A. Prolog
Mengawali tulisan ini, penulis akan mengutip pernyataan Allah di dalam terjemah al-Qur'an yang menjadi tendensi para sufi untuk berkreasi dan bernostalgia dengan Tuhan:
"Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada-Nya". (QS.al-Kahfi, 18: 110).[1] Pernyataan Allah ini memberi lampu hijau kepada semua manusia untuk berodensi sekaligus untuk bersatu dengan Allah secara rohani atau batiniah. Di cerita-cerita lain yang sering tergian ditelinga kita adalah ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: "ya Allah, bagaimana supaya aku sampai kepadamu?" Allah berfirman: tinggalkan dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
Cabang mistik Islam muncul pada awal abad kedelapan, kira-kira satu abad setelah Nabi wafat. Pada mulanya itu merupakan suatu gerakan asketik[2]murni yang berusaha untuk memblokir atau menghalangi kecenderungan kaum muslimin yang semakin meningkat pada hal-hal duniawi, dan untuk mengingatkan mereka akan tugas-tugas keagamaan mereka.[3]
Tasawuf atau sufisme, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dengan Allah, sehingga disadari benar bahwa seorang berada di hadirat Allah. Intisari dari sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Sebagaimana dilihat dalam ma'rifah, bahwa seorang sufi dengan sampainya ketingkat ini, melihat Allah dengan mata yang ada dalam sanubarinya. Dan semakin tinggi tingkatanya dalam ma'rifah, semakin dekat pula ia dengan Allah, sehingga ia dapat bersatu dengan Allah, yang disebut dalam istilah tasawuf dengan Ittihad (اتحا د , Mystical union).[4]
Namun prosesin seorang sufi dapat bersatu dengan Allah, dia terlebih dahulu harus meleburkan dirinya yang diistilahkan dengan fana' selanjutnya diikuti baqa' selama ia belum dapat meleburkan dirinya atau selama ia masih sadar akan dirinya, selama itupun ia tidak akan bisa bersatu dengan Allah (Ittihad).[5]
Pengenalan ittihad ini nampaknya pertama kali dipublikasikan oleh Abu Yasid al-Bustami. Ungkapan-ungkapan yang ditinggalkanya menunjukan bahwa ia telah bersatu dengan Allah. Inilah yang melatarbelakangi penulis tertarik untuk Menelanjangi pemikiran tersebut. Dan untuk lebih terarahnya pembahasan ini penulis akan membidik pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi Abu Yazid al- Bustami
2. Bagaimana konsep terhadap Fana, Baqa, dan ittihad.
II. Biografi Abu Yazid al- Bustami
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al- Bustami[6]disebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan fana dan baqa. Ia di lahirkan di Bistam, Persia 804 M. Beliau berasal dari lingkungan keluarga yang terhormat dan terpelajar. Ayahnya (Isa) adalah pemuka masyarakat di Bistam, [7]sedang ibunya dikenal sebagai penganut agama Majusi.[8]
Abu Yazid atau Bayazid atau al-Bustami adalah seorang sufi yang sangat terkenal. Beliau adalah teman Zunun al-Misri.[9]Beliau juga termasuk orang-orang yang dikatagorikan sebagai muthawassithu al-Mutashawwifin al-Amaliyin.[10]Dia dianggap sebagai sufi yang paling tinggi maqam-nya dan kemuliaanya, bahkan kedudukan Bayazid di antara para sufi diibaratkan seperti jibril diantara para malaikat.[11]
Pada mulanya Bayazid mempelajari fiqhi mazhab Hanafi, kemudian ia mendalami tasawuf terutama mengenai tauhid dan hakekat disamping pengetahuan tentang fana.[12]
Abu Yazid pernah berkata "siapa yang tidak mempunyai guru maka imamnya adalah Syaitan",[13]sehingga tidak mengherangkan kalau dalam pengembaraannya mempelajari tasawuf beliau telah berguru kepada 113 guru, kemudian ia sendiri menjadi sufi besar yang sangat terkenal.[14]
Bayazid meskipun dia seorang sufi besar, tetapi ia tidak meninggalkan tulisan atau bekas tangan sedikitpun. Ucapan-ucapan atau ungkapan beliau, banyak dimuat dalam kitab-kitab klasik seperti: al-Risalat al-Qusyaeriyat, Thabaqat al- Shufiyat, Kasyf al-Mahjub, Tadzikirat al-Awliya' dan al-Luma'.[15]
Abu Yazid meninggal di Bestam tahun 877 M. makamnya masih ada sampai sekarang dan banyak dikunjungi oleh orang dari berbagai negeri. Kuburnya berdampingan kubur al-Hujwiri, Nashir Khurasan dan Yaqut.[16]Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi, sekaligus tersimpan dalam file sejarah Islam.
III. Al-Fana', al-Baqa', dan Ittihad
A. Al-Fana' dan al-Baqa'
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa seorang sufi sebelum ia bersatu dengan Allah, terlebih dahulu ia harus fana' dan baqa'
Fana[17]adalah kata yang terambil فنى- يفنى – فناء yang secara leksikal berarti hilang, hancur, sirna dan berakhir wujudnya.[18]Fana berbeda dengan al-Fasad (rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda bersifat alamiah, hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak.[19]
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam baharu, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam mahluk.[20] Selain itu, fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
Ibrahim Basyumi, setelah mengemukakan beberapa pernyataan tentang fana, dia berkesimpulan bahwa fana' adalah suatu keadaan mental dimana hubungan manusia dengan alam dan dirinya[21]sudah tiada tanpa hilang dari padanya nilai kemanusiaanya.[22]
Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan.dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.[23]
Pengertian tersebut di atas mengisyaratkan penulis untuk merumuskan pengertian fana, fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercelah, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Meskipun kesadaran itu telah hilang namun nilai-nilai kemanusiaan itu tetap ada.
Di dalam diri manusia yang mengalami perubahan adalah akhlak manusia yang telah didominasi oleh cahaya hakekat.[24]Dengan demikian apabila dikatankan seseorang telah fana' dari dirinya dan mahkluk lain, maka sebenarnya diri dan mahluk lain itu masih ada hanya saja dia tidak lagi menyadarinya dan merasakannya.[25]
Selanjutnya fana yang dicari oleh seorang sufi adalah penghancuran diri (al-fana 'an al-nafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut al-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah fana seseorang dari dirinya dan dari mahluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahluk lain sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya[26]
Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal adalah wujud rohaninya dan ketika itu ia bersatu dengan Allah secara rohaniah. Menurut Harun Nasution, kelihatannya persatuan dengan Allah ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana al-nafs.[27] Tak ubahnya dengan fana yang terjadi ketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk.
Adapun baqa' yang senantiasa mengiringi fana terambil dari kata, بقى –يبقى – بقاء. Yang secara leksikal berarti الدوام (terus menerus), [28] atau dengan kata lain ada terus, tidak lenyap, tidak sirna, dan tidak hancur.
Dalam terminologi tasawuf baqa' adalah pengalaman mistik tentang subtansi atau kehidupan bersama dengan Allah setelah terjadi fana.[29] Dalam konteks lain al-Qur'an juga mengungkapkan kata fana yang diiringi dengan baqa' yang terdapat dalam surah al-Rahman ayat 26-27 sebagai berikut:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ(26)وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya:
"Semua yang ada di muka bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (Ar-Rahman: 26-27)"[30]
Doktrin fana dan baqa', nampaknya merupakan kembar dua. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan-ungkapan sufi sebagai berikut:
من فنى عن جهله بقى بعلمه
من فنى عن رغبته بقى بزهاته
من فنى عن المخالفات بقى فىالموافقات[31]
Menurut Nicholson, Fana memiliki berbagai tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut;
1. Adalah transformasi moral dari jiwa, yang dicapai melalui pengendalian nafsu dan keinginan
2. Adalah abstraksi mental, atau berlalunya pikiran dari seluruh obyek presepsi, pemikiran, tingkah laku, dan perasaan. Dan dengan makna kemudian memusatkan pikiran tentang Allah yaitu memikirkan dan merenungi sifat-sifat-Nya.
3. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana' yang tertingi akan tercapai apabila kesadaran tentang fana itu sendiri telah hilang. Inilah yang dikenal para sufi dengan الفناء عن الفناء .[32]
Pada tahap pertama, kala itu yang lenyap adalah perilaku dan pemikiran buruk, dan dengan serempak dilahirkan perilaku dan pemikiran yang baik yang berkesinambungan. Sedang tahap kedua lebih berkaitan dengan intelektualisme dan pengecekkan diri. Adapun tahap ketiga merupakan tingkat tertinggi dari kehidupan kontemplatif.
Faham fana dan baqa' dalam sejarah perjalanan tasawuf dimunculkan oleh Abu Yazid al-Bustami. Ketika ia telah fana mencapai baqa' maka dari mulutnya keluarlah kata-kata ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengakui dirinya sebagai Tuhan, pada hal yang sesungguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Di antara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya;
لااله الا انا فاعبد ني . سبحاني, سبحاني, ما اعظم شاني .
Artinya:
"Tidak ada Tuhan selain Aku maka sembalah Aku. Maha suci Aku. Maha suci Aku maka sembalah Aku".[33]
Mengenai epistemologi doktrin fana' dan baqa' ini Nicholson mengatakan berasal dari India. Kemungkinan Bayazid[34]telah menerimanya dari gurunya, Abu Ali (dari Sind).[35]
Menurut hemat penulis, adanya pengaruh luar terhadap doktrin fana dan baqa' itu sangat mungkin. Karena faham ini muncul setelah umat Islam bersentuhan dengan budaya luar, akan tetapi umat Islam dalam mengambil doktrin tersebut tidaklah mengambil dalam jaketnya yang utuh tetapi telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga nampak Islami.
Ibrahim Basyumi membagi fana dalam beberapa bagian yaitu;
1. Al-Sukr
Al-Sukr (kemabukan) datang setelah fase al-Ghaebat yaitu suatu keadaan yang menengah antara cinta dan fana karena mengingat pahala dan memikirkan siksaan.[36]
Al-Sukr yang merupakan salah satu ajaran Bayazid,[37]digunakan untuk menunjukkan kegairahan cinta kepada Tuhan. Al-Sukr melibatkan kebinasaan sifat-sifat manusia, seperti harapan dan pilihan.[38]
Hasiografi sufi sering menyebutkan sebuah surat yang dikirim oleh Yahya bin Muadz kepada Bayazid yang isinya "saya mabuk setelah meminum begitu banyak dari saripati cinta-Nya." Dalam jawaban Bayazid mengatakan "orang lain telah meminum samudera Surga dan dunia, namun kehausannya juga belum juga terpuasi, lidahnya menjulur dan menjerit; masih adakah yang bisa diminum lagi.[39]
Al-Sukr hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki cinta, ketika seorang hamba dibukakan pintu baginya sifat-sifat keindahan muncullah baginya al-Sukr, jiwanyapun tentram dan damai.[40]
2. Ghalbat al- Syuhud
Adalah suatu keadaan dimana seorang sufi telah melupakan segalanya termasuk dirinya kecuali Tuhan, sehingga seandainya seorang sufi di tanya, dari mana dan ke mana, maka jawabanya hanya satu yaitu Tuhan.[41]
Dikisahkan sutau ketika seorang mengetuk pintu rumah Bayasid, bayazid berkata: من تطلب ؟ قال ابو يزيد قال مر فليس فى البيت غير الله عز وجل[42].
Dari sini kita dapat amati doktrin Bayazid yang memperoleh kedudukan penting di dalam struktur ajaran tasawuf. Ungkapan ini mengindikasikan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tiada.[43]Dan hanya pertolongan Allah-lah yang layak didambakan oleh seorang sufi.[44]
Dari beberapa ungkapan Abu Yazid, di atas menunjukkan begitu dekatnya ia dengan Tuhan. Namun demikian persatuan sebenarnya belum terjadi tetapi mungkin baru memasuki pintu ittihad.
B. Ittihad
Kata ittihad secara literal berarti, bersatu atau menjadi satu.[45]Dalam terminologi tasawuf berarti suatu tingkatan dimana seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu.[46]
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dengan yang lain. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan dicintai atau dengan tegasnya antara sufi dengan Tuhan. Dalam ittihad identitas telah hilang. Sufi yang bersangkutan karena fananya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan.[47]
Berbicara tentang ittihad itu tidak terlepas dari prosesing yang dilaluinya yaitu fana' dan baqa', yakni penyatuan batin dan rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana' dan baqa' itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana' dan baqa' tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad.[48]
Dalam situasi ittihad yang demikian itu seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, sesuatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat mengambil yang satu dengan kata-kata" Hai aku" (فيقول الواحدللاخرياانا) "Maka yang satu dengan yang lainnya mengatakan Aku".[49]
Menurut al-Junaid, cerita tentang syahadat Abu Yazid masih simpan siur, karena dinukilkan oleh orang yang berbeda-beda, baik waktu dan tempatnya hingga setiap orang atau kelompok menukilkan hikayat Abu Yazid versi mereka masing-masing.[50]
Konsep ittihad ini, bagi yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan, tetapi bagi mereka yang berpandangan ekstrim pada agama itu dipandang sebagai kekufuran.[51]Faham ittihad ini dapat mengambil bentuk wahdat al-wujud. Dan untuk mencapai wahdat al-wujud harus melalui prosesing fana' dan baqa'. Tetapi persoalan tersebut akan dibahas oleh makalah berikutnya.
IV. Epilog
1. Abu Yazid adalah seorang sufi lahir di Bistam, Persia pada tahun 804 M. dan wafat pada tahun 874 M). dan pertama kali membawa faham fana' dan baqa' dalam Islam. Fana' dan baqa' adalah kembar dua yang merupakan suatu proses yang harus dilalui seorang sufi ketika ingin bersatu dengan Tuhan.
2. Setelah sufi melalui prosesing fana' dan baqa' maka yang dinanti-nantikan adalah penyatuan dengan Tuhan dengan istilah trendnya adalah Ittihad, ketika seorang sufi bersatu dengan Tuhan, maka ketika itu sering-sering keluar dari mulutnya ucapan ekstatik yang aneh-aneh, dan seringkali bertentangan dengan aqidah. Namun, sebenarnya sufi tersebut hanyalah perantara dan yang "berbicara" sebenarnya adalah Tuhan"
Oleh karena itu untuk menjadikan umat Islam maju dan sejahtera, kita perlu mengkaji al-Qur'an yang merupakan warisan kesejahteraan kita sesui dengan konteks. kita jangan selalu bernostalgia dalam jubah kebesaran masa lampau yang telah tiada. Berselindung di bawah payung keagungan masa silam adalah ibarat seekor katak yang mencoba berjalan dengan kedua kaki belakangnya: tetapi sikap yang betul adalah; jadikan hari-hari kemarin sebagai cermin dan sumber inspirasi untuk menatap masa depan dengan rasa percaya diri yang tulen. Pikir, Zikir, dan Amal Shaleh adalah modal utama untuk menyongsong hari esok yang lebih cerah dan lebih manusiawi..
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hujwiri. Kasyful MahjubKairo: Halatul Mustafa, 1991 Al-Qusyaeri, Abu al-Qasim Abd al-Karim. "selanjutnya disebut al-Qusyaeri," al-Risalat al-Qusyaeriyat fi Ilm al-Tashawuf. Mesir: Maktabat Muhammad Ali Shabih , t. th
Al-Thusi, Abu Nashr al-Sarraj. "selanjutnya disebut al-Thusi", Al-Luma'. Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, t. th
Asmaran As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press, 1994
Attar, Farid al-Din. Muslim Saints and Mistics : Translated by A.J Arberry. Londong: Rontledge, 1979
Basyumi, Ibrahim. Nasy'at al-Tasawuf al-Islami. Mesir: Dar al-Maarif, t. th
Budiman, Ahmad Nasir. Antara Sufisme dan Syari'ah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, t. th
Budiman, A. Nasir. Tasawuf Menguak Cinta Ilahiah. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993
Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha Putra, 1989
Ghulab, Muhammad. al-Tasawwuf al-Muqaran Mesir: Tabat Nahdhat, 1956
H. A. R. Gibb dan J. H Kreamers, Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden: El Brill, 1961
H. A. R. Gibb et. al. The encyclopedia of Islam, Vol. I. Leiden: E. J Brill, 1960
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya. Cet. XI ; Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984
Herawan, Bambang. Pasang Surut Aliran Tasawuf. Bandung: Mizan, 1993
Ibrahim Anis dkk, al-Mujam al-Wasith. Kairo: Dar al-Fikr, 1972
Kafrawi Ridwan dkk. (ed),Ensiklopedia Islam. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993
Nasution, Harun. Falsafa dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Cet. II; Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 1997
Schimel, Annemarie. Maine Seele ist eine Frau: Das weibliche im Islam, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Jiwaku adalah Wanita: Aspek feminism dalam Spitualitas IslamCet. II; Bandung: Mizan, 1998
Shaliba, Jamil. Mujam al-falsafy, Jilid II Bairut: Dar al-Kitab, 1979
Supardi, Dimensi Mistik dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986
Trimigham, J. Spencer. The Sufi order in Islam. Londong: Oxford Universiti Press, 1971
Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1985
Zakariya, Abu Husaen Ahmad bin Faris. Mu'jam Maqayis al-Lughat, Jilid I. Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1969
*Makalah disampaikan dalam forum seminar kelas "A" semester II Program Pascasarjana IAIN Alauddin, Samata Gowa tgl, 24 Juni 2003. Dosen Pemandu Dr. H. M. Qasim Matar
[1] Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahannya. (Semarang : CV. Toha Putra, 1989), h. 460
[2] Kaum asketik lebih tertarik untuk menaklukan kerajaan didalam hati dan jiwa. Dan bukan merupakan suatu hal yang remeh bahwa peranan utama dalam upaya ini jatuh dipundak wanita. Nama Rabi'ah al-Adawiyyah atau Rabi'ah dari Basrah menandai awal gerakan mistik yang sesungguhnya dalam Islam . dialah yang diyakini telah mengubah asketisme yang suram menjadi mistisisme cinta kasih yang murni. Setiap orang mengenal kisah mengenal kisah bagaimana tokoh asketik yang saleh itu berlari melintasi Basrah dengan sumber air di satu tangan dan obor menyala ditangan lain. Legenda rakyat ini masuk kedunia Kristen juga. Legenda ini diperkenalkan ke Barat oleh Joinville, wakil Louis IX. Kemudian dikisahkan kembali oleh Quietist Camus dalam bukunya Carit'e ou la Vraie Charite'e yang dipublikasikan pada tahun 1640 M. Lihat Annemarie Schimel, Maine Seele ist eine Frau: Das weibliche im Islam, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Jiwaku adalah Wanita: Aspek feminism dalam Spitualitas Islam (Cet. II; Bandung: Mizan, 1998), h. 69
[6]Abu Yazid al-Bustami, nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pribadinnya. Ia pernah mengatakan: "kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sangup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari'at. Lihat. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya (Cet. XI ; Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984), h. 102
[9] Lihat H. A. R. Gibb et. al, The encyclopedia of Islam, Vol. I (Leiden: E. J Brill, 1960), h. 162
[10] Orang-orang yang dimasukkan dalam kelompok tersebut ialah: Sufyan al-Tsauri, Zunun al-Mishri, al- Muhasibiy, Yazid al-Bustami, Ibrahim bin Adham, al-Nuri, al-Qusyaeri, al-Jailani, Abu Najib al-Suhrawardi, dan Umar al-Suhrawardi. Lihat Muhammad Ghulab, al-Tasawwuf al-Muqaran(Mesir: Tabat Nahdhat, 1956), h. 53
[11] Lihat Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub (Kairo: Halatul Mustafa, 1991), h. 106
[12] Lihat H. A. R. Gibb dan J. H Kreamers, Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: El Brill, 1961), h. 63
[14]Lihat Muhammad Ghulab, loc. cit
[15]LihatH. A. R. Gibb et. al, The encyclopedia, op. cit, h. 162
[16] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 288
[17]Fana ada dua jenis, yaitu fana dalam esensi sebagaimana lenyapnya es di dalam air. Dan fana di dalam sifat, sebagaimana lenyapnya besi didalam api. Pada peristiwa pertama, maka abdi akan menjadi Dia (Hu-Hu); pada yang ke dua, ia menjadi seperti Dia (Ka anna hu-hu). Fana pertama, yang ada di dalam Zat, hanyalah hak dari Rasul SAW saja, dan tiada yang lain yang memperolehnya. Karena realitas Muhammad adalah pengenalan pertama Tuhan sebagaimana diri-Nya. Ini bukanlah sebutan hanya semata atas kesadaran. Bayazid Bistami pernah berkata bahwa setiap sesuatu memiliki keadaannya masing-masing (hal). Hal adalah buah pemikiran- manusia sempurna bukanlah buah dari pemikiran, tetapi ia adalah realitas iluminasi. Mata pikirannya ( yang biasa disebut oleh ahli mistik latin sebagai Oculus cordis) terbuka, dan ia kemudian teriluminasi; dan Baqa karenanya semata-mata bukanlah hasil ekstase (wajd) Lihat Khan Sahib Khaja Khan, Cakrawala Tasawuf (Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers, 1993) h. 95
[20] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1985), h. 234
[21] Tubuh manusia yang di kemukakan Hugo ada tiga bagian dalam tubuh manusia, yaitu Cogitalio (Mujahadah), Meditatio (Muraqaba), dan contemplato (Musyahadah). Di dalam kenaikan menuju kemuliaan, manusia akan memiliki segala yang ada pada Tuhan (kendati hanya sebagian saja). Richard dari mazhab St. victor mengemukakan adanya tahapan kontemplasi yaitu dua terlihat, dua tak terlihat dan dua ilahi. Pertama, ia melihat bahwa seluruh obyek merupakan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Ada objek yang mulia, yang merupakan cerminan-Nya . disinilah manusia harus melaksanakan jihad untuk mengendalikan nafs-nya, yang tujuannya adalah mencapai eksistensi yang merdeka- ini disebut Mujahadah. Kedua, ia akan melihat bahwa dunia, secara keseluruhan, merupakan cerminan atau perwujudan nama-nama dan sifat Tuhan ini ini adalah mukasyafah. Ketiga, ia akan melihat bahwa pengetahuannya melingkupi segala sesuatu. Ia kemudian menjadi cermin di dalam mana dunia terpantulkan. Sebelumnya non ego telah menjadi cermin ; dan kini egonya kembali telah menjadi cermin. Ini adalah muraqabah. Lihat Khan Sahib Khaja Khan, op. cit., h. 99
0 komentar
Posting Komentar