BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dalam dunia filsafat secara khusus, melahirkan banyak tokoh-tokoh filsafat muslim yang banyak bergelut dengan dunia filsafat, kegiatan ilmu pengetahuan mencakup penerjemahan buku-buku filsafat Yunani yang kemudian dikembangkan tokoh filosofis muslim. Dengan dasar tersebut dapat dipahami adanya keterikatan antara filsafat Yunani dan filsafat Islam dalam hubungan pemikiran demikian pula dengan filsafat modern yang ada.[1]
Misalnya filosof Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik terhadap pikirannya. Sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof Islam.[2]Kedatangan filosof Islam yang terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya dan berguru pada filosof Yunani. Bahkan kita hidup pada abad ke-20 ini, banyak berguru pada orang Yunani dan Romawi, akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles atau lainnya. Akan tetapi Filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran fikiran.
Para filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filosof-filosof lain. Sehingga lingkungan sangat berpengaruh terhadap pemikiran mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.
Demikian pula adanya hubungan dengan fase-fase pemikiran manusia dan tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam merupakan sumber dari pemikiran klasik. Perpaduan pikiran tersebut diaktualisasikan dalam system dan gambaran sendiri dan memberikannya dengan label Islam.
Keunggulan khusus filsafat Islam dalam masalah pembagian cabangnya adalah mencakup ilmu kedokteran, biologi, kimia, musik ataupun falak yang semuanya menjadi cabang filsafat Islam.
Para ulama Islam memikirkan suatu jalan filsafat ada yang lebih berani dan lebih pedas daripada pemikiran mereka yang dikenal dengan nama filosof Islam, dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu kalam dan tasauf banyak terdapat pikiran dan teori-teori yang tidak kalah teliti dari pada filosof-filosof Islam.
Oleh karena itu al-Razi merupakan filosof Muslim muncul pada abad ke-10 yang menggemparkan dunia pada masanya dengan falsafat lima kekalnya. Serta kritikannya yang mengatakan bahwa tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para nabi, karena mereka banyak melakukan kemudharatan. Setiap bangsa percaya hanya kepada para nabinya, dan menolak keras yang lain yang mengakibatkan terjadinya banyak peperangan keagamaan dan kebencian antar bangsa yang memeluk berbagai agama yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
Dengan berpedoman pada latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka pemakalah mengemukakan masalah sebagai bahan acuan pembahasan sebagai berikut:
- Bagaimana riwayat hidup al-Razi?
- Bagaimana karya al-Razi?
- Bagaimana Filsafat al-Razi?
- Bagaimana filsafat lima kekal al-Razi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al-Razi
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria bin Yahya al-Razi terkenal dengan nama al-Razi atau Rhazes, dilahirkan di kota Rayy dekat Taheran (Iran) pada tanggal 1 sya’ban 251 H/865 M, pada zaman kejayaaan Abbasiyah.[3]Pendidikannya dimulai dengan mempelajari ilmu falaq, mantiq, sastra Arab, kemudian ia menekuni ilmu filsafat dan kedokteran sehingga ia menjadi terkenal.[4]
Sebenarnya ayahnya berharap agar al-Razi mengikuti frofesinya sebagai pedagang. Oleh Karena itu ayahnya telah membekali diri al-Razi dengan ilmu-ilmu perdagangan, namun ternyata al-Razi lebih memilih bidang intelektual daripada pedagang. Akan tetapi ayahnya tidak pernah menghalangi bakat al-Razi menjadi seorang intelektual. Hal ini juga dapat dijadikan bukti bahwa ayahnya sangat Arif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
Lingkungan al-Razi atau tempat dia berdomisili yaitu Iran sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, sudah terkenal sebelumnya dengan sejarah peradaban manusia. Kota tersebut merupakan tempat pertemuan berbagai peradaban, terutama peradaban Yunani dan Persia. Jadi suasana lingkungan tersebut mendorong bakat al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.[5]
Pada masa mudanya ia menjadi tukang intan dan suka pada musik (kecapi) pada usia tiga puluh tahun ia sangat respek terhadap ilmu kimia, sehingga tidak mengherankan apabila kedua matanya buta akibat dari eksprimen yang dilakukannya. Ia sangat rajin belajar dan bekerja siang dan malam hari, ia belajar ilmu kedokteran dan juga belajar ilmu filsafat pada Ali Ibn Rabban al-Thabari yang lahir di Mery pada tahun 192 H/808 M dan meninggal 240 H/855 M. [6]Minat al-Razi untuk bergelut dalam dunia filsafat agama disebabkan oleh gurunya, yang ayahnya adalah seorang pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab suci, jadi dalam hal ini bukan hanya orang Islam mempelajari, mengkaji kitab suci Alquran akan tetapi juga orang-orang non muslim.
Dengan latar belakang itulah al-Razi di kota kelahirannya dikenal sebagai dokter, alkemis, dia tidak suka dialektika, ia hanya mengenal logika. Menurut pendapatnya jiwalah yang mengatur hubungan antara tubuh dan jiwa. Ia menyusun sebuah system pengobatan spiritual bagi jiwa yang tidak sehat[7]. Ia dipercayakan untuk memimpin rumah sakit di Rayy oleh Mansur bin Ishak bin Ahmad ibn Asadih. Ketika beliau menjadi gubernur. Al-Razi menulis suatu buku yang berjudul al-Tibb al Mansur, buku tersebut dipersembahkan kepada gubernur (Mansur bin Ishak). Al-Razi pergi ke Baghdad pada masa khalifah Muhtafi tahun (289 H/901-295H/908M). Ia juga diserahi untuk memimpin sebuah rumah sakit dan menjabat kepemimpinannya selama enam tahun. Setelah al-Muktafi meninggal pada tahun 295 H. Ia kembali ke Rayy [8]
Al-Razi dalam tugasnya sebagai dosen dan ilmu kedokteran tidak pernah seorang pun yang dapat menempati kedudukannya. Hal itu merupakan bukti daripada pengarahan dan nasehat-nasehat yang ditinggalkan bagi mahasiswa ilmu kedokteran. Selanjutnya al-Razi mewasiatkan kepada mahasiswanya yaitu wajiblah kalian mengetahui, memikirkan, mengamalkan apa yang telah disepakati oleh pada dokter dan telah dibuktikan oleh analogis serta telah dikuatkan oleh percobaan-percobaan. mahasiswa ilmu kedokteran harus selalu mengunjungi balai pengobatan dan mencurahkan perhatiannya kepada keadaan para pasien, dan gejala-gejala yang nampak pada mereka, serta membandingkan gejala-gejala itu dengan pengetahuan mereka dan mengunjungi para pasien itu dan harus dibimbing oleh seorang dokter ahli (spesialis).[9]
Sebagai orang yang terkenal pada dasarnya, ia mempunyai banyak murid dan belajar kepadanya. Metode penyampaian pemikirannya adalah bersistem pengembangan daya intelektual, apabila ada seorang murid yang bertanya maka pertanyaan itu tidak langsung dijawabnya melainkan diberikan kembali kepada murid-murid lainnya yang terbagi kepada beberapa kelompok. Apabila kelompok pertama tidak bisa memecahkanya maka pertanyaan itu dilemparkan kepada kelompok kedua, dan begitu seterusnya sehingga apabila tidak ada yang sanggup, maka al-Razi sendiri yang menjawabnya, diantara muridnya yang cerdas adalah Abu Bakar Ibn Qarin al-Razi yang kemudian menjadi seorang dokter. Sebagai ilmuwan dan dokter ia seorang yang bermurah hati, sayang kepada pasien-pasienya, dermawan, karena itu memberikan pengobatan secara gratis kepada mereka yang tidak mampu materi.[10]Jadi dalam hal ini pengobatan secara gratis sudah diterapkan oleh al-Razi yang sampai saat ini menjadi janji politik kandidat gubernur atau bupati.
Al-Razi jika tidak bersama muridnya atau pasiennya, ia selalu menggunakan waktu untuk menulis dan belajar. Kemungkinan itu salah satu indikasi dari kebutaan matanya. Mereka menolak diobati dengan mengatakan bahwa ia sudah terlalu banyak melihat dunia, dan telah banyak menikmatinya. Tapi itu merupakan anekdot daripada kenyataan sejarah. Ketika salah seorang muridnya datang dari Tabaristan untuk mengobatinya, ia menolak dan mengatakan bahwa pengobatan itu akan sia-sia belaka, karena sebentar lagi ia akan meninggal dunia. Suasana hatinya ketika dia menyongsong kematian dilukiskan dalam beberapa bait puisinya yaitu:
Sungguh aku tak tahu---dan kebinasaan
Telah meletakkan tangannya di atas kalbuku
Dan membisikkan bahwa saat itu pun sudah
Mendekat, kalau aku harus pergi
Aku tak tahu kemana aku kan mengembara
Atau di mana ruh, yang telah direnggut
Dari rumah daging tubuh tak berharga ini
Akan tinggal sesudah ini, kala aku mati.[11]
Beberapa hari kemudian, al-Razi meninggal pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 M. dia wafat di Baghdad dengan meninggalkan jasa yang banyak sekali dan sangat bermanfaat bagi orang-orang yang sesudahnya.[12]
Al-Razi banyak meninggalkan jasa terutama dalam bidang kedokteran, termasuk karangannya al-Hawi (ensiklopedia kedokteran) yang terdiri dari 20 jilid, yang banyak diterjemahkan dalam bahasa latin dan lainya, serta cacar dan campak dll, yang dapat digunakan oleh orang yang hidup sesudahnya. Jasa terhadap pasiennya yang sangat dermawan memberikan pengobatan gratis, serta pemikiran-pemikirannya yang sangat rasional.
B. Karya-karya al-Razi
Al-Razi termasuk orang yang aktif berkarya, buku-bukunya sangat banyak, bahkan dia sendiri mempersiapkan sebuah katalog yang kemudian diproduksi oleh Ibn al-Nadim. Sebagai seorang filosof al-Razi banyak mengarang buku fisika dibidang ilmu filsafat maupun dibidang ilmiah. Karya ilmiah dan filsafat al-Razi tampaknya sangat banyak, ia sendiri mengaku dalam sebuah karya autobiografis bahwa ia telah menyusun tidak kurang dari 200 karya tentang semua bidang pengetahuan fisika, dan metafisika, kecuali matematika. Karya medisnya yang paling besar adalah al-Hawi, tersusun lebih 20 jilid, yang lebih terkenal dengan sebutan al-jami’ yaitu ikhtisar ilmu kedokteran, yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada tahun 1279 dengan continens dan beredar luas di lingkungan ilmu kedokteran sampai abad keenam belas.[13]Disamping itu karangannya yang terkenal adalah Tentang cacar dan campak, diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan ditahun 1866 masih dicetak yang keempat puluh.
Disamping itu ada beberapa kumpulan karya logika, yang disusun oleh al-Razi seperti Commentary on Aristoteles, Metaphyscal View dan the Criterion of Reason bersama dengan sebuah risalah autobiografis yang berjudul al-sirah al-Falsafiyah (Jalan Filsafat).[14]
Sedangkan menurut Abu Abi Usaibah, buku al-Razi berjumlah 36 karya tetapi ada beberapa tidak jelas pengarangnya. Muhammad al-Najmadi dalam bukunya syarh Muhammad Ibn Zakaria yang diterbitkan pada tahun 1318 H. menyebutkan 250 judul bukunya. Adapun buku-buku diantaranya adalah
- Al-Tibb al-Ruhani
- Al-Shirat al-falsafiyah
- Amarat Iqbal al-Daulah
- Kitab al-Ladzdzah
- Kitab al-Ibn al-Ilahi
- Makalah fi mabadd al-Tabiah
- Al-Syukur ala Proclas.[15]
Penulis pahami bahwa al-Razi adalah termasuk orang yang luar biasa, bahwa dia mempunyai beberapa keahlian yaitu ahli kimia, fisika, filosof dan bahkan ia juga ahli dalam karya ilmiah.
Oleh karena itu disamping al-Razi punya keahlian yang luar biasa dan karya yang banyak, dia juga punya lawan. Adapun lawan-lawan al-Razi adalah
1. Abu al-Qasim al-Balkhi, pimpinan kaum Mu’tazilah di Baghdad tahun 319 H/931 M, yang hidup semasa dengan al-Razi ia banyak menulis penolakan terhadap buku-buku al-Razi terutam al-‘Ilm al-Ilahi yang berbeda al-Razi terutama tentang waktu.
2. Syuhaid Ibn al-Husain al-Balkhi, dia banyak perbedaan dengan al-Razi, salah satu perbedaanya adalah tentang teori kesenangan.
3. Abu Hatim al-Razi meninggal 322 H/933 M. ia menulis perbedaannya dalam buku a’lam al-Nubuwwah.
4. Ibn Tammar, dia menolak tulisan al-Razi al-Tibb Ruhani.
5. Ahmad ibn al-Thayyib al-Sarakshi meninggal 286 H/899 M. [16]
C. Filsafat al-Razi.
Al-Razi adalah seorang rasionalis murni.[17]Ia mempercayai akal di bidang kedokteran, studi klinis yang dilakukan telah menemukan metode yang kuat dengan berpijak kepada observasi dan eksprimen, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Faraj ba’d al-Syaiddah karya al-Tanukhi (Wafat 384H). jadi corak pemikiran al-Razi adalah rasional elektis artinya ia selalu mencari kebenaran dengan pangkal tolak kekuatan akal dan elektis artinya selektif. Akal termasuk untuk mengetahui adanya Tuhan.[18]
Pemikiran al-Razi tentang otoritas akal ini dapat kita lihat pada pernyataan-pernyataanya antara lain, Tuhan yang maha agung telah mengaruniakan akal pada kita agar kita bisa memperoleh manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Dengan akal kita dapat menciptakan dan menggunakan perahu (kapal) yang mengarungi lautan nan luas, menemukan teori-teori kedokteran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia untuk kelangsungan hidupnya. Menemukan hal-hal yang tersembunyi walaupun jauh sekalipun mengetahui gugus planet dan antariksa serta gerak dan rotasinya. Sampai akhirnya mengetahui dan meyakini sang adikodrati. Jika akal sedemikian mulia dan penting kita tidak boleh meremehkannya dan menurunkan derajatnya. Kita tidak boleh menentukan karena ia adalah penentu atau mengendalikannya karena ia pengendali, atau memerintah karena ia adalah pemerintah.[19]
Tuhan memberi kepada manusia akal sebagai anugrah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa bermanfaat bagi kita dan dapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu, kita mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi,. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Akal itu menghakimi segala-galanya dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain, kelakuan kita harus ditentukan oleh akal semata.[20]
Oleh karena itu al-Razi sangat mengandalkan akalnya, ia tetap bertuhan tetapi dia tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian[21]. Dengan dasar pemikiran atau alas an berikut:
a. Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat yang berguna dan yang tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya.kemudian mengapa masih dibutuhkan nabi.
b. Setiap manusia dilahirkan dengan kecerdasan yang sama, maka tak ada keistimewaan khusus buat seseorang untuk membimbing manusia, baik keistimewaan rasional maupun keistimewaan spiritual. Rendah dan tingginya suatu intelegensi manusia bukan karena pembawaan alamiah, melainkan karena pengembangan dan pendidikannya.
c. Para nabi saling bertentangan, apabila mereka berbicara atas nama Tuhan mengapa implementasi mereka terhadap pertentangan. Setelah menolak kenabian al-Razi mengkritik agama secara umum. Ia menjelaskan kontradiksi kaum Yahudi Kristen ataupun Majusi.
Al-Razi menolak mujizat al-Quran baik karena gayanya maupun isinya dan menegaskan adanya kemungkinan kitab-kitab yang lebih baik dan gaya yang lebih baik, disamping itu dia mengatakan bahwa mukjizat kenabian adalah mitos keagamaan atau rayuan dan keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling kontradiksi karena satu sama lain saling menghancurkan, dan tidak sesuai dengan statemen yang mengatakan bahwa ada realitas permanent. Setiap Nabi membatalkan risalah pendahulunya tetapi menyerukan apa bahwa apa dibawahnya adalah kebenaran bahkan tidak ada kebenaran lain dan menusia bingung tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang dianut.[22] Al-Razi lebih suka terhadap buku-buku ilmiah dari pada kitab suci, sebab buku-buku ilmiah lebih berguna bagi kehidupan manusia daripada kitab suci. Buku kedokteran, astronomi, geometri, logika lebih berguna daripada injil dan Alquran. Penulis ilmiah telah menemukan kenyataan dan kebenaran melalui kecerdasan mereka sendiri tanpa bantuan para nabi.
D. Falsafat Lima Kekal
Falsafat al-Razi terkenal dengan doktrin lima yang kekal, yaitu Tuhan, Jiwa Universil, Materi pertama, Ruang Absolut dan Zaman Absolut.[23]Dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif, Yaitu Tuhan dan Roh, satu tidak hidup dan pasif yaitu materi, sedangkan dua yang lainnya tidak hidup dan tidak aktif ruang dan waktu.[24]
Berikut ini uraian mengenai lima kekekalan.
1. Tuhan
Kebijakan Tuhan itu sempurna, ketidak sengajaan tidak disifatkan kepadanya. Kehidupan berasal dari-Nya, sebagaimana sinar datang dari matahari. Ia mempunyai kepandaian sempurna dan murni, kehidupan mengalir dari ruh. Tuhan menciptakan segala sesuatu tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan sesuatupun dapat menolak kehendak-Nya. Kalau Allah menghendaki sesuatu maka jadilah sebagaimana dalam QS Yasin (36): 82. “Apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, jadilah maka terjadilah ia.”[25]
Tuhan mengetahui sepenuhnya segala sesuatu dan mengetahui bahwa ruh cenderung kepada materi dan membutuhkan kesenangan bendawi, kemudian ruh mengikatkan dirinya pada materi. Tuhan dengan kebijakannya mengatur ikatan tersebut supaya dapat tercapai jalan paling sempurna. Setelah itu Tuhan memberikan kepandaian dan kemampuan pengamatan pada ruh.[26]
Inilah yang menyebabkan kenapa ruh mengingat dunia nyata, dan mengetahui bahwa selama ia berada di dunia benda, ia takkan pernah bebas dari rasa sakit, jika ruh mengetahui hal itu dan juga mengetahui bahwa di dunia ini nyata ia akan mempunyai kebahagiaan tanpa rasa sakit, maka ia menghasratkan dunia itu dan begitu ia terpisah dari materi maka ia akan tinggal disana untuk selamanya dengan penuh bahagia.
Dengan demikian seluruh sikap skiptis pada kekekalan dunia dan maujud kejahatan dapat dihilangkan. Jika mengalami adanya kebijakan sang pencipta, maka kita harus mengakui pula bahwa dunia ini diciptakan. Apabila orang bertanya kenapa dunia ini diciptakan pada saat ini atau itu, maka kita bisa jawab bahwa ruh mengikatkan dirinya pada materi pada saat itu. Tuhan mengetahui bahwa pengikatan ini merupakan sebab kejahatan tetapi setelah hal itu terjadilah Tuhan mengarahkan ke jalan yang sebaik mungkin, namun demikian kejahatan tetap ada, sumber dari kejahatan tetap ada, sumber dari kejahatan serta susunan ruh dan materi tidak dapat dimurnikan sama sekali sehingga keadaanya tetap terpengaruh oleh materi.[27]
Menurut al-Razi Tuhan itu maha bijaksana, ia tidak mengenal istilah lupa pengetahuan. Tuhan itu tidak dibatasi oleh pengalaman, Tuhan tahu itu sifat jiwa yang cenderung bersatu dengan benda dan mencari kelezatan material. Setelah jiwa bergabung dengan tubuh Tuhan kemudian mengatur hubungan tersebut dengan harmonis. Yaitu dengan jalan melimpahkan akal ke dalam jiwa. Lantaran memiliki akal jiwa menjadi sadar bahwa selama masih bergandengan dengan tubuh ia masih menderita. dengan akal, jiwa tahu tempat asalnya. Akal pulalah yang menginsafkan jiwa bahwa kebahagiaan tertinggi hanya akan diperoleh setelah jiwa mampu melepaskan diri dari dukungan tubuh.[28]
2. Jiwa Universal
Menurut al-Razi, Tuhan tidak menciptakn dunia lewat desakan apapun, tetapi ia memutuskan untuk menciptakannnya setelah pada mulanya tidak berkehendak menciptakannya. Siapakah yang membuatnya untuk melakukan demikian itu mestinya ada keabadian lain yang membuat ia memutuskan.
Keabadian lain adalah ruh yang hidup tetapi ia bodoh. Materi juga kekal. Karena kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat bentuk dirinya untuk memperoleh kebahagiaan materi. Tetapi materi menolak, sehingga Tuhan campur tangan membantu ruh. Dengan bantuan inilah Tuhan membuat dunia dan menciptakan di dalamnya bentuk-bentuk yang kuat yang di dalamnya ruh dapat memperoleh kebahagiaan jasmani. Kemudian Tuhan menciptakan manusia guna menyadarkan ruh dan menunjukkan kepadanya bahwa dunia ini bukanlah dunia yang sebenarnya dalam arti hakiki.
Tetapi manusia tidak akan mencapai dunia hakiki ini, kecuali dengan filsafat. Mereka yang mempelajari filsafat dan mengetahui dunia hakiki dan memperoleh pengetahuan akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh tetap akan berada di dunia ini sampai mereka disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya kemudian diarahkan kepada dunia sejati.[29]
3. Materi.
Materi adalah kekal, karena creatio ex nihilo (Penciptaan dari tiada) merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Kalau materi kekal, ruang mesti kekal, karena materi tidak boleh, tidak mesti bertempat dalam ruang. Karena materi mengalami perubahan dan perubahan menandakan zaman, maka zaman mesti kekal pula kalau materi kekal.[30]
Kemutlakan materi pertama terdiri atas atom-atom. Setiap atom mempunyai volume, kalau tidak maka dengan pengumpulan atom-atom itu, tidak dapat dibentuk,
bila dunia dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom. Dengan demikian materi berasal dari kekekalan, karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan.
Yang lebih padat menjadi unsur bumi, apa yang lebih renggang daripada unsur bumi menjadi unsur air, apa lagi yang lebih renggang lagi menjadi unsur udara.
Al-Razi memberikan bukti untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi. Pertama, penciptaan adalah bukti. Dengan demikian mesti ada penciptanya, apa yang diciptakan itu ialah materi yang terbentuk. Kita membuktikan bahwa pencipta lebih dahulu daripada yang dicipta dan bukan yang diciptakan itu terlebih dahulu ada.
Bukti kedua, berlandaskan ketidak mungkinan penciptaan dari ketiadaan. yang membuat sesuatu dari ketiadaan lebih muda daripada menyusunnya. Manusia diciptakan oleh Tuhan dalam sekejap lebih mudah daripada menyusun mereka dalam empat puluh tahun. Inilah peremis pertama. Pencipta yang tidak bijak tidak lebih menghendaki melaksanakan apa yang lebih jauh dari tujuannya daripada yang lebih dekat, kecuali apabila ia tidak mampu melakukan apa yang lebih muda dan lebih dekat. Inilah premis kedua. Maka dapat disimpulkan bahwa premis ini adalah bahwa keberadaan segala sesuatu pasti disebabkan oleh pencipta dunia lewat penciptaan dan bukan lewat penyusunan. Segala sesuatu di dunia ini dihasilkan oleh susunan dan bukan oleh penciptaan, bila demikian maka ia tidak mampu menciptakan dari ketiadaan, dan dunia ini mewujud melalui susunan sesuatu yang asalnya adalah materi.
Al-Razi menambahkan bahwa induksi alam semesta membuktikan hal ini. Bila tiada Sesuatu mewujud di dunia ini kecuali lain, dan sesuatu yang lain ini adalah materi. Karenanya materi itu kekal.
4. Ruang
Ruang adalah tempat keberadaan materi, al-Razi mengatakan bahwa materi itu kekal dan karena materi menempati ruang, maka ruang ada yang kekal,[31]
Menurut al-Razi ruang itu terbagi atas dua macam, ruang universal mutlak, dan ruang tertentu atau relative. Ruang universal adalah tidak terbatas dan tidak bergantung kepada dunia dan segala yang ada di dalamnya. Sedang ruang relative adalah sebaliknya.
Suatu kehampaan ada di dalam ruang dan karenanya ia berada di dalam materi sebagai bukti dari ketidak terbatasan ruang. Al-Razi mengatakan bahwa wujud yang memerlukan ruang tidak dapat maujud tanpa adanya ruang meski ruang dapat maujud tanpa adanya wujud tersebut. Ruang tidak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang membutuhkan ruang. Bila tidak ada ruang, maka ia adalah wujud dan terbatas. Jika bukan wujud berarti ia ruang. Karenanya ruang itu tak terbatas, sedang setiap wujud berada di dalam ruang maka bagimanapun ruang mesti terbatas. Dan yang terbatas itu adalah kekal, sehingga dengan demikian ruang pun kekal.
5. Waktu
Waktu itu kekal, ia subtansi yang mengalir. Sebagaimana ruang, waktu atau zaman juga dibedakan al-Razi antara waktu mutlak (tak terbatas) dan waktu mashur (terbatas). Waktu mutlak adalah keberlangsungan ia kekal dan begerak. Sedang waktu terbatas adalah gerak lingkungan dan bintang gemintang. Bila kita berfikir tentang gerak keberlangsungan, maka kita dapat membayangkan waktu mutlak, dan itu kekal. Jika kita bayangkan bola bumi, berarti itulah waktu terbatas.[32]
Al-Razi sebenarnya filosof muslim yang hidup pada masa pendewaan akal secara berlebihan. Hal ini sebagaimana Mu’tazilah yang merupakan aliran theologi dalam Islam. Apabila ia seorang muslim, maka ia muslim yang tidak sempurna (tidak kaffah), karena tidak mempercayai adanya wahyu dan kenabian. Pada masanya ia dipandang sebagai pemikir ulung yang tegar dan liberal di dalam Islam. Bahkan dalam sejarah dialah satu-satunya pemikir rasional murni sangat mempercayai kekuatan akal bebas dari segala prasangka, dan terlalu berani dalam mengemukakan gagasan filosufinya.
Ia seorang bertuhan dan, mengaku Tuhan Maha bijak, tetapi ia mengakui wahyu-Nya/ajarn-Nya. Sebaliknya mempercayai kemajuan dan pemikiran manusia, kita dapat mengetahui keberaniannya dalam penggunaan akal sebagai ukuran untuk menilai baik dan buruk, benar dan jahat atau berguna atau tidak berguna.
Sehubungan dengan penolakan terhadap wahyu dan kenabian serta tidak mengetahui adanya semua agama, maka dipandang dari theologi Islam adalah belum muslim, karena keimanan yang dipeluknya tidak konsokuen dalam pengertian tidak utuh.
BAB III
KESIMPULAN
1. Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria bin Yahya Al-Razi adalah merupakan figur filosof muslim yang kelahiran Rayy (Iran) 1 sya’ban 251 H/865 M yang memiliki eksistensi controversial di tengah-tengah pemikiran muslim lainya, ia merupakan ilmuwan yang sangat berani dalam mengemukakan teori, begitupula doktrin falsafatnya tentang lima yang kekal yaitu Tuhan, Jiwa Universal, Materi pertama, Ruang Absolut, dan Waktu Absolut. Disamping itu ia juga dikenal sebagai dokter sehingga ia pernah dipercayakan untuk memimpin rumah sakit Rayy.
2. Al-Razi orang yang aktif berkarya, buku-buknya sangat banyak, bahkan dia mempersiapkan katalog yang diproduksi oleh Ibn al-Nadhim. Adapun buku-buku yang ditulisnya mencakup ilmu kedokteran, ilmu fisika, logika matematika, astronomi, filsafat dan lain-lain.
3. Pemikirannya sangat bersifat rasional dibandingkan denga filosof muslim lainnya, meskipun demikian kontribusi pemikirannya banyak memberikan aspirasi bagi pemikiran filsafat Islam.
4. Al-Razi Bertuhan tapi tidak mempercayai wahyu dan kenabian dengan dasar sebagai berikut:
- Manusia sudah diberi akal, mampu membedakan yang baik dan buruk, yang hak dan bukan hak, dengan kemampuan akal, mempunyai potensi mengetahui Tuhan dan mengatur jalan hidup sebaiknya.
- Setiap manusia dilahirkan dengan kecerdasan yang sama, maka tidak ada keistimewaan khusus buat seseorang untuk membimbing manusia.
- Para Nabi saling bertentangan padahal mereka berbicara atas nama satu Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar Dasoeki, Thawil. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Cet. I; Semarang: Toha Putra, 1993.
Asy’arie Musa dkk. Filsafat Islam. Cet. I; Yogyakarta: LESFI, 1992.
Arberry. The Spiritual Physik of Rhazez, diterjemhkan Nasrullah dengan Judul Pengobatan Rohani. Cet. I; Bandung: Mizan, 1994.
‘Aridhah, Kamil Muhammad, Abu Bakar al-Razi al-Filosof al-Thibb. Cet. I; Beirut: Darul Kitab al-Ilmiyah, 1993 M/ 1413.
Depag RI. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jilid. III; Jakarta: 1992.
Depag. Alquran dan Terjemahnya. t.cet. Semarang: Toha Putra, 1989.
Madkour Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tathbigun, Juz I. Cairo: Da rul Maarif.
Muhammad Amien, Miska. Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam. Cet. I; Jakarta: UI Press 1983.
Mustofa. Filsafat Islam. Cet. III; Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Mulyadhi Kartanegara. Filsafat Islam. Cet. II; Bandung: Mizan, 2002
Madkour,Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi dengan judul Filsafat Islam. Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Fakhry, Majid. Filsafat Islam. Cet.II Bandung: Mizan, 2002.
Ibn Zakariyah al-Razi, Abu Bakar Muhammad Rasâilu Falsafiyah (Cet. V; Beirut, Dar al-Afaq al- Jadidah, 1982 M/1402 H), h. 1
Ja’far, Muhammadiyah. Tokoh-tokoh Cendikiawan Muslim Sebagai Perintis Ilmu Pengetahuan Modern. Cet. I; Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
Nasution, Harun. Falsafat Mistisisme dalam Cet; IX; Jakarta: PT. Bulan Bintang 1995.
Qadir, C.A. Philosophy and Science in the Islamic Word. Diterjemahkan Hasan Basri dengan Judul Filsafat dan Ilmu pengetahuan dalam Islam Cet. II; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991
Sudarsono. Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik. Cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003
Syarif, M.M. Para filosof Muslim. Cet. VIII; Bandung: Mizan, 1996.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 200
0 komentar
Posting Komentar