BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara garis besar, Tafsir terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah tafsir naqli, Yaitu tafsir yang berdasarkan hadis yang diterima dari Nabi Saw. Yang kedua adalah tafsir yang berdasarkan atas pengertian bahasa arab, termasuk I'rab, Balaghah, dan lain-lain yang memberikan pengertian akan maksud menurut susunan kalimat. Tafsir kedua ini jarang sekali terpisah dari tafsir yang pertama, karena yang pertama merupakan tafsir pada masa permulaan; sedang tafsir yang kedua baru muncul setelah pengetahuan tentang bahasa menjadi suatu bidang ilmu.
Dari dua jenis tafsir yang saling ketemu itu tumbuhlah tafsir yang penulis akan bahas secara sederhana yaitu tafsir yang didasarkan pada pendapat atau opini. Tafsir jenis ini masih menjadi perbincangan hangat hingga sekarang ini karena para ulama masih kontroversi mengenai kehujjahan tafsir tersebut.
B. Rumusan Masalah
- Pengertian Tafsir Birra’yi
- Sebab Munculnya Tafsir Birra’yi
- Status Tafsir Birra’yi
- Pembagian Tafsir Birra’yi
- Karya-karya Tafsir Birra’yi dan Tokoh-tokohnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Berdasarkan pengertian etimologi, Ra’yi berarti keyakinan (I'tiqad), dan Ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah Ijtihad.[1]Sedangkan menurut terminologi sebagaimana didefinisikan oleh Manna Qathan,[2]ialah :
التفسير بالرأى هو ما يعتمد فيه المفسر فى بيان المعنى على فهمه الخاص واستنباطه بالرأي المجرد-وليس منه الفهم الذى يتفق مع روح الشريعة
“ Tafsir Birra’yi ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata yakni bukan pemahaman yang sesuai dengan ruh syari’ah. ”
Dengan demikian, tafsir birra’yi sebagaimana didefinisikan Husen Adz-dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihaddan pemikiran mufassir yang telah mengetahui bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab an-nuzul, nasakh-mansukh, dan sebagainya.[3]Al-farmawi mendefinisikan tafsir birra’yi sebagai penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang arab ketika berbicara dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya.[4]
B. Sebab Munculnya Tafsir Birra’yi
Tafsir birra’yi muncul sebagai corak penafsiran setelah tafsir bilma’tsur muncul, walaupun sebelum itu ra’yu dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan al-Qur’an. Apalagi kalau kita menilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Di antara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir birra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, berbagai metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Akibatnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang ilmu yang dikuasainya. Di antara mereka, ada yang lebih menekankan telaah balaghahseperti az-Zamakhsyari, telaah hukum-hukum syara’ seperti al-Qurthubi, telaah keistimewaan bahasa, seperti as-Su’ud, atau qira’ah, seperti an-Naisaburi dan an-Nasafi, telaah madzhab-madzhab kalam dan filsafat, seperti ar-Razi dan telaah lainnya. Hal ini dapat dipahami sebab disamping sebagai seorang mufassir, seseorang dapat saja ahli dalam bidang fiqh, bahasa filsafat, astronomi, kedokteran, atau kalam.[5]
Kemunculan tafsir birra’yi dipicu pula oleh hasil interaksi ummat Islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, dalam tafsir birra’yi, peranan akal sangat dominan.
C. Status Tafsir Birra’yi
Tidak bisa dipungkiri kemunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan dan mengembangkan tafsir yang lebih mengedepankan akal telah menimbulkan kontroversi di kalangan ulama-ulama.[6] Dan secara garis besar, mereka terbagi ke dalam dua kelompok,[7]yaitu:
a. Kelompok yang menolak
Menjelang abad ke II H., corak penafsiran ini belum mendapatkan legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya. Ulama yang menolak penggunaan corak tafsir ini mengemukakan argumentasi, seperti sebagai berikut:
1. Menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra’yiberarti membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata. Padahal Allah berfirman:
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Oleh karena itu, golongan salaf berkeberatan, enggan, untuk mengafsirkan al-Qur’an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dari Yahya ibn Sa’id diriwayatkan, dari Sa’id ibn al-Musayyab, apabila ia ditanya tentang tafsir sesuatu ayat al-Qur’an maka ia menjawab: “Kami tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang al-Qur’an.[8]
Ulama salaf yang paling keras menentang tafsir birra’yi adalah Ibn Taimiyah. Ia tidak mau mempergunakan ijtihad dalam soal tafsir. Menurutnya, tafsir dengan semata-mata ijtihad haram hukumnya. Pendirian Ibn Taimiyah yang keras ini ialah karena pada masa itu timbul kaum bathiniyah yang mempergunakan hawa nafsunya dalam menetapkan makna-makna al-Qur’an. Maka untuk membendung aliran tersebut, beliau mempertahankan pokok pendiriannya. [9]
Lebih lanjut Ibn Taimiyah menegaskan siapapun yang beralih dari madzhab sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka ke sesuatu hal yang menyalahinya, ia telah melakukan perbuatan salah dan bahkan bid’ah, sebab merekalah yang paling mengetahui tentang tafsir al-Qur’an dan makna-maknanya sebagaimana mereka pulalah yang lebih mengerti akan kebenaran yang di bawa oleh misi Rasulullah.[10]
Rasulullah Saw. Bersabda:
من قال فى القرأن برأيه او بما لا يعلم فليتبوأ مقعده من النار
“Siapa saja menafsirkan al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, atau atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka bersiap-siaplah mengambil tempat di neraka”
2. Yang berhak menjelaskan al-Qur’an hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah :
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan,”
3. Adanya tradisi di kalangan para sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran al-Qur’an. Abu Bakar pernah berkata ketika ia ditanya penafsiran al-Qur’an tentang maksud kata al-Abb dalam firman Allah dalam surah Abasaayat 31:
ZpygÅ3»sùur $|/r&ur ÇÌÊÈ
“Dan buah-buahan serta rumput-rumputan”
Ia menjawab, “ Langit manakah yang menaungiku dan bumi manakah yang akan menyanggaku, jika aku mengatakan tentang Kalamullah sesuatu yang tidak aku ketahui ?”[11]
b. Kelompok yang menerima
Mereka mengemukakan argumentasi seperti berikut ini:
1. Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan al-Quran. Umpamanya firman Allah Swt:
xsùr& tbrã/ytGtc#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è%!$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
“ Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”
2. Seandainya tafsir birra’yi itu dilarang, lalu mengapa ijtihad itu diperbolehkan ? Nabi tidak menjelaskan setiap ayat al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.
3. Para sahabat sering berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yi-nya. Seandainya tafsir birra’yi dilarang, tentu tindakan para sahabat itu keliru.
4. Rasulullah pernah berdo’a untuk Ibn ‘Abbas. Do’a tersebut berbunyi:
اللهم فقهه فى الدين وعلمه التأويل
“ Ya Allah, berilah pemahaman agama kepada Ibn ‘Abbas dan ajarilah ia takwil “
Seandainya cakupan takwilhanya mendengar dan menuqil riwayat saja, tentunya pengkhususan do’a di atas untuk Ibn ‘Abbas tidak bermakna apa-apa. Dengan demikian, maka takwil yang dimaksud dalam do’a tersebut adalah sesuatu di luar penuqilan, yakni ijtihad dan pemikiran.
D. Pembagian Tafsir Birra’yi
Selanjutnya para ulama membagi corak tafsir birra’yi kepada dua bagian, yaitu tafsir birra’yi yang dapat diterima dan tafsir birra’yi yang ditolak.[12]
1. ar-Ra’yu al-Mahmudah
Ar-Ra’yu al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
a. Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur?an dan as-sunnah.
b. Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma?tsur
Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya: Tafsir Al-Qurthuby, Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Al-Baidhowy
2. ar-Ra’yu al-Mazmumah
Ar-ra’yu Al-Mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir periode sekarang ini. Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: Tafsir Zamakhsyary, Tafsir Syiah Itsna Asyariah, Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah
Diantara contoh digunakannya akal fikiran dan pendapat bagi penafsiran alqur’an yaitu:
a) golongan Mu’tazilah berkenaan dengan maksud kalimat maqaman mahmudan[13]dalam surah al-Isra’: 79:
z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù¾ÏmÎ/\'s#Ïù$tR y7©9#Ó|¤tã br& y7sWyèö7t y7/u $YB$s)tB #YqßJøt¤CÇÐÒÈ
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.”
Sementara ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan maqaman mahmudan (tempat yang terpuji) ialah tempat di mana Allah Swt. akan mendudukkan Muhammad saw. di atas ‘arsy sebagai ganjaran atas ketahajjudannya. Sedang ahli tafsir yang menggunakan pendapat (akal) menafsirkan maqaman Mahmudan sebagai Martabat syafa’at (kedudukan yang memiliki wewenang untuk memberi pertolongan pada hari kiamat). Alasan mereka bersandar pada ucapan at-Thabari yang mengatakan bahwa duduk di atas ‘arsy adalah mustahil.[14]
b) Penafsiran sebagian mufassir terhadap surah an-Nahl: 68:
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉϪB$# z`ÏBÉA$t6Ågø:$#$Y?qãç/z`ÏBur Ìyf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷ètÇÏÑÈ
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”
Mereka berpendapat bahwa di antara lebah itu, ada yang diangkat sebagai Nabi yang diberi wahyu Allah, dan mereka mengemukakan cerita bohong tentang kenabian lebah. Sementara itu, sebagaian lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah untuk dijadikan sarang-sarang dan madu. [15]
c) Penafsiran sebagian orang terhadap surah ar-Rahman: 33:
u|³÷èyJ»t Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ÈbÎ) öNçF÷èsÜtGó$# br& (#räàÿZs? ô`ÏB Í$sÜø%r& ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur (#räàÿR$$sù 4 w cräàÿZs? wÎ) 9`»sÜù=Ý¡Î0 ÇÌÌÈ
“ Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.”
Mereka menduga bahwa ayat di atas mengisyaratkan kemungkinan para ilmuwan mendarat di bulan dan planet-plenet lain, sedangkan konteks ayat sebelum dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu mengandung pengertian demikian.[16]
d) Penafsiran sebagian mufassir terhadap surah al-Humazah: 6-7:
â$tR«!$# äoys%qßJø9$# ÇÏÈ ÓÉL©9$# ßìÎ=©Üs?n?tãÍoyÏ«øùF{$# ÇÐÈ
“ (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan (7) Yang (membakar) sampai ke hati.”
Mereka berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil ditemukan pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia. Mereka memaknai ayat di atas dengan sesuatu yang tidak mungkin jika dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.[17]
E. Karya-karya Tafsir Birra’yi dan Tokoh-tokohnya
Diantara kitab-kitab tafsir birra’yi adalah sebagai berikut:[18]
الرقم | اسم الكتاب | اسم المؤلف | تاريخ الوافاة | الشهرة |
۱ | مفاتيح الغيب | محمد بن عمر بن الحسن الرازي | ٦٠٦هـ | تفسير الرازي |
٢ | انواع التنزيل و أسرار التأويل | عبد الله بن عمر البيضاوي | ٦٨٥ هـ | تفسير البيضاوي |
٣ | لباب التأويل فى معانى التنزيل | عبد الله بن أحمد النسفى | ٧٤۱ هـ | تفسير الخازن |
٤ | مدارك التنزيل وحقائق التأويل | عبد الله أحمد النسفى | ٧٠۱ هــ | تفسير النسفى |
٥ | غرائب القرأن ورغائب الفرقان | نظام الدين الحسن محمد النيسابوري | ٧٢٨ هـ | تفسير النيسابوري |
٦ | ارشاد العقل السليم | محمد بن محمد بن مصطفى الطحاوي | ٩٥٢ هـ | تفسير أبى السعود |
٧ | البحر المحيط | محمد بن يوسف بن حيان الأندلسي | ٧٤٥ هـ | تفسير أبي حيان |
٨ | روح المعانى | شهاب الدين محمد الألوسي البغدادي | ١٢٧٠ هـ | تفسير الألوسي |
٩ | السراج المنير | محمد الشربيني الخطيب | ٩٧٧ هــ | تفسير الخطيب |
١٠ | تفسير الجلالبن | جلالدين المحلي جلالدين السيوي | - ٨٦٤ هـ - ٩١١ هـ | - تفسير الخطيب - تفسير الجلالين |
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai tafsir birra’yi pada bab sebelumnya, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Tafsir birra’yi ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata yakni bukan pemahaman yang sesuai dengan ruh syari’ah.
- Sebab yang memicu kemunculan corak tafsir birra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, berbagai metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing.
- Secara garis besar, tafsir birra’yi terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu:
- Kelompok yang menerima
- Kelompok yang menolak
- para ulama membagi corak tafsir birra’yi kepada dua bagian, yaitu:
- ar-Ra’yu al-Mahmudah
- ar-Ra’yu al-Mazmumah
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an, Cet. II; CV. Pustaka Setia: Bandung , 2004
Al-Hayy, Al-Farmawy, Abd, Al-Bidayah fi a-Tafsir al-Maudhu’i, (Maktabah al-Jumhuriyyah, Mesir, tt) h. 26-27
Ash-Shabuniy, Muhammad Ali, At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Cet. I; Alim al-Kutub: Makkah al-Mukarramah, 1985
Iqbal, Mashuri Sirojuddin, dkk., Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. I; Angkasa: Bandung , 1993
Qathan, Manna Khalil, Mabahits fi Ulumil Qur’an, Mansyuratul Ishril Hadist, Riyadl, 1973
Rossy, Dennies, Sejarah Tafsir dan Perkembangannya, Sumber Data http://www.salafyoon.net/
[1] Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, (Cet. II; CV. Pustaka Setia: Bandung , 2004). H. 223
[2] Manna Qathan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Mansyuratul Ishril Hadist, Riyadl, 1973), h. 336
[3] Rosihan Anwar, loc. cit., h. 223
[4] Al-Farmawy, Abd Al-Hayy, Al-Bidayah fi a-Tafsir al-Maudhu’i, (Maktabah al-Jumhuriyyah, Mesir, tt) h. 26-27
[5] Rosihan Anwar, loc. Cit., h. 224
[6] Menurut hemat penulis kontroversi tersebut masih bisa dikompromikan karena ulama mengharamkan metode tafsir tersebut apabila seseorang hanya menafsirkan alqur’an lewat akal semata, sementara penafsiran melalui metodologi yang telah ditetapkan oleh para Ulama bisa saja dijadikan hujjah dengan beberapa persyaratan dan penulis paparkan lebih lanjut pada pembahasan makalah ini.
[7] Rosihan Anwar, loc. Cit., h. 225
[8] Mudzakir AS , Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an,
[9] Mashuri Sirojuddin Iqbal, dkk., Pengantar Ilmu Tafsir, (Cet. I; Angkasa: Bandung , 1993), h. 116
[10] Loc. cit
[12] Muhammad Ali Ash-Shabuniy, At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Cet. I; Alim al-Kutub: Makkah al-Mukarramah, 1985), h. 157. Lihat juga ! Dennies Rossy, Sejarah dan Perkembangannya, Sumber Data http://www.salafyoon.net/ 11 Januari 2007
[13] Ahmad Asy-Syirbashi, Op. Cit., h. 109
[14] Ibid
[15] Rosihan Anwar, Op. Cit., h. 230-231
[16] Ibid., h. 231
[17] Ibid., h. 232
0 komentar
Posting Komentar