Begitupun halnya dalam ilmu kalam, karena perbedaan aspek-aspek yang telah penulis sebutkan diatas, maka lahirlah berbagai mazhab atau aliran yang ada di dalamnya, perbedaa itu terjadi baik dari segi kontekstual maupun dari segi non kontekstual. s
Hal ini bermula ketika pasca sepeninggalnya Rasulullah saw. Pada saat itulah timbul berbagai macam persoalan yang polemik, salah satunya adalah, siapa yang pantas menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemimpin dalam bidang politik, maka terpilihlah Abu Bakar as. Sebagai khalifah pertama yang kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab as. Sebagai khalifah yang kedua, pada masa pemerintahan mereka, belumlah bermunculan masalah-masalah yang serius yang dialami ummat islam pada masa itu, dan tambuk pemerintahan
pindah ketangan Utsman bin Affan as. Sebagai khalifah yang ke tiga, maka benih-benih kekacauan mulai bermunculan, baik secara fisik maupun non fisik.[1]Dan semakin membesar lagi permasalahn yang bermunculan ketika masa ke khalifaan pindah ke tangan Ali bin Abi Thalib kw. Sebagai khalifah yang ke-empat. Yang kemudian lahirlah berbagai macam faham yang berbicara soal kepemimpinan (politik) yang di kolaborasi dengan persoalan aqidah.Bermula dari sinilah maka persoalan-persoalan theology mulai bermunculan yang dimulai dengan persoalan siapa yang tetap beriman dibawah naungan islam dan siapa yang telah keluar dari garis islam (kafir), beranjak dari persoalan inilah maka lahirlah berbagai aliran seperti Khawarij versus Syiah.
Timbul pula permasalahan tentang sikap dan perbuatan Tuhan terhadap manusia, hal ini melahirkan aliran Jabariyah dan Qadhariyah, yang kemudian lahir pula aliran penengah dari kedua aliran tadi yaitu Mu’tazilah, kemudian permasalahan tersebut meluas kepada permasalahan ketuhanan maka lahirpulalah aliran Murji’ah, Maturidiyah dan aliran Asya’iriyah.[2]
Namun dalam hal ini penulis tidak ingin memandang hal tersebut sebagai suatu kekacauan atau kerusakan pemahaman dalam islam, bahkan dengan lahirnya berbagai macam faham dan aliran dalam islam, justru dapat memperkaya khazanah ke-ilmuan dalam islam.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pemahaman aliran-aliran theology dalam islam menyangkut masalah Iman, Kufur, Wahyu, perbuatan Tuhan dan manusia, Kalamullah, Antropomorphisme, melihat Tuhan di dunia dan Akhirat.?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Iman dan Kufur
1. Makna Iman Menurut Pandangan Ulama’ Salaf
Para ulama salaf telah sepakat bahwasanya, makna iman tidak terlepas dari tiga aspek, yaitu, mengucapkan dengan lidah dan di yakini oleh hati yang kemudian di aplikasikan dalam bentuk perbuatan oleh anggota badan.[3]
2. Makna Iman dan Kufur Menurut Pandangan Ulama’ Khalaf
Dalam hal ini kami akan memaparkan pandangan para ulama’ khalaf tentang makna iman dan kufur sesuai aliran yang mereka anut.
Iman menurut aliran khawarij adalah terankum dalam tiga aspek pula, yaitu, membenarkan dengan hati, dilafazkan dengan lidah dan dikerjakan oleh anggota badan. Dalam artian semua perbuatan baik, baik itu dihukumkan wajib ataupun sunnah, dan meninggalkan dosa besar.[4]
Jikalau kita melihat secara sepintas, iman menurut penganut aliran khawarij hampir sama dengan pandangan para ulama’ salaf, Cuma ketika kita meneliti lebih lanjut lagi, maka kita akan menemukan perbedaan yang sangat signifikan, karena seseorang yang beriman menurut aliran ini adalah orang yang betul-betul megerjakan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan dosa besar, dalam artian, kapan seseorang yang beriman mengerjakan dosa besar maka, kebaikan yang selama ini mereka kerjakan dapat terhapus, dan orang yang seperti ini pula, dapat di hukumkan sebagai orang kafir, dengan alasan bahwa iman yang dibentuk oleh tiga aspek tadi, tidaklah dapat dipisahkan antara satu sama lain, sebab itulah aliran ini, mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, karena mereka menganggap tahkim yang dilakukan oleh Ali adalah termasuk dosa besar.[5]
Azariqah yang adalah sekte dari khawarij yang sangat meyakini makna iman dalam aliran khawarij ini, mereka beranggapan bahwasanya Ali bin Abi Thalib bersama beberapa sahabat yang lain yang melakukan tahkim, termasuk Murtakibil Kabirah (berdosa besar), dan di hukumkan atas mereka kafir, dalam hal ini halal bagi mereka untuk dibunuh, dan kekal di dalam neraka.[6]Berbeda dengan golongan Ziyadiyyah Shufriyyah, yang dalam hal ini mereka beranggapan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar bukanlah ditetapkan baginya kafit Ad-Din, akan tetapi mereka mengklaim sebagai kafi nikmat, namun pada intinya semua sekte dalam khawarij meyakini faham takfir Al-Mu’ayyan (mengkafirkan seseorang secara lansung).[7]
Hal ini berlandaskan dalil dari Al-Qur’an QS Al-Maidah Ayat 44 :
!`tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
Terjemahannya : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”[8]
Iman menurut aliran ini berbede dengan pandangan para ulama’ salaf, golongan ini memiliki beberapa tanggapan tertentu tentang iman sesuai dengan sekte-sekte yang ada di dalamnya, diantaranya :
Yunusiyah memahami bahwa iman adalah mengenal Allah dan tunduk padanya, meninggalkan kesombongan dan mencintainya sepenuh hati.[9]Barang siapa yang meyakini semuanya itu, berarti mereka beriman, dan barang siapa yang mengindahkannya berarti mereka secara hakikatnya tidaklah beriman, namun tidak pula sampai merusak esensi iman itu sendiri.
Al-Jahmiyah, adalah sekte dalam aliran murji’ah yang dikenal sangat ekstrim terhadap alirannya, mereka beranggapan bahwa iman adalah pembenaran di dalam hati namun tidak mesri di aplikasikan dalam perbuatan.[10]
Aliran ini lahir seperti halnya aliran-aliran yang telah kami sebutkan diataas, yang dilator belakangi oleh permasalahn dosa besar.[11]Namun aliran ini muncul sebagai aliran penengah antara dua aliran yang konflik yaitu aliran Jabariyah dan Qadariyah.
Adapun iman menurut aliran mu’tazilah adalah di yakini dalam hati, di benarkan oleh lidah dan dikerjakan oleh anggota badan.[12]Namun bagi mereka hal yang terpenting dalam iman adalahbagaimana mengaplikasikan iman itu sendiri dalam bentuk perbuatan, karena apalah arti iman itu jikalau hanya diyakini dalam hati dan dibenarkan oleh lidah tanpa aplikasi dalam perbuatan, akan tetapi jikalau iman itu terlaksana dalam bentuk perbuatan, maka keyakinan dalam hati dan kebenaran oleh lidah tidaklah mesti.[13]
Aliran ini berbeda dengan ahlu sunnah wal jama’ah dalam 15 perkara, diantaranya adalah masalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan.[14]
Adapun iman menurut aliran ini adalah tidak terlepas dari makna bahasanya, yaitu Tashdiq bil Qalbi.[15](membenarkan dalam hati) dalam artian membenarkan dalam hati tentang masalah keTuhanan Allah, dan risalah yang di bawa oleh Rasulullah saw. Karena yang di namakan dengan keyakinan memang tempatnya adalah didalam hati, adapun kebenaran dengan lidah dan pengamalan dengan anggota badan, adalah syarat dari iman itu sendiri, artinya seseorang yang beriman cukup hanya meyakinkan dalam hatinya, adapun maslah membenarkan dengan lidah dan mengerjakan dengan perbuatan adalah nilai dari keimanan itu sendiri.[16]
Adapun orang mukmin yang mengerjakan dosa, jikalau dosa itu besar, maka ada dua tempat dalam pembahasan ini. Pertama, di dunia, seorang mukmin jikalu mengerjakan dosa besar maka di dunia tidaklah dihukum sebagai orang kafir, akan tetapi dihukum sebagai orang fasik atau mukmin fasik. Kedua, di akhirat, pendapat Asya’irah dalam masalah ini sejalan dengan pendapat para ulama’ salaf, yaitu, seorang mukmin yang mengerjakan dosa besar, kemudian meninggal tanpa bertaubat, maka hal ini diserahkan sepenuhnya kepada Allah, dalam artian jikalau Allah ingin menghukumnya maka di hukumlah dia di akhirat, tapi jikalau Allah berkehendak untuk mengampuninya dengan Rahmatnya, maka hal itupun bisa saja terjadi.[17]
Setelah melihat dan menyimak beberapa tinjauan pandangan para ulama’ salaf dan khalaf tentang iman dan kufur sesuai yang mereka yakini, maka kita dapat memahami bahwa iman tidakah terlepas dari tiga unsure yang hamper semua ulama’ (salaf dan khalaf) menyepakatinya, walaupun dalam hal ini, ada yang mengambil hanya sebagian saja dari ketiganya, namun tetap tidak bisa terlepas dari tiga unsure tersebut. adapun masalah kufur, adalah suatu permasalahan yang kami pandang sangatlah sensitif, sebab iman yang letaknya di hati, tentu saja berkaitan dengan kafir atau tidaknya seseorang, karena iman dan kufur ini memiliki relasi yang kuat, maksudnya jikalau hati itu beriman berarti ia tidaklah kufur, dalam segi keyakinan, begitupun sebaliknya. Intinya adalah hati-hatilah dengan hati.
B. Akal dan Wahyu
Akal dan wahyu adalah alat yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk mereka pergunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
“akal sebagai daya berfiir yang ada dalam diri manusia, dengan berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, sedangkan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusiatentang keterangan-keterangan Tuhan”[18]
Beranjak dari argument diatas, maka timbullah perselisihan menyangkut masalah fungsi akal dan wahyu, keduanya tidak terlepas dari masalah pengetahuan tentang Tuhan, kewajiban Tuhan, dan juga tidak terlepas dari masalah baik dan buruk. Dilemma inilah yang mengantar terjadinya perselisihan antara aliran-aliran theology dalam islam, diantaranya :
Aliran ini memandang bahwasanya pengetahuan yang ini di capai oleh manusia tidak terlepas dari fungsi peranan akal, karena akal bagi mereka adalah alat yang paling istimewa yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada manusia.[19]Oleh sebab itu aliran ini memandang bahwa akal manusia sudah cukup untuk mengetahui yang mana perbuatan baik, begitupun sebaliknya. Jadi manusia wajib bersyukur kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu, oleh sebab itu ke empat masalah pengetahuan tentang Tuhan, kewajiban Tuhan, perbuatan baik dan buruk, kesemuanya itu dapat diketahui dengan akal.
Aliran ini justru berbeda dengan pandangan aliran diatas, mereka memandang bahwa akal tidak mampu mengetahui yang baik dan yang buruk dan yang wajib bagi manusia tanpa wahyu.[20]Jadi menurut pandangan aliran ini, kebaikan dan keburukan tidak mampu diketahui kewajibannya oleh akal manusia, tanpa petunjuk dari wahyu. Jadi, manusia sebelum turunnya wahyu, tidak berkewajiban untuk mengetahui yang baik dan yang buruk hanya dengan modal akal saja.[21]Menurut para pengikut asya’irah bahwasanya hanya mampu mengetahui wujud Tuhan saja, adapun perkara yang lain yang telah kami sebutkan diatas tidak mampu diketahui oleh akal tanpa bantuan wahyu.
Pada dasarnya aliran ini agak sependapat dengan aliran mu’tazilah yang menganggap bahwa akal dapat mengetahui segalanya, hal ini dapat kita lihat dari keterangan Al-Bazdawi ( salah seorang penganut faham maturidiyah ), beliau mengatakan :
“Percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepadanya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam faham mu’tazilah…Al-Syaikh Abu Manshur Al-Maturidi dalam hal ini sepaham dengan mu’tazilah. Demikian jugalah umumnya ulama Samarkand dan sebagian dari ulama Irak.”[22]
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah aliran ini 100% sepaham dengan paham mu’tazilah dalam hal ini?, setelah di selidiki dari berbagai literature-literatur paham aliran maturidiyah, ditemukan bahwa ada satu masalah yang tidak mampu diketahui oleh akal saj, akan tetapi peranan wahyu sangat penting dalam mengetahui hal ini, yaitu masalah kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk.[23]
Setelah memperhatikan polemic perbandingan para aliran-aliran diatas tentang masalah akan dan wahyu, dapatlah di ketahui bahwa aliran mu’tazilah lah yang memberikan daya paling besar terhadap akal dalam mengetahui sesuatu. Sedangkan maturidiyah sendiri memberikan daya yang kurang besar terhadap aka dibanding mu’tazilah, sedangkan asya’iriyah memberikan daya kepada akal sangat sedikit dalam mengetahui sesuatu dibanding aliran-aliran lain, mereka beranggapan bahwa akal dan wahyu, tidak akan sanggup berfungsi maksimal dalam mengetahui sesuatu, khususnya masalah ketuhanan.
C. Perbuatan Tuhan
Apakah Tuhan memiiki kewajiban tertentu atau tidak?, apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas kepada hal-hal yang baik-baik saja?, ataukah mencakup hal-hal yang buruk juga?.
Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita dapat melihat berbagai pandangan aliran-airan theology dalam islam.
Aliran ini memandang bahwasanya Tuhan mampu berbuat baik dan juga mampu berbuat buruk, akan tetapi menurut mereka, Tuhan tidak akan mungkin dan tidak akan pernah berbuat buruk, karena Tuhan sendiri mengetahui keburukan dari perbuatan itu. Dalam hal ini Al-Qur’an menerangkan secara jelas bahwa Tuhan tidak akan berbuat dzalim kemapada hambanya.[24]
Aliran ini beranggapan demikian karena berlandaskan tiga factor, yaitu :
a. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia.
Taklif Mala Yutaq, adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik, hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan.
b. Kewajiban mengirimkan Rasul
Salah satu kewajiban Tuhan menurut faham ini adalah mengirimkan Rasul kepada ummat manusia, sebab mereka beranggapan bahwa kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh sebab itu Tuhan berkewajiban berbuat baik dan yang terbaik, sebagai aplikasi bahwa Tuhan itu memiliki sifat adil.
c. Kewajiban menepati janji (Al-Wa’d) dan ancaman (Al-Wa’id)
Al-Wa’du wal Wa’id adalah salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran mu’tazilah, jadi, jikalau Tuhan tidak menepati janjinya yaitu memberikan balasan kepada yang berbuat baik, dan tidak memberikan ancamannya kepada yang berbuat buruk, berarti Tuhan telah menyalahi salah satu sifat yang wajib baginya, yaitu, sifat adil, menurut faham aliran ini.[25]
Kemudia aliran ini menganbil landasan dalam Al-Qr’an QS Al-Anbiya’ Ayat 23 :
w ã@t«ó¡ç $¬Hxå ã@yèøÿt öNèdur cqè=t«ó¡ç ÇËÌÈ
Terjemahannya : “ Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”[26]
2. Asya’iriyah
Aliran ini sangat berbeda dengan faham aliran mu’tazilah, menurut faham ini Tuhan tidak memiliki sifat wajib, bahkan Tuhan dapat berbuat apa saja sesuai kehendak dan keinginannya. Jadi Taklif mala Yutaq, Al-Wa’du wal Wa’id dan mengirimkan Rasul, sama sekali bukanlah sifat kewajiban mutlak bagi Tuhan untuk mengerjakannya, mereka berasumsi bahwa Tuhan memiliki kapasitas tertinggi, dalam hal ini Tuhan tidak memiiki batasan dalam melakukan sesuatu, bahkan segala sesuatunya bergantung pada kehendak Tuhan semata.[27]
Dalam hal ini maturidiyah terpecah menjadi dua sekte, yaitu maturidiyah Bukhara dan maturidiyah Samarkand.
a. Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan asya’iriyah, bahwa Tuhan tidak memiliki batasan dalam berbuat sesuatu, adapun masalah Al-Wa’du wal Wa’id, Tuhan akan tentu membalas kebaikan manusia walaupun Tuhan bisa saja membatalkan ancamannya kepada orang yang berbuat dosa, karena mereka beranggapan bahwa semua hal ini bukanlahsesuatu yang wajib bagi Tuhan, akan tetapi bersifat mungkin baginya.
b. Maturidiyah Samarkand beranggapan bahwa Tuhan dalam hal ini memiliki batasan pada kekuasaan dan kehendak muthlakNya, dalam artian perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian Tuhan wajib berbuat baik bagi manusia.[28]
D. Perbuatan Manusia
Aliran ini dalam memahami permasalahan ini, mereka terpecah menjadi dua, yaitu Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat
a. Jabariyah ekstrim, sekte ini memiliki faham bahwa perbuatan manusia sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, jadi manusia hanyalah dipaksa oleh keinginan Tuhan tanpa daya dan upaya terhadap perbuatan manusia itu sendiri. Misalnya, seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah kehendak mereka sendiri tetapi timbul karena Qadha’ dan Qadhar Tuhan yang menghendaki demikian.[29]
b. Jabariyah moderat, sekte ini memiliki faham yang agak berbeda dengan faham jabariyah ektrim tadi, mereka berasumsi bahwa Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia (baik dan buruk), tapi manusia memiliki peranan di dalamnya, dalam artian didalam diri manusia terdapat efek yang mampu mewujudkan perbuatannya, inilah yang di maksud dengan kasab (acquisition)[30]
2. Qadariyah
Aliran ini memahami bahwa manusialah yang memiliki pilihan dan kehendak sendiri (baik dan buruk) atas perbuatannya, karena itu ia berhak mendapat ganjaran atas perbuatan mereka, jika berbuat baik, maka Tuhan akan membalasnya dengan pahala dan jika berbuat buruk maka Tuhan akan membalasnya dengan dosa dan ganjaran.[31]
Adapun takdir menurut pemahaman aliran ini, bukanlah takdir seperti yang difahami bangsa arab pada masa itu, yaitu nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu dalam perbuatan-perbuatannya, akan tetapi manusia hanya bertindak menurut naib yang telah di tentukan semenjak ajal terhadap dirinya, dan takdir menurut mereka adalah ketentuan Allah yang diciptakannya untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak ajal, yang di istilahkan dalam Al-Qur’an sebagai Sunnatullah.[32]
Hal ini berlandaskan firman Allah dalam QS Al-Kahfi Ayat 29 :
( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !
Terjemahannya : “Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". [33]
Aliran ini memiliki faham bahwasanya manusialah yang menciptakan dan memilih sendiri perbuatannya (free will).[34]Dengan berbagai alasan, diantaranya :
a. kalau Allah yang menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, maka batallah Taklif Syar’I, hal ini karena syari’at adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab, pemenuhan thalab tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan dan pilihan
b. kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, maka runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep Al-Wa’du wal Wa’id. Hal ini karena perbuatan itu tidak disandarkan kepadanya.
c. Kalau manusia tidak memiliki kebebasan dan pilihan, pengutusan para Nabi tidak ada gunanya, karena tujuan pengutusan itu adalah dakwah, sedangkan dakwah harus di barengi kebebasan piihan.[35]
Mu’tazilah dalam hal ini mengambil pijakan dala firman Allah QS As-Sajadah Ayat 7 :
üÏ%©!$# z`|¡ômr& ¨@ä. >äóÓx« ¼çms)n=yz (
Terjemahannya : “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya.” [36]
Adapun faham alirian ini lebih dekat dengan faham jabariyah, yaitu, manusia di tempatkan pada posisi yang lemah, ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Hal ini disebabkan karena Asy’ari sebagai pendiri aliran Asya’ariyah menggunakan teori Al-Kasab (perolehan), yaitu, segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan, konsekuensinya, manusia dapat kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.[37]
Sedangkan aliran ini berlandaskan pada firman Allah QS As-Shaffat Ayat 96 :
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Terjemahannya : “ Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".[38]
5. Maturidiyah
Maturidiya Samarkand yang fahamnya lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, hanya saja bagi mereka, daya untuk berbuat tidak diciptakan sebemnya tapi bersama-sama dengan perbuatannya. Maturidiyah Bukhara hamper sama dengan Maturidiyah Samarkand dalam hal ini, hanya saja mereka menambahkan dalam masalah daya, manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan baginya.[39]
E. Kalamullah
Berbicara masalah Kalamullah, tentu ada sangkut pautnya dengan sifat Allah, dan berbicara masalah sifat Allah, terjadi perdebatan yang sengit diantara para kalangan Ulama’ khususnya yang berkecimpung dalam faham aliran-aliran theology islam. Apakah Tuhan memiliki sifat? Kalau Tuhan memiliki sifat, apakah sifat itu kekal uga sepeti halnya dzat Tuhan itu sendiri?. Beranjak dari pertanyaan inilah, penulis ingin mencoba meninjau lebih lanjut tentag pendapat beberapa aliran-aliran theology dalam islam.
Sebelum kita membahas secara spesifik tentang Kalamullah menurut pandangan mu’tazilah, terlebih dahulu kami akan menjelaskan faham mu’tazilahtentang sifat-sifat Allah. Mu’tazilah beranggapan bahwa Allah tidak memiliki sifat, sebab jikalau Allah memiiki sifat, berarti sifat itu ikut kekal bersama dzatnya Allah, dan menurut mereka hal itu mustahil, bahkan lebih lanjut Wasil bin Atha’ mengkalim bahwa, barang siapa yang mengimani bahwa Allah yang memiiki sifat, maka sungguh ia telah musyrik.[40]Adapun masalah Allah maha besar atau Allah maha tahu, itu bukan pertanda bahwa maha besar dan maha tahu itu sifat Allah, akan tetapi tiada lain adalah ciptaan dari dzat Allah itu sendiri.[41]
Landasan mereka dalam mendukng pendapat diatas dalam Al-Qur’an QS Al-An’am Ayat 103 :
w çmà2Íôè? ã»|Áö/F{$# uqèdur à8Íôã t»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# çÎ6sø:$# ÇÊÉÌÈ
Terjemahannya : “ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”[42]
Berbicara masalah Kalamullah, tentu tidak terlepas dari pada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah Kalamullah, namun dalam hal ini Kalamullah menurut Mu’tazilah bukanlah sifat Allah akan tetapi ia adalah ciptaan Allah, oleh sebab itu aliran ini memiiki faham bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk, karena ia termasuk ciptaan dari dzat Allah itu sendiri dan tentunya Al-Qur’an ini tidaklah kekal menurut pandangan aliran mu’tazilah.[43]
Dalam Al-Qur’an mereka mengambil dalil dari QS Al-Anbiya’ Ayat 2 :
$tB NÎgÏ?ù't `ÏiB 9ò2Ï `ÏiB NÎgÎn/§ B^yøtC wÎ) çnqãèyJtGó$# öNèdur tbqç7yèù=t ÇËÈ
Terjemahannya : “Ttidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,”[44]
Adapun aliran ini memahami bahwasanya Allah memiliki sifat. Berbeda dengan aliran sebelumnya. Mereka berasumsi bahwasanya Allah memiliki sifat, namun sifat itu tidak menyatu dengan dzat Allah, akan tetapi sifat Allah mengikut kepada dzatnya. Sifat-sifat Allah ini unik, dalam artian sifat-sifat Allah beda dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluknya (Laisa kamitslih syai’), oleh sebab itu sifat-sifat Allah ini tidak boleh difahami secara harfiah akan tetapi memerlukan pemahaman secara maknawi (tafsir/ta’wil).[45]
Begitupun dengan Kalamullah, mereka memahami bahwa Kalamullah ini adalah bagian dari sifat Allah yang kekal, sebab itu Al-Qur’an bukanlah makhluk, karena segala sesuatu tercipta, setelah Allah berfirman Kum (jadilah), maka segala sesuatupun terjadi.[46]
Mereka berlandaskan pada firman Allah QS Al-Qiyamah Ayat 22-23 :
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
Terjemahannya : “ Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. (*) kepada Tuhannyalah mereka melihat.”[47]
3. Maturidiyah
Pemahaman aliran ini tentang sifat-sifat Allah hamper sama dengan pemahaman Asya’iriyah, cumin aliran ini memahami bahwa sifat dan dzat Allah itu satu, tidaklah terpisah seperti halnya apa yang di fahami oleh asya’iriyah.
Begitupun dengan Kalamullah (Al-Qur’an), dalam hal ini timbul dua pendapat lagi dari kalangan aliran ini sendiri. Maturidiyah Bukhara memahami bahwasanya Al-Qur’an adalah sesuatu yang berdiri sendiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk surah, ayat, permulaan dan akhiran bukanlah Kalamullah secara hakikat, tetapi disebut Al-Qur’an dalam bentuk khiasan.[48]Sedangkan menurut maturidiyah Samarkand, Al-Qur’an adalah Kalamullah yang bersifat kekal dari Tuhan dan juga ia Qadim, Kalamullah ini tidak tersusun dari huruf dan kata, karena yang tersusun itu adalah ciptaan (makhluk).[49]
Dalam hal ini aliran ini berlandaskan pada firman Allah QS Al-An’am Ayat 103 :
w çmà2Íôè? ã»|Áö/F{$# uqèdur à8Íôã t»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# çÎ6sø:$# ÇÊÉÌÈ
Terjemahannya : “ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”[50]
F. Antropomorphisme/ Al-Musyabbihah
Antropomorphisme atau Al-Musyabbihah adalah sebuah faham tentang persamaan wujud Tuhan dengan wujud Makhluknya.
Pandangan mu’tazilah dalam hal ini menyatakan bahwasanya Tuhan tidak memiliki sifat jasmani, sebab jikalau Tuhan memiliki sifat itu, berarti Tuhan memiliki ukuran, sedangkan Tuhan suci dari segala bentuk jasmani. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan tentang sifat-sifat Allah itu, maka aliran ini lebih cenderung menggunakan akal untuk mentakwilkan kata-kata sifat tersebut kepada kata-kata yang layak bagi Tuhan. Misalnya dalam surah Thaha ayat 5, kata “Istiwa’ wal Ghalabah” di takwilkan kepada kata menguasai dan mengalahkan. Kata “’aini” dalam surah Thaha ayat 39, di takwil kepada kata ilmu. Atau kata “Wajhah” dalam surah Al-Qashas ayat 88, diartikan kepada kata dzat Allah itu sendiri.[51]
2. Asya’iriyah
Sebagaimana aliran ini yang tidak terlalu menggunakan akal sebagai suatu fungsi yang besar dalam memahami masalah keTuhanan, merekapun beranggapan bahwa Tuhan tidak memiiki sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sifat-sifattersebut, seperti melihat, mendengar, mengetahui atau bersemayam di atas singgasana. Merea beranggapan bahwasanya ayat-ayat tersebut wajib untuk di-imani tanpa di takwil dan dipertanyakan bentuknya, dalam artian ayat itu wajib di imani secara harfiah saja.[52]
Maturidiyah Bukahara dalam hal ini sefaham dengan mu’taziah, bahwasanya Tuhan tidak memilikisifat jasmani, adapun ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sifat tersebut, mestilah di takwil.[53]
Maturidiyah Samarkand memahami bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan, namun jikalau di jumpai ayat tentang hal ini, maka Samarkand sependapat dengan mu’tazilah, ialah mentakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.[54]
G. Melihat Allah
Bagi aliran ini Tuhan bersifat Immateri, dalam artian Tuhan tidak dapat dilihat karena Tuhan tidak memiliki tempat. Dan Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, karena seandainya Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala berarti Tuhan dapat dilihat di dunia ini sekarang, sedangkan kenyataannya tidak seorangpun yang dapat melihat Allah di ala mini.[55]
2. Asya’iriyah
Berbeda dengan aliran sebelumnya, aliran asya’iriyah ini berpendapat bahwa Tuhan dapatlah di akhirat kelak dengan mata kepala, sebab Tuhan memiliki wujud, yang memiliki wujud tentu dapat dilihat. Tuhan maha melihat, berarti Tuhan juga mampu melihat dirinya sendiri, itu tandanya Tuhan dapat memberikan kemampuan kepada hambanya untuk memperlihatkan dirinya.[56]
Aliran ini agak sependapat dengan aliran asya’iriyah, bahwa Tuhan pasti dapat dilihat dengan benar, akan tetapi aliran ini memahami bahwa cara melihat Tuhan inilah yang ghaib bagi mereka, apakah melihat Tuhan dengan menggunakan panca indera, dalam hal ini mata kepala ataukah mata hati?, dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dilemma perbedaan yang bergolak antar aliran yang berkisar masalah theology islam di motori oleh tendensi politik dank eta-assuban kepada mazhab atau aliran yang mereka anut. Berawal dari perbedaan pendapat tentang siapa yang patut dan pantas menjadi kandidat terbaik yang mampu menggantikan Rasulullah, sebagai pemimpin spiritual dan pemimpin ummat pada masa itu.
Aliran mu’tazilah yang sangat mendewakan akal atau logika dan selalu mengedepankannya dalam menghadapi segala persoalan theology, khususnya masalah ke-Tuhanan dan kemanusiaan. Berbeda halnya dengan aliran asya’iriyah yang memberikan kedudukan lebih kecil kepada akal dan mengedepankan wahyu sebagai senjata dalam menghadapi permasalah theology tersebut. kedua aliran inilah yang selalu bertolak belakang dalam memahami permasalah yang timbul dalam ilmu kalam tersebut.
Adapun aliran-aliran yang lain, seperti murji’ah, maturidiyah,jabariyah, dan qadariyah, tidak menetapkan secara konsisten pendirian mereka dalam menggunakan akal atau wahyu sebagai toak ukur/ dalil dalam menyelesaikan permasalah theology yang muncul dalam ilmu kalam, dalam artian, mereka sesuaikan permasalahn yang mereka hadapi, jikalau akal yang lebih berpotensi untuk penyelesaiannya, maka mereka menggunakan akal, begitupun sebelumnya, jikaau wahyu lebih cocok untuk mereka jadikan dalil maka wahyu itulah yang menjadi pegangan mereka. Intinya yang mana yang bisa lebih mendikung kepada pendirian dan prinsifil mazhab mereka, maka hal itulah yang mereka jadikan sebagai pegangan dalam menyelesaikan masalah-masalah theology dalam ilmu kalam.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syeikh Muhammad, Risalah At-Tauhi͜d, Terj. Firdaus A.N, Cet. IX, Jakarta: Bulan Bintang; 1412 H/ 1992 M
Abdullah Palih, Abi Abdullah Amir, Mu’jam Alfadz Al-‘Aqidah, Riyadh: Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyah; 1417 H/ 1997 M
Ali, Ahmad bin Athiya, Iman Bayna As-Shalaf Wal-Mutakallimin, Madinah: Maktabah ‘Ulum Wal-Hikmah; 1412 H/ 2002 M
Al-Baghdadi, Abdul Qadir bin Thahir, Al-Farqu Baynal Firaq, Beirut: Dar. Al-Afaq Al-Jadidah; 1973 M
Al-Baghdadi, Abu Manshur Abdul Qahir Ibnu Thahir At-Tamimi, Kitab Ushul Ad-Din, Cet. I, Constantinopel: Madrasah Al-Ilahiyat; 1928
Hassan, Shikh Muhammad, Al-Fitnah Bayna As-Shahabah, Manshurah: Maktabah Al-Fayyad; 1428 H/ 2007 M
Nasution, Harun, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Cet. V, Jakarta: 2008
Rahman, Jalaluddin, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang; 1992 M
Al-Razi, Fakhruddin, Itsbat Wujud Allah, Cet. I, Saudi Arabiah: Maktabah Al-Madbuly As-Shaghir; 2001 M
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, Bandung: CV Pustaka Setia; April 2007 M
Al-Syahrastani, Ibnu Abdul Al-Karim Ahmad, Al-Milal wa Al-Nihal, terj. Syuadi Asy’ari, Cet. I, Bandung: PT Mizan Pustaka; 2004 M
Yusuf, M Yunan, Alama Fikiran islam, Jakarta: Perkasa Press; 1990
0 komentar
Posting Komentar