I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat sering ditemukan fenomena tentang kelompok minoritas atau mayoritas. Persoalan minoritas dan mayoritas bukan hanya merupakan fenomena sosial keagamaan kontemporer saja. Beberapa manuskrip karya muslim pun telah merekam berbagai teks “klasik” yang memuat fenomena tersebut. Sebagai fenomena sosial keagamaan, minoritas dan mayoritas dipandang perlu didekati secara psikologis sosial agama, sosiologis agama, dan antropologi budaya agama.
Saat ini beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi kekerasan dapat terjadi dimana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/massal merupakan hal yang sudah terlalu sering disaksikan, bahkan dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SMP.
Dari dua fenomena diatas, fenomena pertama adalah merupakan bagian dari konsep-konsep tentang suku, etnis, dan ras yang berasal dari karakteristik sosial dan budaya. Karena suatu minoritas adalah suatu kelompok yang kecil powernya dan tidak seperti kelompok yang dominan yang memiliki power yang besar. Biasanya kelompok minoritas lebih kecil dari pada mayoritas, tidak memiliki prestise, dan terkena diskriminasi. Sedangkan fenomena yang kedua merupakan bagian dari perilaku agresi yang mendorong mereka melakukan tindakan yang merugikan orang lain.
Islam sebagai petunjuk bagi manusia memberikan ajaran yang jelas bagi seluruh umatnya termasuk dalam memandang agresi kelompok mayoritas terhadap minoritas didalam kehidupan sehari-hari sehingga lahirlah sosok muslim yang memilki kepribadian baik dalam kehidupan individu maupun sosial dan diwarnai dengan berbagai ahlak mulia yang sesuai ajaran agama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan sebagai berikut:
- Bagaimana Pengertian dan Teori-Teori Agresi ?
- Bagaimana Faktor Pengarah dan Pencetus Agresi serta Cara Mengurangi Prilaku Agresi ?
- Bagaimana Agresi Kelompok Mayoritas Terhadap Minoritas Muslim ?
II. PEMBAHASAN
A. Agresi
1. Pengertian Agresi
Robert Baron dalam Tri Dayakisni menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu yang ditunjukkan untuk melukai atau mencelakakan individu lain, yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut.[1]Definisi dari Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku yaitu ; tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban, dan ketidakinginan sikorban menerima tingkah laku si pelaku. Defenisi ini juga membawa pengertian pada prilaku agresi yang bersifat individual. Sementara ada prilaku agresi yang bersifat kolektif (antara kelompok, ras atau negara) yang popular disebut dengan istilah “ perang “.
Bandura dalam Adam Kuper menyatakan bahwa agresi adalah tindakan-tindakan yang menyebabkan terlukanya orang bersifat orang fisik maupun psikologis.[2]Dari defenisi ini tampaknya Bandura ingin menambahkan bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh prilaku agresi tidak hanya bersifat fisik tetapi juga bisa bersifat psikologi.
Sementara Kartini Kartono dalam menjelaskan pengertian agresi membagi menjadi dua bentuk, yaitu agresi keluar dan agresi kedalam. Agresi keluar adalah ledakan-ledakan emosi dan kemarahan hebat meluap-luap dalam bentuk tindakan sewenang-wenang, peyerangan, penyergapan, serbuan, kekejaman, perbuatan-perbuatan yang menimbulkan penderitaan dan kesakitan, pengrusakan orang lain, tindakan permusuhan ditujukan kepada seseorang atau benda.[3] Sedangkan agresi kedalam terjadi ketika saluran untuk pelontaran agresi keluar terhambat sama sekali, melalui pendesakan dan bunuh diri.[4] Defenisi ini lebih menekankan bahwa prilaku agresi tidak hanya terbatas pada tindakan-tindakan melukai atau mencelakakan orang lain tetapi prilaku mencelakakan diri sendiri juga termasuk bagian dari agresi.
Dari beberapa pengertian di atas tampak belum ada kesepakatan diantara para ahli Psikologi dalam memberikan pengertian tentang agresi, akan tetapi dapat ditemukan satu unsur penting dari agresi yang harus ada, yaitu adanya tujuan atau kesenjangan dalam melakukannya. Suatu yang terjadi secara kebetulan walau menghasilkan agresi bagi orang lain, maka ini tidak dapat dimasukan dalam agresi. Sebagai contoh, dengan tergesa-gesa seseorang berlari mengejar bis kota yang hendak berangkat, sehingga menabrak orang lain sampai jatuh dan kesakitan. Dalam hal ini, orang yang menabrak tersebut tidak dapat dikatakan berperilaku agresif. Lain halnya dengan seseorang dengan sengaja menabrak orang sehingga orang itu kehilangan keseimbangan dan jatuh, maka perilaku orang tersebut dapat dikatakan sebagai agresif apapun tujuannya.
Dengan demikian agresi dapat definisikan sebagai tindakan yang melukai orang lain, dan yang dimaksudkan untuk itu bahwa tindakan agresi dapat bersifat individual atau kolektif, tergantung apakah tindakan itu terjadi antara individu atau antar kelompok. Perilaku agresi dapat berbentuk keluar (mencelakakan orang lain) atau agresi bentuk ke dalam (mencelakakan diri sendiri).
2. Teori – teori Agresi
Banyak teori tentang agresi yang dikemukakan oleh ahli-ahli psikologi yang masing-masing dilandasi oleh keahliannya. Setidaknya ada tiga teori tentang agresi- agresi yang dianggap cukup berpengaruh yaitu :
a. Teori Insting, teori ini terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Teori Psikoanalisa, menurut Freud teori psikoanalisa berpandangan bahwa pada dasarnya pada diri manusia terdapat dua macam insting yaitu insting untuk hidup dan insting untuk mati. Insting kehidupan ditunjukan kepada pemeliharaan hidup individu sedangkan insting kematian memiliki tujuan sebaliknya yakni untuk menghancurkan hidup individu.
Menurut Freud, agresi dapat dimasukan dalam insting mati yang merupakan ekspresi dari hasrat kematian yang berada pada taraf tidak sadar. Dalam pengungkapan “ death wish “ ini dapat berbentuk agresi yang ditujukan kepada diri sendiri ( misalnya, bunuh diri ) atau ditujukan kepada orang lain.[5]
- Teori Etologi
Menurut Lorenz dalam bukunya David L. Witson yang dipandang sebagai bapak Etologi, mengatakan bahwa “ that humans have a basic aggressive instinct and that this instinct enables the human species to survive “[6]artinya dorongan agresi ada di dalam diri setiap mahluk hidup yang memiliki fungsi dan peranan penting bagi pemeliharaan hidup atau dengan kata lain memiliki nilai survival. Jalan yang digunakan untuk itu adalah dengan cara menyingkirkan mahluk lain, yaitu dengan agresi.
- Teori Sosio biologi
Struktur fisik tertentu ternyata berkaitan erat dengan agresivitas. Disamping struktur fisik agresi juga berkaitan dengan struktur otak, karena ada bagian tertentu pada otak yang apabila terkena stimulasi akan membangkitkan agresi, Ada hipotesis lain yang mengatakan bahwa agresi juga berkaitan dengan hormonal. Bukti dengan adanya kaitan tersebut ditujukan oleh Maccoby dan Jecklin yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih agresi dari pada wanita karena ada perbedaan hormonal. Pendapat lain mengkaitkan agresi dengan genetic. Disebutkan bahwa pada orang-orang yang agresif ternyata struktur kromosomnya XYY pria, sehingga disimpulkan bahwa faktor genetic berpengaruh terhadap agresivitas.[7]
b. Teori Frustasi Agresi
Kelompok Psikologi di Yale University: Dollar, Doob, Miller, Mower dan Sears mengemukakan hipotesis bahwa frustasi menyebabkan agresi. Hipotesis tersebut kemudian dijadikan postulat “agresi selalu berarti frustasi”.[8]Postulat ini diterima dengan cepat dan meluas oleh para ahli psikologi. Tetapi teori ini akhirnya tidak dapat bertahan lama karena : pertama, bahwa individu yang frustasi tidak selalu agresif, karena frustasi dapat menghasilkan berbagai reaksi, dan dalam beberapa kasus besar kemungkinannya frustasi lebih menimbulkan reaksi depresi dari pada agresi terbuka. Kedua, tidak semua agresi hasil dari frustasi.[9]
c. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial menekankan kondisi lingkungan yang membuat seseorang memperoleh dan memelihara respon-respon agresif. Asumsi dasar teori ini adalah sebagian besar tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu yang menjadi model.[10] Dengan demikian para ahli teori ini percaya bahwa observational dan social modeling adalah metode yang lebih sering menyebabkan agresi. Anak-anak yang melihat model orang dewasa agresi secara konsisten akan lebih agresif bila dibandingkan dengan anak-anak yang melihat model dewasa non agresif.[11]
Ketiga teori tersebut, dapat dipahami bahwa pada teori insting terjadinya agresi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal pelaku. Oleh karena itu pandangan ini tampaknya mengarah ke pesimistis, terutama dalam usaha mereduksi agresi. Sedangkan teori frustasi dan teori belajar sosial, terlihat kurang sependapat menolak konsep-konsep yang menekankan pentingnya faktor internal dalam pembicaraan agresi.
B.Faktor Pengarah dan Pencetus Agresi, serta Cara Mengurangi Prilaku Agresi
1. Faktor Pengarah dan Pencetus Agresi
Salah satu penentu prilaku agresi yang sangat penting adalah kemarahan. Ada dua sumber utama yang secara umum membangkitkan amarah yaitu serangan dan frustasi.[12]Pada umumnya orang akan marah dan agresi bila diserang. Bayangkan bahwa sedang membaca Koran, tiba-tiba seseorang menuangkan segelas air pada tengkuk anda. Dalam kasus tersebut orang melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap diri seseorang, hal ini dapat meningkatkan agresi.
Sumber utama kedua rasa marah adalah frustasi. Frustasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan.[13] Bila seseorang hendak pergi ke suatu tempat, melakukan sesuatu, atau menginginkan sesuatu, dan dihalangi, dapat dikatakan tersebut mengalami frustasi. Salah satu prinsip dasar dalam psikologi adalah bahwa frustasi cenderung membangkitkan perasaan agresif.
Pengaruh frustasi terhadap perilaku diperlihatkan dalam penelitian klasik yang dilakukan oleh Barker, Dembo, dan Lewin (1941). Kepada sekelompok anak ditunjukkan ruangan yang penuh berisi mainan yang menarik, tetapi mereka tidak diizinkan untuk memasukinya. Mereka berdiri diluar, memperhatikan mainan-mainan itu, untuk memainkannya, tetapi tidak dapat meraihnya. Sesudah menunggu beberapa saat, mereka diperbolehkan untuk bermain dengan mainan tersebut. Kelompok anak-anak yang lain diberi mainan tanpa dihalangi terlebih dahulu. Anak-anak yang sudah mengalami frustasi membanting mainan kelantai dan melemparkannya kedinding, dan pada umumnya menampilkan perilaku merusak. Anak-anak yang tidak mengalami frustasi lebih tenang dan tidak menampilkan perilaku merusak.[14] Contoh ini menggambarkan pengaruh frustasi terhadap perilaku marah yang pada akhirnya melahirkan perilaku agresif.
Disamping adanya faktor penentu perilaku agresif juga dipengaruhi adanya faktor pengarah dan pencetus agresi yaitu :
a. Kekuasaan dan kepatuhan. Stanly Milgram, salah seorang pelopor dalam penelitian pengaruh kepatuhan terhadap agresi mengatakan bahwa kepatuhan individu terhadap otoritas atau penguasa mengarahkan individu tersebut kepada agresi yang lebih intens, karena dalam situasi kepatuhan individu kehilangan tanggung jawab (tidak merasa bertanggung jawab) atas tindakan-tindakannya serta meletakkan tanggung jawab itu pada penguasa.[15]
b. Provokasi. Wolfgang (1957) dalam Tri Dayakisni mengemukakan bahwa tiga per-empat dari 600 pembunuhan yang diselidikinya terjadi karena adanya provokasi dari korban. Sedangkan Moyer (1971) mencatat bahwa sejumlah teori percaya bahwa provokasi bisa mencetuskan agresi, karena provokasi itu oleh pelaku agresi dilihat sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya yang diisyaratkan oleh ancaman itu.[16]
c. Pengaruh obat-obatan terlarang (drug effect).Banyak terjadinya perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang mengkonsumsi alkohol. Menurut penelitian Pihl dan Ross (dalam Tri Dayakisni) mengkonsumsi alkohol dalam dosis yang tinggi meningkatkan kemungkinan respon agresi ketika seseorang diprovokasi. Demikian juga obat-obatan terlarang lainnya seperti phencyllidrine, tindak kekerasan terjadi segera setelah mengkonsumsi atau selama dalam pengaruh obat itu, dan ini berlangsung selama beberapa minggu. Sedangkan barbiturates tampaknya menimbulkan perasaan mudah terangsang (irritability), permusuhan dan agresi terbuka. Streroids yang digunakan para atlet untuk meningkatkan kemampuan ternyata dalam dosis besar dapat meningkatkan reaksi kemarahan, demikian pula cocaine sering digunakan dalam “kekerasan instrumental” (suatu bentuk kekerasan yang dilakukan untuk memperoleh uang yang pada gilirannya digunakan untuk membeli obat-obatan terlarang.[17]
d. Kondisi Aversif
Kondisi aversif adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang ingin dihindari oleh seseorang. Leornard Berkowitz dalam David L. Watson menyatakan bahwa kondisi ini adalah salah satu kondisi dasar yang mendorong kearah agresi.[18]Dengan adanya faktor yang kurang menyenangkan itu, orang berusaha menghilangkan atau mengubah situasi itu. Apabila situasi yang tidak menyenangkan adalah mahluk hidup atau orang, maka akan timbul agresi terhadap oarang tersebut.
e. Isyarat Agresi.
Isyarat agresi adalah stimulus yang disosiasikan dengan sumber frustasi yang menyebabkan agresi. Bentuk bisa senjata tajam atau orang yang menyebabkan frustasi. Salah satu keadaan yang sering digunakan untuk menerangkan hal ini adalah konsep Weapon effect, yaitu menerangkan bahwa kehadiran senjata tertentu yang sering digunakan untuk perbuatan agresi biasa yang membagkitkan agresi.[19] Sebagai contoh adalah orang yang dekat dengan pistol atau senapan laras panjang atau pedang akan lebih cepat menjadi agresif meskipun dengan sedikit stimulasi. Efek senjata ini hanya sebagai pemicu terjadinya agresi, bukan penyebab utama.
f. Kehadiran orang lain
Kehadiran orang, terutama orang yang diperkirakan agresif, berpotensi untuk menumbuhkan agresi. Diasumsikan bahwa kehadiran tersebut akan berpartisipasi ikut agresif. Dilain pihak, kehadiran orang lain justru sering menghambat agresi, terlebih lagi bila orang tersebut adalah pemegang otonomi yang berwibawa, seperti polisi.[20]
g. Karakteristik Individu
Karakteristik individu berpengaruh terhadap munculnya perilaku agresi, salah satu diantaranya adalah perbedaan jenis kelamin. Agresi berkaitan dengan hormone tertentu, yaitu hormone yang ada pada pria (testoteron). Hipotesis ini berangkat dari fakta bahwa ternyata lebih banyak lelaki yang melakukan agresif dari pada wanita. Secara statistic dapat ditunjukan bahwa hampir semua data menunjukan pria lebih banyak melakukan tindakan agresi yang bersifat fisik. Pada sisi lain wanita pada umumnya lebih empati terhadap korban sehingga agresivitasnya rendah.[21]
2. Cara Mengurangi Prilaku Agresi
Perilaku agresi merupakan masalah utama dalam masyarakat. Kejahatan individu dan kekerasan sosial dalam skala besar sangat merugikan dan membahayakan kesejahteraan individu maupun struktur sosial secara umum. Karena itu pemahaman tentang bagaimana cara mereduksi agresivitas merupakan hal yang penting. Ada beberpa tehnik yang digunakan untuk mereduksi (mengurangi) perilaku agresif, yaitu:
a. Hukuman dan Pembalasan
Rasa takut terhadap hukuman dan atau pembalasan bisa menekan perilaku agresif. Tipe orang rasional akan memperhitungkan akibat agresi dimasa mendatang dan berusaha untuk tidak melakukan prilaku agresif bila ada kemungkinan mendapat hukuman.[22]
Meskipun secara temporer biasanya hukuman atau pembalasan dianggap efektif untuk menekan agresi, terlalu riskan bila cara ini dijadikan pemecahan umum untuk masalah tersebut.Dan terkadang rasa takut terhadap hukuman atau pembalasan bisa menimbulkan agresi balik. Karena orang diserang mempunyai kecenderungan untuk membalas penyerangan, meskipun pembalasan itu bisa menimbulkan serangan yang lebih besar.
b. Mengurangi Frustasi
Setiap masyarakat menjamin adanya tingkat kesamaan hak untuk mendapatkan keperluan hidup, seperti makanan, pakaian, perumahan dan kehidupan berkeluarga. Alasan utamanya adalah untuk menghindari gangguan kekerasan yang berskala besar dalam kehidupan sehari-hari terutama dari kelompok-kelompok yang frustasi. Sebagai contoh, sesudah kerusuhan minoritas pada tahun 1960-an, komosi Kerner menganjurkan perluasan perubahan sosial untuk meningkatkan perlakuan terhadap orang Negro di Amerika, dengan asumsi bahwa pengurangan frustasi mereka akan mengurangi kemungkinan timbulnya kerusuhan lebih lanjut. [23]
c. Hambatan Yang Dipelajari
Tehnik lain untuk mengurangi agresi adalah dengan belajar mengendalikan prilaku agresif kita sendiri, tidak peduli apakah kita diancam akan dihukum atau tidak. Ada dua hal yang perlu dipelajari yaitu, menekan perilaku agresif secara umum dan menekannya dalam situasi tertentu. Hambatan yang dipelajari ini merupakan control perilaku kekerasan yang paling kuat.
d. Pengalihan ( Displacement )
Seringkali orang dibuat frustasi atau jengkel oleh seseorang tetapi tidak dapat membalasnya mungkin karena orang itu terlalu kuat, atau mereka terlalu cemasdan terhambat untuk melakukannya. Dalam situasi semacam ini, mungkin mereka akan mengekspresikan agresi dengan cara lain, diantaranya dengan cara disebut pengalihan yaitu mengekspresikan terhadap sasaran pengganti. [24]
Jika seseorang melarang anak laki-lakinya menonton bioskop pada hari sekolah, anak itu akan merasa marah dan agresif. Dia tidak menyerang orang tuanya karena si orang tua terlalu kuat dan karena adanya hambatan sosial. Karena itu dia melepaskan kemarahanya pada orang lain. Dia mempunyai sejumlah orang yang bisa diperlukan misalnya, kakaknya, adiknya, maupun teman sebayanya.
e. Katarsis
Katarsis mempunyai arti pelepasan ketegangan emosional yang mengikuti pengalaman yang kuat. [25] Samuel W. dalam Tri Dayakisni menjelaskan dinamika terjadinya katarsis sebagaimana paparan berikut ini yang dimulai dari keadaan seimbang, individu mengalami berbagai macam peristiwa yang menyebabkan dia frustasi atau stress. Kondisi ini selanjutnya dipengaruhi oleh faktor-fakotr lain, misalnya struktur kepribadian, kebiasaan-kebiasaan yang telah tertanam dalam dirinya. Dengan adanya dukungan faktor-faktor ini ketegangan akan mengikat dan timbullah berbagai respon dari dalam diri individu, respon tersebut antara lain :
- Reinterpretasi, individu berusaha untuk menggunakan akal sehat atau pikirannya untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.
- Timbul rasa marah, dimana kemarahan itu dapat berbentuk :
a. Supresi, individu melakukan penekanan terhadap rasa marah yang dialami. Hal ini dilakukan mungkin karena norma-norma masyarakat setempat atau norma keluarganya tidak mengijinkan untuk mengekspresikan kemarahan secara terang-terangan. Adanya penekanan ini dapat menimbulkan gangguan yang disebut “ Psikosomastis. “
b. Sublimasi, suatu bentuk penyaluran perasaan tegang atau kemarahan dapat diterima oleh masyarakat. Penyaluran dini dapat berwujud aktivitas-aktivitas kesenian, olah raga maupun aktivitas bisnis yang mengandung persaingan.
c. Agresi, yaitu bentuk penyaluran yang dapat merugikan orang lain maupun diri sendiri, karena penyaluran ini bersifat mengganggu dan merusak. Korban agresinya belum tentu pihak yang menyebabkan timbulnya rasa tegang atau kemarahanitu, tetapi dapat juga pihak lainyang tidak bersalah dan benda-benda mati serta binatang.Agresi yang ditujukanpada penyebab agresi disebut dengan “agresi langsung”. Sedang agresi yang dikenakan pada pihak yang tidak bersalah dinamakan “agresi tidak langsung”.[26]
C. Agresi Kelompok Mayoritas Terhadap Minoritas
Percaturan sosial keagamaan mengalami trasformasi oleh adanya pluralitas dan terjadi di beberapa tempat, adakalanya bersifat lokal, regional, bahkan global, dengan berbagai varian. Di negara yang muslim sebagai minoritas, tingkat minoritas etnis tampak jelas dan transplantasi agama membawa berbagai persoalan praktis yang terkait dengan persoalan dinamika “identitas” yang dominan. Ada beberapa persoalan terkait dengan praktek keagamaan baik perorangan maupun kolektif, dengan perjalanan suatu bangsa, yang kemudian berkaitan dengan kultur, bahasa, pencarian identitas sosial, budaya dan identitas lain.[27] Dapat dibayangkan bagaimana dalam beberapa kelompok penganut agama, identitas etnis dan identitas keagamaan bersifat meluas secara bersama-sama, dan sisi etnisnya sering ada dalam kebersamaan dengan identitas keagamaan yang umum.[28]
Dengan berbagai latar belakangnya, muslim telah mukim lama diberbagai negara dan ada yang secara terus mereka mencari identitas keagamaan. Pertanyaan tentang apakah pelestarian Islam cocok dan selaras dengan permasalahan sosial nasional setempat apabila ya, apakah ada perubahan pemahaman keislaman, dan apakah ada karakteristik minoritas muslim dalam mayoritas non-muslim dalam masyarakat? Masyarakat muslim telah tinggal menetap diberbagai negara sejak masa kolonial, Sesudah lepas dari kolonial.
Mereka merasa menemukan tempat baru tersebut sebagai tempat yang lebih baik. Di Inggris misalnya sesudah 1947 sejumlah muslim datang untuk mencari lapangan kerja. Minoritas muslim ini mendatangi tempat yang telah tinggal berbagai bangsa, ras, etnis, suku, yang sangat ragam baik dalam budaya maupun agamanya. Diantara mereka terrjadi berbagai adaptasi budaya bahkan ada yang tertarik menganut gerakan spiritual Sufis dalam terekat-tarekat yang ada.[29] Dengan demikian dapat dibayangkan bagaimana interaksi budaya terjadi dikalangan minoritas dan mayoritas, dan bagaimana jumlah muslim meningkat semakin pesat oleh sifat “akomodatif” bervariasinya penghayatan Islam yang berkembang dikawasan setempat baik interaksi yang bersifat positif maupun negatif.
Permasalahan minoritas dan mayoritas agama juga mencakup persoalan dalam bidang budaya, ekonomi, serta politik. Yang kesemuanya ini terkait dengan persoalan identitas. Sebagai kelompok minoritas beranggapan bahwa pendidikan Barat kurang memberi tempat bagi agama dan budaya minoritas. Mereka merasa perlu mengutamakan pelestarian budaya dan agama dikalangan minoritas muslim. Pelestarian yang dimaksud dalam cara hidup, tradisi, etika, moral, dan susila lain, maupun yang terkait dengan pelaksanaan syari’ah. Penegakan budaya sendiri memberi kesan eksklusif dan gagal dalam berintegrasi; akibatnya minoritas dan mayoritas semakin terkotak-kotak. Sekalipun persoalan minoritas mayoritas dapat berupa moniritas dalam minoritas, minoritas dalam mayoritas, mayoritas dalam mayoritas, mayoritas atas mayoritas dan mayoritas atas minoritas yang kesemuanya tidak terlepas dari latar belakang dan sejarahnya sendiri, namun faktor dominan dalam hal identitas setidak-tidaknya memiliki kesamaan dasar. Karena itu problema yang dihadapi juga cenderung memiliki kesamaan.
Seperti dikemukakan sebelumnya, ada beberapa corak hubungan minoritas dan mayoritas, adakalanya minoritas dalam minoritas, minoritas dalam mayoritas, mayoritas dalam mayoritas, mayoritas atas mayoritas dan mayoritas atas minoritas. Berbagai mobilisasi identitas kolektif melalui etnisitas dipandang merugikan dalam proses integrasi berbagai kelompok suku dan etnis dalam negara. Sensitivitas terhadap ide konformitas, terkait dengan peran-peran sosial keagamaan terhadap prilaku. Kelompok minoritas dan mayoritas dapat dipersepsikan dengan integrasi nasional. Karena itu relasi minoritas dan mayoritas agama sering dianggap merupakan hambatan bagi keamanan dan kemajuan bangsa dan integrasi sebagai doktrin politis. Fenomena ini memunculkan revivalismeyang bersifat asertif (menuntut) dan agresif meskipun ada yang defensive dan eskapis.
Hubungan antara minoritas dan mayoritas agama terinstitusikan dalam suatu yang tak lebih dari prejudice, memprahakimi. Bukanlah suatu hal yang aneh kalau suatu kelompok minoritas dulunya adalah suatu (kelompok besar) mayoritas, kelompok tersebut menjadi dominan atau terdominasi tergantung pada berbagai hubungan kekuasaan (power) dengan kelompok keagamaan lain. Pengaruh sosial melibatkan power, elit agama dalam suatu kelompok lebih memiliki power terhadap umat dari pada sebaliknya. Karena itu persoalan psikologis sosial keagamaan adalah bagaimana mayoritas agama dapat mempengaruhi minoritas agama. Pengalaman kehidupan para minoritas memperlemah perasaan pengaruh terhadap even, pengalaman mayoritas menguasakan kepercayaan bahwa para mayoritas mempengaruhi berbagai even. Karena itu konformitas, loyalitas, norma-norma dan peran-peran agama merupakan unsur-unsur pengaruh sosial keagamaan yang menarik dikaji secara psikologis sosial keagamaan.
Persoalan minoritas dan mayoritas agama terkait dengan situasi psikologis sosial dan kondisi psikologis kerangka politis, yang ada dampaknya pada “sekularisme” sebagai perubahan set-up politik yang kemudian dapat merambah pada perjuangan hukum, sehingga kekhawatiran munculnya praktis kolusi dan nepotisme antara pemerintah dan negara dengan kelompok yang mayoritas dipandang sangat membahayakan dan dapat menimbulkan keterancaman minoritas.
Terdapat beberapa kasus yang terjadi di dunia yang memperlihatkan keagresifan suatu mayoritas kelompok dalam memandang kelompok minoritas muslim. Seperti terjadinya penyerangan tentara Amerika terhadap minoritas muslim di Irak pada tahun 2003, kemudian pada tahun 2009 terjadi penyerangan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap kelompok Muslim Hamas di palestina. Hal ini tidak terlepas dari persoalan kepentingan yang bertentangan dan komunikasi yang salah dalam membangun keharmonisan antar kelompok.
Hal ini bukan saja terjadi pada kelompok mayoritas secara umum, akan tetapi terdapat beberapa kasus yang telah terjadi pada kelompok mayoritas muslim terhadap kelompok minoritas muslim yang terjadi di Indonesia. Seperti peristiwa penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah diberbagai tempat di Indonesia pada tahun 2007-2008, terjadinya penyerangan terhadap Mazhab Assalafiyah pada tahun 2009, dan terjadinya Ghazwatul Fikri (perang pemikiran) antara kelompok Wahdah al-Islamiyah dan as-Sunnah.
Pertanyaannya bagaimana Islam memandang tentang Agresi tersebut?, dalam beberapa Nash, baik al-Quran dan Hadis menjelaskan hal tersebut, seperti dalam Q.S. asy-Syams (91): 8-10 Terjemahnya :”maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”[30]
Dan juga terdapat dalam Q.S. al-Infithar (82): 6-8, Terjemahnya: Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang dia kehendaki, Dia menyusunmu.”[31]
Allah juga melarang perbuatan Agerif melalui hadis qudsi yang secara pasti Allah mengharamkannya, seperti dalam hadis, yang artinya: ”...dari Nabi saw, sebagaimana yang diriwayatkan dari Allah swt. Sesungguhnya dia berfirman: wahai hambaku, sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman bagi diri-Ku sendiri, dan Aku haramkan ia di tengah-tengah kalian, karenanya janganlah kalian berbuat dzalim.”[32]
Perbuatan agresif tersebut merupakan warisan leluhur para nabi-nabi sebelumnya seperti umat nabi Musa (kaum Yahudi) yang ingin membunuh nabi-nabinya, para kafir Quraiys yang menyerang Rasulullah Muhammad saw ketika berdakwa, dan beberapa peristiwa nabi-nabi sebelumnya.
III.PENUTUP
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari beberapa para ahli yang mendefinisikan tentang agresi, maka dapat disimpulkan bahwa, agresi adalah tindakan yang dapat melukai orang lain baik yang bersifat individual atau kolektif, tergantung pada apakah tindakan itu terjadi antar individu atau antar kelompok.
Adapun Teori-teori Agresi yang dikemukakan oleh beberapa ahli psikologi yang dianggap cukup berpengaruh yaitu :
a. Teori Insting, terbagi tiga : teori psikoanalisa, teori etologi, dan teori sosio-biologi.
b. Teori Frustasi-Agresi
c. Teori Belajar Sosial
2. Ada beberapa faktor pengarah dan pencetus agresi yaitu: Kekuasaan dan kepatuhan, provokasi, pengaruh obat-obatan terlarang, kondisi aversif, isyarat agresi, kehadiran orang lain, karakteristik orang lain, dan karakteristik individu.
Adapun Tehnik yang digunakan untuk mereduksi perilaku agresi, yaitu: hukuman dan pembalasan, megurangi frustasi, hambatan yang dipelajari, pengalihan, katarsis atau pelepasan ketegangan emosional yang mengikuti suatu pengalaman yang kuat.
3. Permasalahan minoritas dan mayoritas agama juga mencakup persoalan dalam bidang budaya, ekonomi, serta politik. Yang kesemuanya ini terkait dengan persoalan identitas. Sebagai kelompok minoritas beranggapan bahwa pendidikan Barat kurang memberi tempat bagi agama dan budaya minoritas. Mereka merasa perlu mengutamakan pelestarian budaya dan agama dikalangan minoritas muslim. Pelestarian yang dimaksud dalam cara hidup, tradisi, etika, moral, dan susila lain, maupun yang terkait dengan pelaksanaan syari’ah
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hajjaj, Abu al-Husain Muslim ibn. Shahih Muslim. Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992
Custer, CF. Martin. Muslim in the Netherlands , t.t, t.tp, t.th.
Dayakisni, Tri dan Hudaniah. Psikologi Sosial. Cet. II; Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2003
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya. Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002.
Faturochman. Pengantar Psikologi sosial. Cet. I ; Yogyakarta: Penerbit Pinus, 2006.
Kuper, Adam dan Jessica Kuper. The Social Science Encyclopediaditerjemahkan oleh Haris Munandar dengan judul Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Kartono, Kartini. Psikologi Sosial untuk Manajemen Perusahaan dan Industri. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Malek, CF. Anuoar Abdul. Orientalism in Crisis, 1963, Edward W. Said dengan 3 bukunya: Orientalism, 1979, Orientalism Reconsidered, 1985
Orientalism: Western Conceptions of the Orient, CF. Alef Theria Wasim, “Trend Mutakhir Studi Agama-agama”, makalah, 2000.
Sears, David O. Social Psycology, Diterjemahkan oleh Michael Ardiyanto dengan judul Psikologi Sosial. Jakarta : Penerbit Erlangga, 1994.
Watson, David L. Social Psychology Science and Aplication. United States Of America ; Scott, Foresman and Company, 1984.
[1]Tri Dayakisni dan Hudaniah, Psikologi Sosial (Cet. II; Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2003), h. 195
[2]Adam Kuper dan Jessica Kuper, The Social Science Encyclopedia,diterj. oleh Haris Munandar, dengan judul Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 14
[3]Kartini Kartono, Psikologi Sosial untuk Manajemen Perusahaan dan Industri (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 262
[5]Tri Dayakisni dan Hudaniah, op. cit., h. 196-197
[7]Fathurochman, Pengantar Psikologi Sosial (Cet. I; Yogyakarta: Penberbit Pinus, 2006), h. 84
[8]David L. Wotson, op. cit., h. 307
[9]Tri Daykisni dan Hudaniah, op. cit., h. 200
[10]Robert S. Feldman, Social Psycology Theorie Research, and Applications (Singapore: McGraw-Hill Book Co, 1985), h. 302
[11]Tri Daykisni dan Hudaniah, op. cit. h. 201
[12]David O. Sears, Social Psycology, Diterj. oleh Michael Ardiyanto dengan judul Psikologi Sosial (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994), h. 5
[15]Tri Dayakisni dan Hudaniah, op. cit. h. 209
[18]David L. Watson. op. cit. h. 314.
[19]Faturochman, op. cit., h. 84
[22]David O. Sears, op. cit.,h. 19
[25]Tri Dayakisni dan Hudfaniah, op. cit., h. 215
[26]Tri Dayakisni dan Hudaniah, op. cit., h. 215-217
[27]CF. Anuoar Abdul Malek, Orientalism in Crisis, 1963, Edward W. Said dengan 3 bukunya: Orientalism, 1979, Orientalism Reconsidered, 1985, dan Orientalism: Western Conceptions of the Orient, CF. Alef Theria Wasim, “Trend Mutakir Studi Agama-agama”, makalah, 2000.
[28]Islam dengan Arab atau Timur Tengah, Kristen dengan Eropa atau Barat, dan Hindu dengan India .
[29]Afiliasi-afiliasi tarekat sufi banyak terdapat di Nederland. CF. Martin Custer, Muslim in the Netherlands (t.t., t.tp., t.th.,), h. 87
[30]Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), h. 896
[32]Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz IV (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), h. 1994
0 komentar
Posting Komentar