahun 1633 M atas perintah Sultan Agung, tahun Saka  yang telah berangka 1555 saka, tidak lagi ditambah dengan hitungan matahari, melainkan dengan hitungan perjalanan bulan, sesuai dengan tahun Hijriah. Tahun baru disusun disebut tahun Jawa, dan sampai sekarang tetap juga dipergunakan.[26]
Begitu pula pendidikan sudah mendapat perhatian sedemikian rupa, seolah-olah tertanam semacam kesadaran akan pemikiran pada saat itu. Meskipun tidak ada undang-undang wajib belajar, tapi anak-anak usia sekolah tampaknya harus belajar pada tempat-tempat pengajian di desanya atas kehendak orang tuanya sendiri.
            Ketika itu hampir di setiap desa diadakan tempat pengajian al-Qur’an, yang diajarkan huruf hijaiyyah, membaca al-Qur’an, barazanji, pokok dan dasar-dasar ilmu agama. Selain pelajaran al-Qur’an dan pelajaran lainnya, juga ada tempat pengajian kitab, bagi murid-murid yang telah khatam mengaji al-Qur’an. Tempat pengajiannya disebut pesantren. Para santri harus tinggal di asrama yang dinamai pondok, di dekat pesantren tersebut.
Sementara itu pada beberapa daerah Kabupaten diadakan pesantren besar, yang dilengkapi dengan pondoknya, untuk kelanjutan bagi santri yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren-pesantren desa. Pesantren ini adalah lembaga pendidikan tinggi, dimana materi pelajarannya meliputi; fiqhi, tafsir, hadis, ilmu kalam, tasawwuf dan sebagainya. Selain pesantren besar, juga diselenggarakan semacam pesantren Takhassus, yang mengajarkan satu cabang ilmu agama dengan cara mendalam atau spesialisasi.[27]
Dengan demikian pada masa kerajaan Islam di Mataram, pendidikan Islam mendapat perhatian besar dari pemerintah dan masyarakat sehingga pendidikan Islam mengalami perkembangan yang begitu pesat.

4. Kerajaan Islam Sulawesi Selatan
            Kerajaan terbesar sesudah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit adalah Kerajaan Gowa yang terletak di Sulawesi Selatan. Agama Islam mulai masuk dan berkembang di Sulawesi-Selatan pada tahun 1605 M atau 1015 H di bawah oleh pedagang dari Surabaya dan orang-orang Melayu dari Sumatera. Pada tahun tersebut raja Gowa bersama mangkubumi-nya (Raja Tallo) menyatakan diri sebagai pemeluk agama Islam. Raja Tallo, mangkubumi kerajaan Gowa yang pertama memeluk Islam bergelar “Abdullah Awwalul Islam”, sedangkan raja Gowa yang menyusul kemudian diberi gelar “Sultan”, disamping gelar dan nama diri yang sudah mereka miliki. Pada tahun 1607 seluruh rakyat kerajaan Makassar (Gowa) sudah memeluk agama Islam.[28]
            Adapun proses proses pendidikan Islam di Sulawesi Selatan, pada periode awal masih berkisar pengajaran baca al-Qur’an dan pelaksanaan ibadah, terutama shalat lima waktu. Jika dilihat dari segi materi pelajarannya, dibagi dalam dua tahap yakni; Tahap pengajian al-Quran dan Tahap pengajian kitab.
1)     Tahap pengajian al-Quran.  
Melalui tahap pengajian al-Qur’an seperti biasanya diajarkan huruf Hijaiyyah dengan mengeja huruf demi huruf (dalam bahasa Bugis disebut “makkalepu”, disamping pula diajarkan cara Thaharah, wudhu, shalat fardu dan doa-doa pendek.
2)     Tahap pengajian kitab.
Tahap ini disebut “mangaji kitta`”sebagai lanjutan dari pengajian al-Qur’an ialah Para santri menerima pelajaran dari kiyai/guru sesuai dengan bidang ilmu yang dimiliki sang guru, seperti ilmu fiqhi, tauhid dan ilmu agama lainnya. Sistem pengajaran tradisional seperti umumnya yang berlaku pondok pesantren di daerah lain di Indonesia.
Pondok pesantren yang pertama di Sulawesi Selatan adalah pondok pesantren di Watampone yang didirikan oleh Petta Yusuf, adalah seorang ulama yang telah berhasil menimba ilmu agama di Mekah. Pondok pesantren selanjutnya adalah pondok pesantren Timurung yang dibina oleh KH. Tjambang. Pondok pesantren kemudian berkembang di beberapa daerah lainnya, antara lain pesantren di pulau Salemo (Pangkep) yang dipimpin oleh KH. Abdullah,  pesantren As’adiyah (Wajo) yang dipimpin oleh KH. Muhammad As’ad.dan pesantren Mangkoso (Barru) yang dipimpin oleh KH. Abdurrahman Ambo Dalle.[29]
Dari sinilah dapat dilihat betapa berkembangnya pendidikan agama Islam di Sulawesi Selatan pada masa awal masuknya Islam di daerah ini. Disamping berdirinya beberapa pondok pesantren yang sebagian masih bertahan hingga saat ini. Namun perkembangan ini tidak terlepas dari pengaruh penguasa kerajaan Islam di Sulawesi pada saat itu yang memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan pendidikan Islam.

5. Kerajaan Islam Banjarmasin
            Kerajaan Islam Banjarmasin berdiri pada tahun 1526 M, di bawah pimpinan Sultan Suriansyah. Dimana perkembangan Islam pada masa tersebut mengalami kemajuan, mesjid-mesjid dibangun hampir disetiap desa. Perkembangan yang sangat menggembirakan, pada masa pemerintahan Sultan Tahmilillah (1700-1748 M), telah lahir seorang ulama terkenal yakni Syekh Muhammad Arsyad al Banjary, beliau banyak memberikan konstribusi besar dalam penyebaran agama Islam dan pengembangan pendidikan Islam di Banjarmasin serta mengarang beberapa kitab agama Islam, diantaranya kitab yang paling terkenal sampai sekarang adalah Kitab Sabilul Muhtadin.
            Sistem pengajian di pesantren Banjarmasin, tidak berbeda dengan sistem pengajian kitab di pondok pesantren Jawa dan Sumatera, yaitu dengan mengunakan sistem halaqah, menerjemahkan kitab-kitab yang dipakai ke dalam bahasa daerah (Banjar), sedang para santrinya menyimaknya.[30]
            Sebelum tampilnya Syekh Muhammad Arsyad, di Banjarmasin juga sudah terdapat seorang ulama besar, yaitu syekh Muhammad Nafis bin Al Banjary, yang mengarang sebuah kitab tasawwuf “Addarunnafis”. Bagaimana tingginya iman dan ketebalan tauhid di zaman itu, dapatlah terbaca pada karya syekh Nafis, sehingga bagi yang iman tauhidnya belum mencukupi, niscaya kitab ini akan membahayakan kepada iman dan tauhid seseorang.[31]
            Demikianlah keadaan pendidikan Islam pada masa kerajaan Islam, yang jelas pada saat ini Islam telah berkembang pesat dan sedemikian rupa. Meskipun hanya beberapa kerajaan Islam yang penulis kemukakan dalam tulisan ini, bukan berarti mengecilkan arti pentingnya kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Namun mungkin kerajaan-kerajaan ini mampu mewakili kerajaan-kerajaan Islam tersebut.
D. Sistem Pendidikan Pesantren Pada Masa Awal
            Sistem pendidikan pesantren merupakan produk asli Indonesia. Beberapa pandangan dalam menelusuri sejarah munculnya pondok pesantren. Menurut Mastuhu, Pesantren telah ada dan mulai sejak awal ke-13.[32]Nurcholish Madjid, menambahkan bahwa keberadaan pesantren sangat dipengaruhi oeh kebudayaan yang berkembang sebelumnya yaitu Hindu-Budha. Pesantren memiliki hubungan histories dengan lembaga pra-Isalam yang sudah ada sejak kekuasaan Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahannya.[33]
            Dari sejarah pula kita ketahui bahwa dengan kehadiran kerajaan bani Umayyah menjadikan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di mesjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang lain, seperti “kutab”. Kutab ini dengan karakteristiknya yang khas, merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca tulis dengan sistem halaqah (sistem wetongan).[34]
Di Indonesia, istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren, yaitu suatu lembaga pendidikan Islam, yang didalamnya terdapat seorang kiyai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri dengan sarana mesjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri,[35] dengan demikian ciri-ciri pondok pesantern adalah adanya kiyai, santri, mesjid dan pondok.
Dari beberapa pandangan ini menunjukkan bahwa tidak adanya kesamaan pandangan tentang sejarah munculnya pondok pesantren, akan tetapi jika dihubungkan dengan dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia , maka kita mengetahui bahwa Islam dibawah oleh saudagar dari Arab, Persia, dan Gujarat. Sementara pendidikan di Persia dan India banyak dipengaruhi oleh ajaran tarekat (tasawwuf). Pesantren sendiri dalam aktivitasnya banyak mengikuti kaum Sufi seperti Tawadhu` qana`ah, sabar dan lain-lain. Praktek kesufian ini sebenarnya telah dipraktekan pula oleh kaum terdidik Hindu-Budha seperti suka menolong, dan sebagainya. Namun demikian tidak berarti pondok psantren lahir dengan maksud untuk mengikuti sistem pendidikan yang sudah ada sebelumnya baik di dunia Islam maupun bentuk pendidikan Hindu-Budha
Sistem pendidikan pesantren yang ingin dikemukakan di sini terbatas pada sistem pendidikan sebelum masa pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Secara historis dapat dikatakan bahwa kelahiran sistem pendidikan sudah ada sebelum masa pembaharuan, hanya saja sistem yang digunakan masih tergolong tradisional dan sangat sederhana.
Menurut Martin, alasan pokok didirikannya pesantren adalah untuk mentrasmisikan Islam tradisional sebagai yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-berabad yang lalu yang kemudian dikenal sebagai kitab kuning.[36] Namun demikian, melihat pandangan ini kemudian muncul pertanyaan, kapan munculnya pesantren yang pertama kali? Hal ini tidak mudah untuk dijawab, sebab di Jawa sendiri sebagai pusat pengembangan ini pada awalnya tidak terdapat bukti yang cukup. Hanya saja diketahui bahwa sekitar abad ke-15 M. pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama Islam yang dikenal dengan istilah Wali Songo, seperti di Ampel oleh Sunan Ampel dan di Giri oleh Sunan Giri.[37]
Tujuan terbentuknya pondok pesantren :
1.      Tujuan Umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2.      Tujuan Khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiyai yang bersangkutan serta mengamalkan dalam masyarakat.[38]
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang termasuk tertua, sejarah perkembangan pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu metode pengajaran wetongan dan sorongan. Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan “Bendungan”, sedangkan di Sumatera digunakan Istilah Halaqah.
1.       Metode Wetongan (Halaqah)
Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiyai yang  membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.
2.       Metode Sorongan
Metode yang santrinya cukup pandai men “sorog” kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kiyai untuk dibaca di hadapannya. Kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kiyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.[39]
            Isi kurikulum pesantren terfokus pada imu-ilmu agama, seperti bahasa Arab, fiqhi, hadits, tafsir, ilmu kalam, tarikh (sejarah) dan sebagainya. Literature ilmu-ilmu tersebut sebagaimana dikemukakan sebelumnya adalah kitab-kitab klasik yang disebut kitab kuning dengan ciri-cirinya sebagai berikut :
  1. Kitab-kitabnya berbahasa Arab.
  2. Pada umumnya tidak menggunakan syakal, bahkan ada yang tanpa titik atau koma.
  3. Berisi keilmuan yang cukup berbobot.
  4. Metode penulisannya dianggap kuno dan relevansinya dengan ilmu-ilmu kontemporer kerap kali tampak relative tidak ada.
  5. Lazimnya dikaji dan dipelajari di pondok pesantren.
  6. Kertasnya berwarna kuning.[40]
Kedudukan pesantren dalam hal ini merupakan kelanjutan dari pendidikan elementer yang berlangsung di langgar, dengan mempelajari berbagai cabang ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab kuning. Kegiatan belajar berlangsung pada waktu-waktu tertentu, yaitu setelah shalat subuh. Biasanya pada pagi hari, para santri mengerjakan pekerjaan kerumahtanggaan, membersihkan halaman, mengolah sawah bersama dengan kyainya, setelah itu baru diberikan pelajaran lagi. Pada siang hari, santri beristirahat dan pada sore hari, mereka kembali belajar. Dalam melaksanakan semua kegiatan tersebut, waktu shalat berjamaah selalu diperhatikan. [41]
Jadi bisa dikatakan pesantren dari sudut histories kultural adalah sebagai trining center yang otomatis menjadi kultural sentral Islam yang disalurkan atau dilembagakan oleh masyarakat Islam sendiri yang secara defacto tidak dapat diabaikan oleh pemerintah. Dan kehadiran pesantren di masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Dengan sifatnya yang lentur atau fleksibel, sejak awal kehadirannya, pesantren ternyata mampu mengadaptasikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntunan masyarakat. Dengan kata lain pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat pengembangan Islam.
Dan pesantren pun terus berkembang dan bisa diterima oleh masyarakat sebagai upaya mencerdaskan, meningkatkan kedamaian dan membantu sosio-psikis bagi mereka bahkan menjadi kebanggaan bagi mereka yang utamanya muslim. Hanya saja pada masa penjajahan Belanda pesantren tidak dapat berkembang, karena Belanda sebagaimana diketahui menguasai belanda selama tiga setengah abad dimana selain menguasai politik, ekonomi dan militer juga mengembang misi penyebaran agama Kristen dan bagi Belanda, pesantren merupakan antitesis terhadap gerakan kristenisasi dan upaya pembodohan masyarakat, inilah yang membuat Belanda menekan pertumbuhan pesantren.[42]
Sikap yang demikian, dilakukan Belanda tidak semata-mata untuk menghambat jalannya proses pendidikan pesantren. Tetapi alasan-alasan yang lain yang tampak mendasari mengapa pemerintah Belanda bersikap demikian. Sebab pada zaman penjajahan tersebut, di kalangan pemerintah kolonial, timbul dua alternatif untuk memberikan pendidikan kepada bangsa Indonesia, yaitu memberikan lembaga memberikan lembaga pendidikan yang berdasarkan lembaga pendidikan tradisional, yaitu pesantren, atau mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di Barat pada waktu itu.
Penyelenggaraan pendidikan di pesantren ini menurut pemerintahan kolonial Belanda, terlalu jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu mengambil alternatif kedua yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan lembaga pendidikan yang telah ada.[43]
Tetapi ternyata dengan diselenggarakannya pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda ini, justru tidak lebih memberikan keleluasaan pendidikan pesantren yang dikelola orang-orang pribumi atau umat Islam, pemerintah kolonial Belanda berusaha menghalang-halanginya, terutama dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijaksanaan yang dirasakan cukup menekan kegiatan pendidikan Islam di Indonesia.
Dengan didirikannya lembaga pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda, maka semenjak itulah terjadi persaingan antar lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan pemerintah. Meskipun harus bersaing, pendidikan pesantren tetap terus berkembang jumlahnya.
Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya segi-segi ideologi dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan Belanda pada abad ke-19, bersumber atau paling  tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren. Perang-perang besar, seperti perang Diponegoro, perang Paderi, Perang Banjar, sampai kepada perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal yang tersebar di mana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumninya memegang peranan utama.[44]
Menyaksikan keadaaan yang demikian  menyebabkan pemerintah Belanda mencurigai eksistensi pesantren. Sehingga pemerintah colonial Belanda mulai mengadakan pengawasan dan campur tangan terhadap pendidikan pesantren, dan dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren), dan juga guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapat izin dari pemerintah setempat.[45]
Seiring dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat modern yang mulai menjamah sebagian masyarakat dan bangsa Indonesia, pesantren pun tampaknya mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif, meskipun ruang geraknya tetap diawasi dan dibatasi. Ide-ide pembaharuan dalam Islam, termasuk pembaharuan dalam bidang pendidikan  mulai masuk ke Indonesia, dan mulai merasuk ke dunia pesantren serta dunia pendidikan Islam pada umumnya dengan berorientasi kepada pola pendidikan Barat, yakni mengembangkan ilmu teknologi dan kebudayaan dan pemurnian kembali ajaran Islam dan sistem pendidikan pun berubah yakni dari khalaqah menjadi klasikal.[46]
Terjadinya perubahan sistem pendidikan Islam yang semacam ini tidak terlepas dari adanya motivasi yang muncul untuk selalu mengadakan pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam yang masih sarat dengan kekurangan-kekurangan. Bebagai kekurangan itu kemudian diupayakan kelengkapannya dengan mencoba mengadopsi beberapa sistem pendidikan kolonial. Upaya tersebut terutama dilakukan sebagai respon terhadap pengharaman yang dikakukan oleh kelompok tradisionalis atas sistem pendidikan barat.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sistem pendidikan Islam modern yang di dalamnya banyak unsur yang sumbernya dari Barat, misalnya penggunaan bangku sekolah, penyusunan materi pelajaran, metodologi dan masih banyak yang lain. Hal semacam itu semuanya masih bersumber dari  pengaruh sistem pendidikan kolonial Belanda.
Kaum tradisionalis -mau tidak mau- harus merelakan sistem pendidikan kolonial itu diaplikasikan, karena  melihat keberhasilan yang telah dicapai. Sebuah contoh yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hal ini adalah sistem pendidikan sekolah negeri di Minangkabau, yang walaupun pada awalnya menggunakan sistem pendidikan surau, tetapi setelah beberapa lama mengadopsi sistem pendidikan Barat, hasilnya mampu menempatkan anak-anak Minang pada posisi strategis dalam wacana intelektual dan politik pada masa kebangkitan nasional dan pada masa kemerdekaan.[47]
Dengan sistem pesantren tumbuh dan berkembang di mana-mana, yang ternyata mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha mempertahankan eksistensi umat Islam dari serangan dan penindasan fisik dan mental kaum penjajah beberapa abad lamanya. Pesantren pada mulanya berlangsung secara sederhana, ternyata cukup berperan dan banyak mewarnai perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, serta banyak melahirkan tokoh-tokoh terkenal.

BAB III
KESIMPULAN

Islam telah masuk ke Indonesia pada abad Pertama Hijriah atau abad ke-7 M melalui kontak perdagangan, perkawinan, dakwah para muballiq. Tetapi baru meluas pada abad ke-13 M, Sedangkan mengenai Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia sama tuanya dengan masuknya agama tersebut ke Indonesia. Karena ketika seseorang memeluk agama Islam maka dari situlah semacam proses pendidikan dan pengajaran Islam dimulai, meskipun sangat sederhana dan materi pelajarannya yang pertama sekali adalah kalimat Syahadat, selanjutnya memberikan pendidikan dan ajaran agama Islam berupa contoh suri tauladan seperti berlaku sopan, ramah-tamah, tulus-ikhlas, amanah dan kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta menghormati adat-istiadat yang ada, yang menyebabkan masyarakat Nusantara tertarik untuk memeluk agama Islam. Secara lembaga, pendidikan Islam pada saat itu masih dalam bentuk yang sangat sederhana, seperti mereka pada mulanya belajar di rumah-rumah, langgar/surau, mesjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren dengan memakai dua sistem, yaitu sistem sorongan dan sistem halaqah.
Sedangkan perkembangan pendidikan Islam tidak terlepas dari lahirnya kerajaan-kerajaan Islam yang disertai dengan berbagai kebijakan dari penguasanya saat itu, sangat mewarnai sejarah pendidikan Islam di Nusantara, terlebih-lebih agama Islam juga pernah dijadikan sebagai agama resmi Negara/Kerajaan pada saat itu. Dan perkembangan pendidikan Islam di masa awal juga tidak terlepas dari peran serta para wali-wali sembilan (Wali Songo) yang sangatlah besar peranannya dibidang dakwah Islamiyah dan berperan sebagai penasihat dan pembantu raja disamping mereka juga mendirikan lembaga pendidikan pesantren di berbagai daerah di Nusantara ini.
Dan pesantren pun terus berkembang dan bisa diterima oleh masyarakat sebagai upaya mencerdaskan, meningkatkan kedamaian dan membantu sosio-psikis bagi mereka bahkan menjadi kebanggaan bagi mereka yang utamanya muslim. Hanya saja pada masa penjajahan Belanda pesantren tidak dapat berkembang, pemerintah kolonial Belanda berusaha menghalang-halanginya, terutama dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijaksanaan yang dirasakan cukup menekan kegiatan pendidikan Islam di Indonesia. Sehingga pesantren bangkit dan perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan Belanda pada abad ke-19, bersumber atau paling  tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren.
Terjadinya perubahan sistem pendidikan Islam yang semacam ini tidak terlepas dari adanya motivasi yang muncul untuk selalu mengadakan pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam yang masih sarat dengan kekurangan-kekurangan. Bebagai kekurangan itu kemudian diupayakan kelengkapannya dengan mencoba mengadopsi beberapa sistem pendidikan Kolonial. Upaya tersebut terutama dilakukan sebagai respon terhadap pengharaman yang dikakukan oleh kelompok tradisionalis atas sistem pendidikan barat.
Pada perkembangan selanjutnya, suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sistem pendidikan pendidikan pesantren melakukan pembaharuan dengan mengadopsi sistem dari Barat, misalnya penggunaan bangku sekolah, penyusunan materi pelajaran, metodelogi dan masih banyak yang lain. Hal semacam itu semuanya  masih bersumber dari  pengaruh sistem pendidikan kolonial Belanda.
Kedatangan bangsa Barat di satu pihak memang telah membawa kemajuan dibidang teknologi, tetapi kemajuan teknologi teknologi bukan dinikmati oleh penduduk pribumi, tujuannya hanya untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Begitupula dengan pendidikan, mereka telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru, dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan murah sekali dibandingkan jika mereka mendatangkan pekerja dari Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Puar. Yusuf , Sejarah Islam di Indonesia, Cet. II; Bandung,: PT. Angkasa, 1984
Abdullah. Taufiq , Sejarah ummat Islam Indonesia, Cet. I; Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991
Ali. A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, Cet. II ; Jakarta : Tinta Mas, 1974
Ali. A. Mukti , Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Cet. II ; Jakarta : Rajawali, 1987
Azra.Asyumardi , Pendidikan Islam, Tradisi, Modernisasi Menuju Millenium Baru, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Bruinessen. Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-trradisi Islam di Indonesia, Cet. III; Bandung : Mizan, 1999
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I ; Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995
Hamzah. Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Cet. II : Jakarta ; Mulia Offset, 1989
Hasyimi. A. , Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, Cet. II; Bandung: Al-Ma’arif, 1981
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Islam, Bagian I dan II, Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000
Kartodirjo. Sartono,Sejarah Nasional, Cet. VI : Jakarta ; Balai Pustaka, 1977
Langgulung. Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Cet. II; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988
Mastuhu, Dinamika Sistem pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren Jakarta: INIS, 1994
Madjid. Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997
Muhaimin dan  Abd Mudjib, pemikiran pendidikan islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Oprasionalisasinya Cet. 1; Bandung : Trigenda Karya, 1993
HM. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Cet. I ; Jakarta : Bumi Aksara, 1991
Qomar. Mujamil, Pesantren Dari Trasformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, t.th.
Tim Depag RI., Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Cet. II ; Jakarta : Dirjen Bimas Islam, 1983
Steenbrink. Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Cet. II: Jakarta ; LP3ES. 1986
Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Cet. III; Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964
Mursyifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Cet. I; Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2005
Yunus. Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta; Hidakarya Agung, 1985
Zuhairin Dkk.,Sejarah Pendidikan Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Departemen Agama RI, Cet. II; Jakarta, 1986
Zuhri. Saifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam di Indonesia dan Perkembangannya di Indonesia, Cet. IV ; Jakarta : Puspa Karya, 1978


_________________________________





[1] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta; Hidakarya Agung, 1985), h. 6
[2] Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Cet. III; Jakarta : Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), h. 332
[3] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Islam, Bagian I dan II, (Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000), h. 722
[4] Yusuf Abdullah Puar, Sejarah Islam Indonesia,(Cet. I; Bandung: PT. Angkasa Bandung, 1984), h. 15
[5] A. Hasyimi, Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, (Cet. II; Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h. 358
[6] Hasbullah, Op.cit, h. 5
[7] Taufiq Abdullah, Sejarah ummat Islam Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), h. 39
[8] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, (Cet. II ; Jakarta : Tinta Mas, 1974) h. 6
[9] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Cet. IV; Jakarta Hidaya karya, 1985), h. 14
[10] Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam di Indonesia dan Perkembangannya di Indonesia, ( Cet. IV ; Jakarta : Puspa Karya, 1978), h, 194
[11] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Cet. I ; Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), h. 21-22.
[12]  Mahmud Yunus, Op. cit, h. 14
[13] Sistem Sorongan adalah sistem pendidikan dimana anak belajar secara perorangan dengan guru/kiyai.
[14] Sistem halaqah adalah sistem pendidikan dimana guru/kiyai dalam memberikan pengajarannya duduk dengan dikelilingi murid-muridnya.

[15] Hasbullah, Op.cit. h.28
[16] Yusuf Abdullah Puar, Sejarah Islam di Indonesia, (Cet. II; Bandung,: PT. Angkasa, 1984), h. 15

[17] Hasbullah, Op.Cit., h. 28
[18] Mursyifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2005), h. 104
[19] Dra. Zuharini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Departemen Agama RI, (Cet. II; Jakarta, 1986), h. 127
[20] Mursyifah Sunanto, Op.cit., h. 107
[21] Hasbullah, Op.cit., h. 30
[22] Ibid. h. 32
[23] Zuhairini, dkk., Op.cit,. hlm 136
                  [24] Ibid., 136
[25] Ibid.
[26] Mahmud Yunus, Op.cit., 221-222
[27] Hasbullah, Op.cit., h. 37
[28] Abd. Rahman Getteng, Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan,(Cet. I; Yogyakarta: Graha Guru, 2005), h. 60
[29] Ibid., h. 77-78
[30] Hasbullah, Op.cit.,h. 37-38
[31] Ibid.
[32] Mastuhu, Dinamika Sistem pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), h.23
[33] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 10
[34] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Cet. II; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), h. 112
[35] A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Cet. II ; Jakarta : Rajawali, 1987), h. 323
[36] Lihat Hanun Asrohoh, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit., h. 146
[37] Martin Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-trradisi Islam di Indonesia, (Cet. III; Bandung : Mizan,1999), h.17
[38] Arifin HM, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Cet. I ; Jakarta : Bumi Aksara, 1991), h. 248
[39] Tim Depag RI, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, (Cet. II ; Jakarta : Dirjen Bimas Islam, 1983), h. 8
[40] Muhaimin dan  Abd Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis Dan Kerangka Dasar Oprasionalisasinya(Cet. 1; Bandung : Trigenda Karya, 1993), h. 300-301
[41] Lihat Hasbullah, op. cit., h. 25. Lihat pula Gufron  A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam(Cet. 1; Jakarta: Raja Rafindo Persada, 1999), h.740
[42] Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., Pesantren Dari Trasformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, t.th.), h. 12.
[43] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, (Cet. II: Jakarta ; LP3ES. 1986), h. 152
[44] Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional, (Cet. VI : Jakarta ; Balai Pustaka, 1977), h. 131
[45] Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Cet. II : Jakarta ; Mulia Offset, 1989), h. 47
[46] Hasbullah, Op.cit., h. 150
[47] Asyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi, Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 89

0 komentar

Posting Komentar