Sabtu, 17 September 2016

KONSEP PEMIKIRAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI

A.    Latar Belakang

Sayyid Jamaluddin al-Afghani adalah perintis modernisme Islam. Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang luas, dan juga karena menganjurkan dan mempertahankan sejak 1883 bahwa persatuan pan-Islam merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim mengahadapi barat.[1]
Jamaluddin al-Afghani selain pelopor modernisasi, juga sebagai seorang pemikir di dunia timur dan sekitarnya. Dengan semangat yang patriotis, ia dapat mengahantarkan liberalisme baru Islam ke gerbang abad ke sembilan belas dan dua puluh.[2]Ia adalah seorang pemimpin pembaharuan yang tempat tinggal dan aktifitasnya berpindah-pindah dari satu negara Islam ke negara Islam lainnya. pengaruh terbesar yang ditinggalkannya adalah di mesir.

Gerakan pembaharuan islam sebagai suatu gerakan yang berupaya untuk mengubah kehidupan umat Islam dari keadaan kejumudan dan ketertinggalan. Gerakan pembaharuan ini bermuatan yang cukup berarti dengan adanya transformasi nilai yang harus berubah. Bahkan bila diperlukan harus dibarengi dengan perbaikan-perbaikan terhadap aturan-aturan atau tatanan-tatanan yang sudah dimiliki atau masih dianggap belum mendapat satu kepastian hokum
Menyadari gerakan pembaharuan ataupun yang dikenal dengan modernisme dalam islam merupakan suatu gerakan yang berusaha untuk mengkondisikan kehidupan umat islamdari sifat statis ke sifat yang dinamis. Gerakan ini sedianya bermula pada adanya kontak kekuatan antara kaum muslimin dengan bangsa Eropa, yang dengannya menimbulakn kesadaran bagi kaum muslimin itu sendiri bahwa sesungguhnya memang mereka jauh tertinggal dibandingkan bangsa Eropa. Hal ini baik dipandang dari ilmu pengatahuan, keterampilan, pola pikir, kedisiplinan bahkan peralatan dan kekuatan yang dimiliki oleh bangsa Barat.
Sayyid jamaluddin al-Afghani merupakan salah satu tokoh yang pertama kali mentyatakan kembali tradisi muslim dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem penting yang muncul akibat Barat  semakin mengusik Timur Tengah di abad kesembilan belas. Dengan menolak tradisiolisme murni yang mempertahankan warisan Islam secara tiak kritis di satu pihak dan peniruan membabibuta terhadap Barat di pihak lain. Al-Afghani menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas yang diperluakan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktifisme politik serta kekuatan militer dan politik.[3]          
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka pada makalah ini yang menjadi rumusan masalah yaitu:
1.  Biografi Jamaluddin al-Afghani
2.  Ide-ide pembaharuan jamluddin al-Afghani. 
II.        Pembahasan
  1. biografi Jamaluddin al-Afghani
jamaluddin al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M dan meninggal dunia pada tahun 1897 M. dalam sislsilah keturunannya, al-Afghani adalah keturunan Nabi melalui saidina Ali ra.[4]Pendidikannya sejak kecil sudah diajarkan mengkaji al-qur’an dari ayahnya  sendiri, kemudian dilanjutkan dengan bahasa Arab dan sejarah. Ayahnya mendatangkan seorang guru ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu fiqhi yang dilengkapi pula dengan ilmu taswuf dan ilmu ketuhanan, kemudian dikirim ke India untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern (Eropa).[5]
Jamaluddin al-Afghani ketika berusia 8 tahun ia dengan keluarganya hijrah ke Qazwin dan kemudian ke Teheran. Di sana ia belajar di bawah asuhan Aqashid Shadiq, teolog syi’ah yang terkenal di Teheran. Dari Teheran ai pindah ke Najd di Irak, pusat studi keagamaan syi’ah. Di situlah ia menghabiskan waktunya selama 40 tahun sebagai murid murtadha al-Anshari. Perlawatan al-Afghani sampai ke tempat penjuru dunia, yaitu Hijaz, Mesir, Yaman, Turki, Russia, Inggris dan Prancis.[6]
Di Kabul ia mempelajari segala cabang ilmu keislaman, disamping filsafat dan ilmu eksakta. Setelah berusia 18 tahun ia ke India berdiam selama satu tahun.[7] 
Pengabdiannya yang pertama di Afghanistan, ketika berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 M ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Muhammad A’zam Khan.[8]
Dalam banyak dokumentasi dia terlihat sebagai figure politik yang sangat anti terhadap inggris. Jatuhnya A’zam Khan dan naik tahtanya Sher Ali yang lebih pro Inggris menyebabkan al-Afghani diusir dari Afghanistan pada Desember 1868 M, lalu dia ke Bombai kemudian ke Istambul pada tahun 1869.[9]
Ketika al-Afghani ke Istambul dia mengemukan gagasan yang berasal dari filosof Islam, dan ketika ke Mesir pada tahun 1870 dia mengajarkan murid-muridnya terutama tentang filosof-filosof Iran. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa yang diajarkannya bukan saja rasionalisme. Dia juga mengajarkan filosof itu untuk membedakan antara apa yang perlu diajarkan kepada elit intelektual, yaitu kebenaran rasional dan apa yang perlu disampaikan kepada massa, yaitu pemahaman dan emosi mereka.[10]
Di tahun 1870 ia pindah ke Turki dan diangkat oleh Perdana Menteri Ali Pasya menjadi menjadi anggota Majelis Pendidikan Turki, kemudian pindah lagike Iran dan di sana ia diangkat menjadi Menteri Penerangan, dan selanjutnya pindah ke Mesir (1871), al-Afghani kembali kle Mesir sampaintahun 1879. selama keberadaannya yang kedua, ia mendirikan partai al-Hizb al-Wathany al-Hurry (Partai Nasional). Melalui partai ini, ia menyusun sebuah gerakan revolusi Arab. Selain itu, ia juga mengadakan pertemuan harian dengan murid-muridnya. Melalui pertemuan ini ia m,enyebarkan tulisan-tulisan dengan nama samaran atau kadang atas nama murid-muridnya. Pada tahun 1879, ia diusir oleh pemerintah Mesir Khudawy Taufiq dengan tuduhan memimpin gerakan rahasia yang bertujuan untuk merusak agama (yang dihasut oleh Inggris)
Setelah diusir oleh pemerintah Mesir atas tuduhan Inggris, al-Afghani pindah ke India, tiba di India ia ditahan di Heiderbad dan Kalkutta, dan ia dibebaskan setelah adanya Uraby Pasya di Mesir pada tahun 1882.[11]       
  1. Ide-ide pem,baharuan jamaluddin al-Afghani
Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qada dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang enjadikan umat menjadi statis. Sebab-sebab lain lagi adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi semua hal itu antara lain menurut pendapatnya ialah umat Islam harus  kembali kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam hars diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan tuntutan zaman. Ia juga menganjurkan  umat Islam untuk mengembangkan pendidikan secara umum, yang tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam secara politis dalam menghadapi dominasi dunia barat. Ia berpendapat tidak ada sesuatu dalam ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal/ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.[11] Selanjutnya bagaimana ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik Al-Afghani tentangnegara dan sistem pemerintahan akan diuraikan berikut ini :
1.      Bentuk negara dan pemerintahan
Menurut Al-Afghani, Islam menhendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar.[12] Pendapat seperti ini baru dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot. Pendapat ini tampak dipengaruhi  oleh pemikiran barat, sebab barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun  pemahaman Al-Afghani tidak lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Penafsiran atau pendapat ersebut lebih maju dari Abduh yaitu Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan , maka bentuk demikianpun harus mengikuti masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, bahwa apapun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai reaksi  kepada salah satu sebab kemunduran  politis yaitu pemerintah absulot.[13]
2.      Sistem Demokrasi
Di dalam pemerintahan yang absulot dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja/kepala gegara  untuk bertindak  yan tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokrasi.[14]
Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas dari dari pemerintahan yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana berkembang di barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti pemerintahan khalifah. Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman[15] karena pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai urusan.[16]
Selanjutnya ia berpendapat pemerintahan otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islamyang sangat menghargai hak-hak individu. Maka pemerintahan otokrasi harus diganti dengan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu. Menurut Al-Afghani, pemerintahan yang demokrasi menghendaki adanya majelis perwakilan rakyat. Lembaga ini bertugas memberikan usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan negara. Urgensi lembaga ini untuk menghindari agar tidak muncul pemerintahan yang absulot. Ide atau usul para wakil rakyat yan berpengalaman merupakan sumbangan yang berharga bagi pemerintah. Karena itu para wakil rakyat harus yang berpengetahuan dan berwawasan luas serta bermoral baik. Wakil-wakil rakyat yang demikian membawa dampak positif terhadap pemerintah sehingga akan melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat.
Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat kepada undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang terpilih memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu.Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan  menurut Al-Afghani adalah rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih oleh rakyat.
3.      Pan Islamisme / Solidaritas Islam
Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam.[
Kesatuan benar-benar menjadi tema pokok pada tulisan Al-Afghani. Ia menginginkan agar umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama. Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani sehingga ia menyerukan  kepada bangsa Persia dan Afghan  supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua adalah bukan, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi umum dari kedua sekte tersebut.
Meskipun semua ide Al-Afghani bertujuan  untuk mempersatukan umat Islam guna menanggulangi penetrasi barat dan kekuasaan Turki Usmani yang dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islamnya itu tidak jelas. Apakah bentuk-bentuk kerjasama tersebut dalam rangka mempersatukan umat Islam dalam bentuk asosiasi, atau bentuk federasi yang dipimpin oleh  seseorang atau badan yang mengkoordinasi kerjasama tersebut, dan atau seperti negara persemakmuran di bawah negara Inggris. Sebab ia mengetahui  adanya kepala negara  di setiap negara Islam. Tapi, menurut Munawwir Sjadzali, Pan-Islamismenya  Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar negara-negara Islam dan umat Islam di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman interen, para pengusaha muslim yang lalim, menentang kolonialisme dan imperialisme barat serta mewujudkan keadilan.Al-Afghani menekankan solidaritas sesama muslim karena ikatan agama, bukan ikatan teknik atau rasial. Seorang penguasa muslim entah dari bangsa mana datangnya, walau pada mulanya kecil, akan berkembang dan diterima oleh suku dan bangsa lain seagama selagi ia masih menegakkan hukum agama. Penguasa itu hendaknya dipilih dari orang-orang yang paling taat dalam agamanya, bukan karena pewarisan, kehebatan sukunya atau kekayaan materialnya, dan disepakati oleh anggota masyarakatnya.
Inilah ide pemikir orisinil yang merupakan solidaritas umat yang dikenal dengan Pan-Islamisme atau Al-Jamiah al Islamiyah (Persaudaraan sesama umat Islam sedunia. Namun usaha Al-Afghani tentang Pan-Islamismenya ini tidak berhasil.


[1]Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam (Cet.III; Bandung: Mizan, 1998), h. 17 
[2]Majid Fakhri, Sejarah filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka jaya, 1983), h. 456 
[3]Ibid., h. 18
[4]H. M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam dunia Islam, Ed. I (Cet. II; Jakarta: PT. RajaGarfindo Persada, 1998), h. 76  
[5]Ibid.
[6]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 51
[7]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Cet. V; Jakarta: UI Press. t.th), h. 117  
[8]H.M. Yusran Asmuni. Op.cit.,h. 77
[9]Ali Rahnema, op.cit., h. 21
[10]Ibid., h. 20
[11]Munawir Sjadzali, op.cit., h. 118 

0 komentar

Posting Komentar