Selasa, 27 September 2016

ALIRAN SALAF

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah

Hasil gambar untuk aliran salafAliran Salaf adalah salah satu aliran yang terdapat dalam kajian ilmu kalam. Pada awalnya ilmu kalam lahir banyak persoalan yang timbul dikalangan masyarakat, karena itulah muncul berbagai pendapat dan pemikiran, sehingga terbentuk aliran-aliaran pemikiran para ulama. termasuk aliran teologi yang untuk menyelesaikan masalah-masalah kalam tersebut. Diantara aliran-aliran tersebut adalah aliran Salaf.

Aliran salafmerupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah.

Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur". Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, sebagaimna yang dikutif rosihon anwar dalam bukunya. diantaranya adalah:
1. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’, tabi’ tabi’in para pemuka abad ke-3 H, dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula uluma-ulama shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.
2. Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih(antropomorphisme).
3. Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya.[1]
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fatimah az-Zahra:
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
Artinya: "Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya".
Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda. Yang pertama, digunakan oleh akademisi dan sejarahwan, merujuk pada "aliran pemikiran yang muncul pada paruh kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide dari Eropa," dan "orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang telah di bawa Rasulullah serta menjauhi berbagai ke bid'ah an, khurafat, syirik dalam agama Islam”.
Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode pemikiran rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual yang mengharuskan tunduk dibawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai macam persoalan agama termasuk didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak cocokan antara riwayat yang ada dengan akal sehat.[2]
Namun dalam penerapannya di kalangan para tokoh aliran ini sendiri, metode ini tidak selalu membuahkan hasil yang sama. Hal ini disebabkan mereka tidak luput dari pengaruh situasi kultural dan struktural pada masanya. Misalnya, di kalangan aliran salaf ada golongan yang disebut al-Hasyawiyah, yang cenderung kepada anthropomorfisme dalam memformulasikan sifat-sifat Tuhan, seperti mereka berpandangan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang bersifat mutasyabbihat harus difahami menurut pengertian harfiyahnya. Akibatnya ada kesan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti bertangan, bermuka, datang, turun, dan sebaginya.[3]
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali. Sebelum akhir abad itu terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerusalem dan Damaskus. Di damaskus, kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang disebabkan serangan Mongol atas Irak. Diatara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama’ besar penganut imam Hanbali yang ketat.
Menurut Harun Nasution secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal kemudian dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah dan disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab hingga akhirnya berkembang secara sporadis di dunia Islam.
Ada banyak sekali ulama-ulama salaf yang tersebar di seluruh dunia, dan pada makalah ini akan dibahas Ibnu Taimiyah” system pemikiran dan pokok-pokok ajaran salaf yang dikembangkan fahamnya”, “Muhammad bin Abdul Wahab dan perjuangannya dalam mengembangkan fahamnya”, dan pertalian faham salaf dan wahabiah dan pengaruhnya didunia Islam. 
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Adapun Rumusan dan Batasan Masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Siapakah Ibnu Taimiyah” dan bagaimana system pemikiran dan pokok-pokok ajaran salaf yang dikembangkan fahamnya?
2.    Siapakah Muhammad bin Abdul Wahab dan bagaimana perjuangannya dalam mengembangkan fahamnya?
3.    Bagaimana pertalian faham salaf dan wahabiah dan pengaruhnya di dunia Islam? 

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Ibn Taimiyah, ”System Pemikiran dan Pokok-pokok ajaran Salaf yang dikembangkan fahamnya”
1.     Riwayat Singkat Hidup Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib dan hakim di kotanya.
Dikatakan oleh Ibrahim Madkur bahwa ibn Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Al-farabi. Kritikannya ditujukan pula pada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama sezamannya. Berulangkali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.[4]

2.  Pemikiran Teori Ibnu Taimiyah
Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut :
a.    Sangat berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist
b.     Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
c.     Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama
d.   Di dalam Islam yang diteladani hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan tabi’i-tabi’in)
e.    Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah adalah seorang tekstualis. Oleh sebab itu pandangannya dianggap oleh ulama mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim(antropomorpisme) Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagai salafperlu ditinjau kembali.
Berikut ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.[5]
a.    Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1)    Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdanniyah.
2)     Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu, dan kalam.
3)     Sifat khabariah(sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis walaupun akal bertanya tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata Allah
4)    Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, rabb al-amin, khaliq al-kaum. Dan falik al-habb wa al-nawa.
b.    Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.
c.    Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah makna yang tidak dikehendaki lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd, tidak mengingkarinya, tidak menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.
1)   Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)
2)   Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)
3)   Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)
4)   Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)
5)   Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).

Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.[6]
Ibnu Taimiyah mengeluarkan fatwa dalam ‘aqidah usuluddin, menyiarkan, mempropagandakan dengan gigih dan mempertahankannya mati-matian.

Fatwa-fatwa itu adalah :
  1. Tuhan Allah duduk bersela mantap di atas ‘Arsy.
  2. ‘Arsy itu di atas langit yang tujuh, dus Tuhan Allah itu duduk di atas ‘Arsy dan di atas langit yang tujuh.
  3. Tuhan Allah berada dijihat atas, boleh ditunjuk dengan telunjuk ke atas.
  4. Tuhan Allah mempunyai muka.
  5. Tuhan Allah mempunyai mata dua atau bermata banyak.
  6. Tuhan Allah bertangan dua.
  7. Tuhan Allah mempunyai anak jari banyak.
  8. Tuhan Allah mempunyai kaki dan tumit.
  9. Tuhan Allah berada di langit dan turun tiba-tiba malam ke langit dunia (langit yang dekat ke dunia).
  10. Tuhan datang dan pergi.
  11. Tuhan marah dan ketawa
  12. Tuhan Allah berjalan dalam naungan awan.
  13. Tuhan Allah bersama manusia dimana saja manusia berada.
  14. Muka Tuhan serupa dengan muka Nabi Adam.
  15. Hijir Aswad tangan kanan Allah di bumi.
  16. Tuhan mempunyai nyawa.[7]
Tetapi, kata Ibnu Taimiyah, sifat-sifat Tuhan yang serupa itu tidak serupa dengan yang ada pada makhluk, Maha suci Tuhan akan serupa dengan Makhluk. Dan barangsiapa yang menta’wilkan atau mentafsirkan Ayat-ayat atau Hadits-hadits yang bertalian dengan sifat-sifat Tuhan, maka orang itu adalah orang yang tersesat, dikutuk, dan harus ditaubatkan.

B.  Muhammad bin Abdul Wahab dan bagaimana Perjuangannya dalam Mengembangkan fahamnya
1.     Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan di Ujainah, yaitu sebuah dusun di Najed, daerah Saudi Arabia sebelah Timur. Salah satu tempat belajarnya ialah kota Madinah, pada Sulaiman Al-kurdi dan Muhammad Al-hayyat As-sindi.[8] Ia banyak mengadakan perlawatna dan sebagian hidupnya dipergunakan untuk berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain sebagai penganjur aliran Ahmad bin Hambal. Setelah beberapa tahun mengadakan perlawatan, kemudian pulang ke negeri kelahirannnya dan selama beberapa bulan ia merenung dan mengadakan orientasi, untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya, seperti yang dicantumkan dalam bukunya At-tauhid. Karena ajaran-ajarannya menimbulkan keributan-keributan di negerinya, ia diusir oleh panguasa setempat, kemudian ia bersama keluarganya pindah ke Dari’ah, sebuah tempat tinggal Muhammad bin Sa’ud yang telah memeluk ajaran-ajaran wahabiyah, bahkan menjadi pelindung dan penyiarnya.
Dengan dukungan Sa’ud dan kerja sama yang baik sehingga gerakan wahabi dapat berkambang. Keinginan dan cita-cita masing-masing tokoh ini saling mendukung. Sehingga cita-cita mereka membuahkan hasil dengan berdirinya kerajaan wahabi di Jazirah Arabia, Sehingga segala bentuk kemusyrikan disapu bersih.

2.      Pokok-Pokok Pikiran Wahabiyah
Muhamad bin Abdul Wahab lahir dan besar di lingkungan keluarga dan masyarakat yang bermazhab Hambali. Bahkan, sebagaimana disebutkan terdahulu, ayahnya adalah kadi mazhab Hambali di daerahnya. Karena itu wajarlah jika Muhammad bin Abdul Wahab menjadi penganut dan pemgikut setia Ahmad bin Hambal. Oleh karena itulah, Muhammad bin Wahab disebut-sebut sebagai tokoh salafiah abad ke-18 M sebab salafiah mengacu kepada pemikiran Ahmad bin Hambal.
Sebagai pengikut setia Ahmad bin Hambal tentu pola pikir dan amaliahnya menikuti mazhab Hambali. Ahmad bin hambal yang terkenal dengan gigih mempertahankan dan memperjuangkan iktikad dan amaliah salaf al-shalih dan menantang keras pemikiran-pemikiran rasional. Kekerasan dan kekuatan pendirian Ahmad bin Hambal nampaknya juga terlihat pada diri Muhammad bin Abdul Wahab yang berjuang membrantas kemusrikan, bid’ah, Khurafat dan tahayul yang melanda umat islam.
Dalam hubungannya dengan tauhid, Muhammad bin Abdul Wahab mengemukakan tiga aspek ketauhidan:
a.     Tauhid rububiah adalah pengakuan bahwa Allah satu-satunya pencipta, pemelihara, pemberi rizki, pengatur, yang menghidupkan dan mematikan.
b.     Tauhid al-asma wa al-shifat adalah keimanan kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana tercantum dalam Al-qur’an,tanpa tamsil, tasbih dan takwil.
c.     Tauhid ibadah adalah segala bentuk amal dan ibadah manusia semata-mata dilakukan untuk berbakti kepada Allah SWT.[9]
Aspek ketauhidan memang merupakan perhatian utama Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia ingin memurnikan Ajaran islam yang dianggapnya sudah rusak dan bercampur baur dengan ajaran lain yang tidak sesuai dengan tauhid Islam, akibat ulah umat islam sendiri. Ia tidak ingin umat Islam terjerumus kedalam kemusyrikan, sesuatu dosa yang tidak terampunkan. Aspek ketauhidan mendapat perhatian besar dari Muhammad bin Abdul Wahab karena disamping tauhid merupakan ajaran islam paling mendasar, ia menyaksikan di daerah banyak umat islam melakukan aktifitas yang menurut pendapatnya menyimpang dari ajaran tauhid. Aspek tersebut antara lain pengkultusindividuan syekh-syekh tarekat atau orang-orang yang dianggap wali, Ziaroh ke kubur-kubur para syekh atau wali dan meminta pertolongan kepada syaekh atau wali tersebut, dan ziaroh ketempat tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib yang dapat membamtu dan menyelesaikan problema kehidupan mereka, seperti batu-batu besar dan pohon-pohon
.
C.      Pertalian Faham Salaf Dan Wahabiah Dan Pengaruhnya Di Dunia Islam
Aliran wahabiyahsebenarnya merupkan kelanjutan dari aliran salaf, yang berpangkal kepada pikiran-pikiran Ahmad bin Hambal dan yang kemudian direkonstruksikan oleh Ibnu Taimiah, bahkan aliran wahabiyah telah menerapkan dengan lebih luas dan memperdalam arti bid’ah, sebagai akibat dari keadaan masyarakat dan negeri Saudi Arabia yang penuh dengan aneka bid’ah, baik yang terjadi pada musim upacara agama ataupun bukan.
Akidah-akidah yang pokok dari aliran wahabiyah pada hakekatnya tidak berbada dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiah. Perbedaan yang ada hanya dalam cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu. Akidah-akidahya dapat disimpulkan dalam dua bidang, yaitu tauhid dan “bidat”.
Dalam bidang ketauhidan mereka berpendirian berikut :
1.    Penyambahan kepada selain Tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2.    Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang saleh, termasuk golongan musyrikin.
3.    Termasuk dalam perbuatan musyrik memberikan kata pengantar dalam sholat terhadap nama Nabi-Nabi atau wali atau Malaikat (seperti Sayyidina Muhammad).
4.    Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Qur’an  dan Sunah, atau ilmu yang bersumber akal pikiran semata-mata.
5.    Termasuk kufur dan Ilhadjuga mengingkari qadar dalam semua perbuatan dan penafsiran qur’an dengan jalan ta’wil.
6.    Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Tuhan dan doa-doa (wirid) cukup dengan menghitung jari.
7.    Sumber syariat islam dalam soal halal dan haram hanya Qur’an semata-mata dan sumber lain sesudahnya ialah sunnah Rasul.
8.    pintu ijtihad tetap terbuka dan sipapun boleh melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.[10]
Hal-hal yang dipandang bid’ah oleh mereka dan harus diberantas antara lain: berkumpul bersama-sanma dalam mau’idan, orang wanita mengiring jenazah, mengadakan pertemuan Zikir, bahkan mereka merampas buku-buku tawassulat,bahkan kegiatan sehari-hari juga dikategorikan dalam bid’ah seperti rokok, minum kopi, memakai pakaian sutra bagi laki-laki, bergambar,memacari kuku
Kalau Ibnu Taimiah, sebagai pembangun aliran salaf, menanamkan paham-pahamnya dengan cara menulis buku-buku dan megadakan pertukan pikiran serat perdebatan, maka
Muhammad bin abdul wahabmerasakan sendiri bahwa khuratfat-khurafat yang menimpa kaum muslimin di negerinya, bukan saja terbatas kepada pemujaan kuburan-kuburan, sebagai tempat orang-orang saleh dan memberikan nazar kepadanya, tetapi juga menjalar kepada pemujaan benda-benda mati. Juga tidak sedikit dari kota dar’iah,tempat ia mulai melancarkan dawhnya senang mengunjungi sebuah gua yang terletak disana. Perbuatan tersebut dipandang olehnya sebagi suatu macam perbuatan syirik.
Tindakan kekerasan yang pertama-tama dilakukannya ialah memotong pohon kurma yang dianggap keramat. Kemudian setiap kali golongan wahabiyah memasuki suatu tempat atau kota mereka membongkar kuburan dan diratakan dengan tanah, bahkan masjid-masjidpun turut dibonhkar sehingga penulis-penulis Eropa menyebutkan mereka sebagai pembongkar tempat-tempat ibadah (huddamul ma’abid). Tindakan mereka tidak hanya seperti itu tetapi lebih jauh lagi, ketika mereka dapat menguasai Makkah, banyak banyak tempat-tempat sejarah yang dimusnahkan.
Akan tetapi gerakan wahabiyah yang bertulang punggungkan kekuatan raja Muhammad bin Saud, dipandang oleh penguasa (khalifah) Usmaniah yang menguasai negeri Arabia pada waktu itu, sebagiai perlawanan dan pemberontakan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu penguasa tersebut mengirim tentaranya ke negeri Arabia untuk menumpas gerakan tersebut, akan tetapi tidak berhasil, kemudian diserahkan penumpasannya kepada Muhammad Ali, gubernur  Turki, dan ternyata yang kuat dapat mengalahkan golongan wahabiyah serta dapat melumpuhkan kekuatannya. Dengan kemunduran Khilafat turki, maka gerakan tersebut menjadi kuat, sehingga menjadi aliran resmi negeri Saudi Arabia sampai sekarang ini.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Salaf adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang mengacu kepada sikap atau pendirian yang dimiliki para ulama generasi salaf itu. Kata salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘terdahulu’, yang maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad SAW, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in
ibn Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat.
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan di Ujainah, yaitu sebuah dusun di Najed, daerah Saudi Arabia sebelah Timur. Salah satu tempat belajarnya ialah kota Madinah, pada Sulaiman Al-kurdi dan Muhammad Al-hayyat As-sindi.[11] Ia banyak mengadakan perlawatna dan sebagian hidupnya dipergunakan untuk berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain sebagai penganjur aliran Ahmad bin Hambal
Akidah-akidah yang pokok dari aliran wahabiyah pada hakekatnya tidak berbada dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiah. Perbedaan yang ada hanya dalam cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu.



DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta:PT Raja Grafindo persada,1993
Ghazali, Adeng Muhtar, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, Bandung: CV PUSTAKA SETIA ,2003
Hanafi, A. M.A Penantar Theologi Islam Yogyakarta:Al Husna Zikra,1967
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung : CV Pustaka Setia, 2007
------------------------------------------, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001

Yusuf, Abdullah, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat. Bandung:Sinar Baru, 1993
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam: sejarah, pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta,1991


[1] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), 109
[2] Adeng Muhtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2003), 101
[3] Ibid. 101-102
[4] Ibid, h. 115

[5] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat. (Bandung:Sinar Baru, 1993), h. 58-60

[6] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Op. Cit. h. 115- 117
[8] A.Hanafi M.A Penantar Theologi Islam (Yogyakarta:Al Husna Zikra,1967), h. 149

[9] Yusran Asmuni,Ilmu Tauhid, (Jakarta:PT Raja Grafindo persada,1993), h. 147

[10] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: sejarah, pemikiran dan Gerakan, (Bulan Bintang, Jakarta,1991), h 24

[11] A.Hanafi M.A Penantar Theologi Islam (Yogyakarta:Al Husna Zikra,1967), h. 149

0 komentar

Posting Komentar