Sabtu, 01 Oktober 2016

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

                                               BAB I
                                     PENDAHULUAN
       A.    Latar Belakang Masalah

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN Seiring dengan perkembangan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama berangsur-angsur bergeser bahkan bersebrangan dengan ilmu. Bagi kalangan ilmuwan Barat, agama adalah penghalang kemajuan karena beranggapan jika ingin maju agama tidak boleh lagi mengurus masalah-masalah yang berkaitan  dengan dunia seperti politik dan sains. Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada paruh ke-dua abad ke-18,  merupakan titik awal pencerahan (renaissance) di Eropa menuju peradaban modern. Hal inilah yang  mengantarkan Barat mencapai sukses luar biasa dalam

pengembangan  teknologi masa depan. Sedangkan ummat Islam malah mengalami kemunduran-kemunduran sistematik dalam alur peradabannya. Praktis dunia Islam dewasa ini merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut-penganut agama besar di dunia dikarenakan begitu rendahnya kemajuan yang diraih dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan ummat Islam menjadi penonton bahkan terbuai oleh kenikmatan semu yang disuguhkan oleh Barat dengan kecanggihan teknologinya.
Sejak terjadinya pencerahan di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oleh ahli sains dan cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan pemikiran filsafah Barat yang dipengaruhi oleh sekularisme dan materialisme. Sehingga konsep, penafsiran dan makna ilmu itu sendiri tidak bias terhindarkan dari pengaruh pemikirannya. Ummat Islam mempelajari sains barat tanpa menyadari kaitan temali historis Barat dan ilmu-ilmu Barat, sehingga ummat Islam pun terjatuh dalam hegemoni Barat dan proses ini mengakibatkan esensi peradaban Islam semakin tidak berdaya di tengah kemajuan peradaban Barat yang sekuler.
Menghadapi keadaan yang demikian itu, ummat Islam mencari sebab-sebabnya. Sebab-sebab tersebut yang utama di antaranya karena ummat Islam tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya perpecahan. Di kalangan ummat Islam paling kurang timbul sikap menghadapi keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut sebagai berikut:
1.      Sikap  yang didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat sebagai ilmu pengetahuan yang sekuler. Karena itu ilmu tersebut harus ditolak.
2.      Sikap yang didasarkan pada asumsi bahw ailmu pengetahuan Barat sebagai ilmu yang bersifat netral. Karenanya ilmu tersebut harus diterima apa adanya tanpa disertai rasa curiga dan sebagainya.
3.      Sikap yang diadasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat sebagai ilmu yang bersifat sekuler dan materialisme. Namun diterima oleh ummat Islam dengan terlebih dahulu dilakukan proses Islamisasi.[1]
          Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi tema dan term popular di kalangan intelektual Islam, di Indonesia maupun di negara-negara lain. Hal tersebut tidak lepas dari kesadaran ber-Islam di tengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Ameriaka istilah ini telah menjadi simbol dari sebuah keinginan besar untuk member warna Islam pada berbagai disiplin ilmu.           Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat mana kala mampu mentransformasiakan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu atau memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[2]
          Hal inilah yang memunculkan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat relegius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
B.     Rumusan Masalah
          Berdasarkan paparan dari latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa yang melatar belakangi  adanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
2.      Bagaimana telaah Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
3.      Bagaimana tantangan ilmu-ilmu keIslaman di tengah perkembangan ilmu pengetahuan modern?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Pandangan Islam terhadap ilmu menjadi landasan bagi pengembangan ilmu disepanjang sejarah kehidupan ummat Islam, sejak dari zaman klasik sampai sekarang. Sejak kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu dan menawarkan cahaya untuk mengubah jahiliyah menuju masyarakat yang berilmu dan beradab.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi saw secara jelas menegaskan semangat Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran dengan dilakukannya penerjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali Tahafut al-Falasifah. Hal yang demikian walaupun tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tetapi aktivitas yang sudah mereka lakukan semisal dengan makna Islamisasi.
Ada dua tokoh yang dianggap sebagai pencetus gagasan Islamisasi Pengetahuan yaitu Ismail Raji al-Faruqi (seorang sarjana yang mendirikan lembaga International Institute of Islam Thought di Amerika Serikat) serta Syed M. Naquib al- Attas (seorang sarjana Budaya Melayu yang membentuk lembaga International Institute of Islam Thought and Civilization di Kuala Lumpur).[3]Gagasan ini timbul sejak dasawarsa 1970-an.
Munculnya ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan disebabkan adanya premis bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Ilmu-ilmu yang terkontaminasi oleh premis demikian dan telah melalui proses sekularisasi dan westernisasi yang tidak lagi sesuai dengan kepercayaan, justru ini akan membahayakan ummat Islam. Naquib al-Attas menegaskan bahwa ilmu itu tidaklah bebas nilai tapi sarat akan nilai. Sedangkan al Faruqi menjelaskan bahwa akibat kemunduran ummat Islam, karena adanya system pendidikan yang berusaha menjauhkan ummat Islam dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan yang seharusnya dijadikan kebanggaan tersendiri atas agama Islam. Oleh sebab itu ia memberikan solusi, yaitu perlunya perbaikan system pendidikan yang memadukan antara ilmu-ilmu umum dan agama sebagai langkah membentuk peradaban Islam yang sempurna.[4]
Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat kritikan dari kalangan pemikir Muslim sendiri, seperti Fazlul Rahman, Muhsin Muhdi, Abdus Salam Soroush, Bassam Taibi dan lainnya. Fazlul Rahman misalnya mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat di Islamkan karena tidak ada yang salah dalam ilmu pengetahuan.[5]
Walaupun dalam perkembangannya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dikritik, tetapi gagasan Islamisasi ini merupakan suatu revolusi epistemologis yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemology yangh bukan hanya melanda dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat Sekuler.
B.     Telaah Islamisasi Pengetahuan
1.         Telaah Ontologis
Islamisasi berasal dari kata Islamization yang berarti peng-Islaman.[6]Islamisasi merupakan salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmun agama dan ilmu-ilmu umum.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut al-Attas adalah pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur nasional( yang bertentangan dengan Islam) dan belenggu paham sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwayanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya. Sedangkan al-Faruqi berpendapat bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah usaha untuk mendefenisi kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argument dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita.[7]
Secara ontologis, Islamisasi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa  dalam relitas alam semesta, sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur. Pandangan akan adanya hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut adalah ciptaan Allah.
Al-Qur’an berisi petunjuk tentang obyek studi (ontologis) yang lengkap dengan perintah mempelajari segala apa yang ada di langit dan di bumi dan di antara keduanya. Allah telah menunjukkan obyek ilmu itu tidaklah berarti pembatasan bagi manusia untuk membatasi diri hanya mempelajari obyek yang ada, namun bagi manusia untuk mengembangkan lebih maju lagi pencarian ilmunya. Yang perlu diperhatinkan bahwa petunjuk ontologis dari al-Qur’an boleh jadi sederhana tapi mempunyai makna konotasi yang luas dan mendalam.[8]Sebagaimana contoh QS Abasaa (80): 24 Allah berfirman:

          Artinya: Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
Dengan perintah yang sangat singkat ini, manusia dapat menentukan objek ilmu untuk dipelajari yang tiada akhirnya. Dalam konteks ini untuk memahami nilai-nilai kewahyuan, ummat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realitasnya saat ini, ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan ummat manusia. Dengan demikian dapat dipahami untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah diraih di masa silam, Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus tetap digalakkan.
2.        Telaah Epistemologis
Epistemologi adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana cara memperolehnya. Sehingga dapat dipahami bahwa epistemology mempersoalkan metodologi penerapan ilmu pengetahuan, dalam hal ini proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Al-Qur’an merupakan kitab yang sangat sempurna dalam menjelaskan metode pengembangan ilmu. Misalnya perlu mengingat dan menghafal tersirat dalam QS al-Baqarah (2) : 31

          Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.

Di samping perlu mengingat dan menghafal di atas, diperlukan juga metode observasi, eksperimen, demonstrative dan metode intuitif.[9]Hal ini misalnya ketika Allah Swt memperlihatkan kepada Qabil dengan mengirimkan burung gagak menggali tanah untuk menguburkan burung yang mati. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi, observasi dan meniru kerja ciptaan-Nya merupakan yang lazim misalnya meniru konsep fungsi sayap dan ekor dalam pesawat terbang. Selain observasi yang merupakan landasan pengkajian ilmu pengetahuan semata juga dibutuhkan kemampuan imajinasi, analisa dan sintesa terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang susah untuk dijawab melalui observasi laboratorium.
Sebagai contoh QS al-Ghasyiyah (88): 17-20:
Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ n<Î) È@Î/M}$# y#øŸ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#øŸ2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉËÉÈ  
Artinya:  Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?.  Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?.

Untuk menjawab pertanyaan di atas tidak bisa dengan observasi atau eksperimen saja, melainkan diperlukan hipotesa yang membutuhkan proses berfikir dan berimajinasi yang intens. Dalam al-Qur’an disampaikan bahwa masih ada proses pengembangan ilmu dan teknologi yang lebih hakiki yaitu ilham yang diberikan kepada beberapa orang.[10]
Dari keterangan di atas memberikan gambaran kepada ummat Islam untuk melihat sisi lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengalami proses yang panjang tentang transformasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke dunia Barat dalam hubungan timbal balik, baik itu dalam bentuk kajian, penafsiran maupun dalam bentuk penerjemahan.
Kondisi tersebut di atas dapat memungkinkan terjadi karena di dalam al-qur’an sendiri terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya:
a.       Yang berhubungan dengan pengetahuan alam terdapat dalam QS Saba’(34) : 10 dan QS al-Hadid (57) : 25.
b.      Yang berhubungan dengan geografi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 22 dan QS ar-Rad (13) :3’.
c.       Yang berhubungan dengan kesehatan terdapat dalam QS          al-Baqarah (2) :184 dan 222, al Mudatsir (74) : 74, al-Maidah (5) : 6, an-Nisa (4) : 43 dan al-A’raf (7) : 31.
d.      Yang berhubungan dengan sejarah terdapat dalam QS Yusuf (12) : 109, al-Ashr (103) : 2, Maryam (19) : 2-15, al-Maidah (5) : 110-120 dan al-Baqarah (2) : 30-39.
e.       Yang berhubungan dengan matematika terdapat dalam QS al-Isra’ (17) : 12 dan 14 serta al-Muzammil (73) : 20
f.       Yang berhubungan dengan ekonomi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 29, al-Mulk (67) : 15, an-Naba’ (78) : 9-11 dan ad-Dhuha (93) : 6-8.[11]
Dari keaneka ragaman disiplin ilmu di masing-masing bidang dapat diperlihatkan di dunia Barat, maka dalam hal ini Juhaya S Praja mengemukakan pendapatnya bahwa upaya Islammisasi telah menunjukkan hasilnya di Barat. Menurutnya ini adalah gejala aneh, mengapa tidak lahir di dunia Islam?. Alasannya mungkin karena sarjana Muslim yang hidup di dunia Barat menghadapi langsung tantangan dunia nyata terhadap Islam dan ummatnya.[12]
Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang terjadinya proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan , meskipun tidak dimulai dari tanah kelahirannya. Sehingga dengan epistemology dapat dijelaskan bagaimana sebuah ilmu pengetahuan disusun menggunakan kajian ijtihadiyah dengan langkah-langkah yang telah teruji seperti mengingat, menghafal, observasi, eksperimen, demonstrative, metode intuitif, mengkaji, imajinasi, analisa dan sintesa serta adanya ilham.
3.        Telaah Aksiologis
Istilah Islamisasi Ilmu Pengetahuan sering dipandang sekelompok pemikir hanya sebagai proses penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkan. Konsekuensi dari epistemology  Islamisasi Ilmu Pengetahuan, maka aksiologinya yaitu mengandung nilai rohaniah atau moral yang bersumber dari agama (Islam) sifatnya adalah absolute dan kebenarannya bersifat permanen. Hal ini karena bersumber dari Dzat yang absolute (mutlak) yaitu Allah Swt.
Telaah aksiologi sasarannya adalah manfaat dari hasil kajian yang dijadikan bahasan materi, dengan artian bahwa aksiologidiartikan nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[13]Dalam hubungannya dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dapat dikatakan bahwa dengan Islamisasi dapat diketahui dengan jelas kalau Islam bukan hanya mengatur segi-segi ritualitas dalam arti shalat, puasa, zakat dan haji saja, melainkan sebuah ajaran yang mengintegrasikan segi-segi kehidupan duniawi termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain beberapa hal di atas, juga muncul para filosof dan cendikiawan muslim tidak lain oleh karena mereka bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam saja tetapi juga menguasai ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dengan ilmu, mereka dapat mempelajari gejala alam dan menciptakan peralatan untuk mengontrol gejala-gejala alam sesuai dengan hukumnya.
C.      Tantangan Ilmu-ilmu Islam di Tengah Perkembangan Ilmu Pengetahuan Moderen

Ketergantungan ummat Islam dalam pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting dalam membina ummat  hampir tidak dapat dihindari dari pengaruh Barat.Ujung-ujungnya krisis identitas pun tidak terhindarkan oleh ummat Islam. Menurut AM. Syaefuddinj, ketidak berdayaan ummat Islam itu membuatnya bersifat ntaqiyyah. Artinya kaum muslimin telah menyembunyikan identitas Islamnya, karena rasa takut dan malu.[14]
Melemahnya orientasi social ummat Islam ini secara tidak sadar telah memilah-milah pengertian Islam yang kaffah ke dalam pengertian parsial dalam hakikat hidup bermasyarakat. Islam hanya dipandang dari arti ritual semata, sementara urusan lain banyak didomionasi dan dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, ummat Islam lebih mengenal budaya Barat dari pada budayanya sendiri.
Beberapa faktor yang menjadi tantangan ilmu- ilmu keIslaman di tengah perkembangan sains modern, di antaranya:
1.     Ambivalensi Teknologi.
Teknologi bagaimanapun bentuknya akan selalu bersifat ambivalen, yaitu ada untung ruginya.yang dalam bahasa Fiqhinya disebut manfaat dan mudharat bagi manusia dan alam lingkungannya.[15]Dalam lingkungan hidup misalnya dengan muncul istilah pengikisan lapisan ozon, radiasi nuklir, limbah industry, rekayasa genetika dan lainnya. Hal ini penting mengingat teknologi pada kenyataannya merupakan alat bagi manusia, sementara dalam kehidupan manusia memiliki tujuan dan cara pencapaiaan yang tentunya harus mengandung nilai agama. Oleh karena itu, seorang ilmuan Muslimharus menyadari ia harus memulai sesuatu, kemanapun ia beranjak, ia harus melangkah dari tradisi ke-Islaman yang merupakan identitasnya.
2.     Di kalangan Islam masih banyak yang menekankan studi pustaka dari pada studi atas realitas sosio-kultur.
Hal ini mengakibatkan kurang berkembangnya literature-literatur tentang ilmu-ilmu empiris Islam seperti Sosiologi Islam, Antropologi Islam, Psikologi Islam, ekonomi Islam dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan tokoh ilmuan Muslim di abad renaisans Islam, di mana hasil karyanya dijadikan sumber rujukan dalam studi pustaka. Ini dapat dilihat dari karya Ibn Ya’qub an-Nadim yang berisi tentang ensiklopedia (al-Fihrist), bidang Astronomi oleh Mahani, bidang Zologi oleh ad-Dinawari dan lain sebagainya.[16]
3.     Belum adanya paradigma  yang jelas tentang posisi nilai normative, eksistensi dan struktur keilmuan Islam.
Sebagai misal dalam mensikapi problematika tantangan modernisasi yang ditandai oleh pesatnya perkembangan industrialisasi, transformasi, canggihnya alat-alat informasi, dan kuatnya paham rasionalisme yang apabila dihadapkan kepada agama, di kalangan muslim belum mampu menyelesaikan dengan cara dialektis tetapi masih bersifat normative. Dan para peneliti Muslim masih kurang siap menghadapi atau menolak gagasan-gagasan asing, karena tidak adanya persiapan secara memadai untuk melawan mereka melalui telaah mendalam dan penolakan terhadap promis-promis palsu. Akibat yang ditimbulkan tentang posisi nilai normatif, eksistensi dan struktur keilmuan Islam menjadi tidak jelas. Ada yang datang dari Barat, seperti westernisasi, rasionalisme, sekularisme, gagasan filsafat Barat dan semua yang berbau ke Barat-Baratan semua ditolak bahkan dikafirkannya.[17]
Adapun upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas, Ismail Razi al-faruqi melakukan langkah-langkah berikut:
1.         Memadukan system pendidikan Islam, dikotomi pendidikan umum dan  islam harus dihilangkan.
2.         Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam melalui dua tahap, yaitu mewajibkan bidang studi sejarah Peradaban Islam dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
3.         Untuk mengatasi persoalan metodologi, ditempuh langkah-langkah berupa penegasan prinsip-prinsip pengetahuan Islam.
4.         Menyusun langkah kerja sebagai berikut:
a.         Menguasai disiplin modern.
b.        Menguasai warisan khasanah Islam.
c.         Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau wilayah penelitian pengetahuan modern.
d.        Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara warisan Islam dengan pengetahuan modern.
e.         Mengarahkan pemikiran Islam pada arah yang tepat yaitu sunnatullah.[18]
Sementara al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling berkaitan. Kelima prinsip  itu adalah:
a.       Mengandalkan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.
b.      Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran.
c.       Membenarkan aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler.
d.      Pembelaan terhadap doktrin humanism.
e.       Peniruan terhadap drama dan tragedy yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau transedental atau kehidupan batin manusia.[19]
Kelima hal tersebut di atas, merupakan prinsip-prinsip utama dalam pengembangan keilmuan Barat, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan harus dihindari oleh ummat Islam.
Demikianlah pembahasan tentang  Islamiasasi Ilmu pengetahuan serta berbagai tantangannya, yang pada intinya bertujuan untuk memperoleh kesepakatan baru bagi ummat Islam dalam berbagai bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Di samping itu, Islamisasi Ilmu pengetahuan  juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekuler yang ingin memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan. Islamisasi ilomu merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu untuk diteruskan oleh ummat Islam dari generasi-ke generasi untuk menjawab krisis epistimologis yang melanda dunia saat ini.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan makalah di atas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1.      Bahwa proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam yaitu pada Rasulullah sampai sekarang. Adapun orang yang diangap sebagai pencetus Islamisasi Ilmi Pengetahuan adalah Syeikh Naquib al- Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
2.      Telaah Islamisasi Ilmu Pengetahuan  dapat dilihat dari segi:
a.       Ontologi, yaitu Islamisasi Ilmu Penegtahuan merupakan upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari makna, idiologi dan prinsip-prinsip sekuler sehingga terbentuk ilmu pengetahuan baru yang sesuai dengan fitrah Islam.
b.      Epistemologi, yaitu Islamisasi Ilmu Pengetahuan disusun dengan menggunakan kajian ijtihadiyah dengan langkah-langkah yang telah teruji seperti mengingat, menghafal, observasi, eksperimen, demonstrative, metode intuitif, mengkaji, imajinasi, analisa dan sintesa serta adanya ilham.
c.       Aksiologi, yaitu Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengandung makna nilai rohaniah atau moral yang bersumber dari agama  Islam untuk mencapai ridha Allah Swt serta untuk membantu tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
3.  Beberapa faktor yang menjadi tantangan ilmu- ilmu keIslaman di tengah perkembangan sains modern, di antaranya:
a.        Ambivalensi Teknologi.
b.       Di kalangan Islam masih banyak yang menekankan studi pustaka dari pada studi atas realitas sosio-kultur.
c.       Belum adanya paradigma  yang jelas tentang posisi nilai normative, eksistensi dan struktur keilmuan Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Cet. VI ; Bandung : Mizan, 1996
Arief, Armai, Reformulasi  Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: CRSD Press, 2005.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Cet.II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet; XXVI: Jakarta: PT Gramedia, 2005
Ibrahim, Marwah Daud, “Etika, Strategi Ilmu dan Teknologi Masa Depan” (ed.)
Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka mCidesendo,2000.
Ismail, Muhammad Ismail, Tiga Fase Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer,
www. Hidayatullah.com, 06 Desember 2009.
Karim, Ahmad, al-Gazwu al-Fikr, Kairo: al-Azhar, 1414 H.
Kartanegara, Mulyadi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,
Cet.I;Bandung: Mizan, 2003, Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka Cidesendo,2000
Nata, Abuddin,Metodologi Studi Islam, Cet. IX; Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Nakosteen, Mehdi, History of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-1350
with an Introductionto Medieval Muslim Education, diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Kontribusi Islam atas dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis abad kemasan Islam , Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Raharjo, M. Dawan, Strategi Islamisasi Pengetahuan, (ed.) Moeflich Hasbullah, \
Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka, Cidesendo,2000.
Syaefuddin, AM., Desekularisasi Pemikiran,  Bandung: Mizan, 1991.



[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet. IX; Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 405-406.
[2] Armai Arief, Reformulasi  Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: CRSD Press, 2005), h. 124.
[3] M. Dawan Raharjo, Strategi Islamisasi Pengetahuan, (ed.) Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka Cidesendo,2000), h. xii.
[4]Muhammad Ismail, Tiga Fase Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer,(www. Hidayatullah.com, 06 Desember 2009), h. 1.
[5]Moh. Suef, Islamisasi Ilmu: Sejarah, Dasar, Pola dan Strategi, (Ululalbab.com, 07 Mei 2009), h. 2.
[6]John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Cet; XXVI: Jakarta: PT Gramedia, 2005), h. 332.
[7]Moh. Suef, op. cit, h.5.
[8]Marwah Daud Ibrahim, “Etika, Strategi Ilmu dan Teknologi Masa Depan” (ed.) Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisdasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Pustaka Cidesendo,2000), h. 100-101.
[9]Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Cet.I;Bandung: Mizan, 2003), h. 52.
[10]Marwah Daud Ibrahim, op. cit, h. 103-105.
[11]Miska Muhammad Samin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006), h. 17-19.
[12]Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu Dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Teraju,2002), h. 222.
[13]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Cet.II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h,533.
[14]AM. Syaefuddin, Desekularisasi Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1991), h. 97.
[15]Dr. Ahmad Karim, al-Gazwu al-Fikr, (Kairo: al-Azhar, 1414 H), h. 35.
[16]Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-1350 with an Introductionto Medieval Muslim Education, diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Kontribusi Islam atas dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis abad kemasan Islam (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 213-217.
[17] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. VI; Bandung: Mizan, 1996), h. 38.
[18]Juhaya S. Praja, op. cit, h. 72-73.
[19]Moh. Suef, op. cit, h. 8.

0 komentar

Posting Komentar