Selasa, 06 September 2016

BELAJAR TUNTAS


I.       PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
            Kegiatan belajar mengajar merupakan sebuah keniscayaan pada tiap-tiap negara lebih-labih lagi lembanga-lembaga sosial dan pendidikan yang bergerak di wilayah pendidikan yang akan mencapai kemajuan lebih signifikan dari generasi sebelumnya. Orentasi daripada belajar mengajar adalah bagaimana meningkatkan sumber daya manusia (SDM) di negara tersebut. Begitupun pada saat kita membincang, persoalan proses belajar mengajar harus mempunyai tujuan dan target yang jelas dalam proses pembelajaran yang disampaikan pendidik kepada peserta didik agar semua desain pembelajaran dapat teruji, terukur kesuksesan, kegagalan, dan kendala-kendala yang dihadapi.
 
            Dalam metode pembelajaran, berabagai macam pendekatan dan metode yang dipergunakan masing-masing di antaranya mempunyai kelebihan dan kekurangan di dalam menerapkan metode tersebut. Jadi di antara metode dan pendekatan dalam proses belajar mengajar harus saling mengisi antara satu dengan yang lain karena semuanya itu mempunyai tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas peserta didik di dalam mencapai tujuan pembelajaran
            Belajar tuntas “Mastery Learning” merupakan salah satu alternatif yang paling efektif di dalam mencapai tujuan pembelajaran di dalam proses belajar mengajar. Karena menitikberatkan pada pengawasan penuh dan ini muncul atas reaksi (antitesa) dari pada prinsip kurva normal yang mengindisikan bahwa kemampuan dan bakat peserta didik tidak sama maka wajar kalau ada peserta yang mempunyai penguasaan terhadap materi ajar lebih cepat, ada yang sedang,  dan ada yang lambat. Dalam prinsip belajar tuntas “Mastery Learning” penguasaaan penuh pada semua peserta didik sangat ditekankan dan dipriyoritaskan. Intinya bagaimana meluangkan waktu yang secukupnya bagi peserta didik agar supaya bisa menguasai materi yang disajikan.          
B.   Rumusan masalah
1.    Apa pengertian belajar tuntas (mastery learning)
2.    Bagaimana faktor-faktor pendukung belajar tuntas (mastery learning)
3.    Bagaimana usaha mencapai penguasaan penuh dalam belajar tuntas (Mastery learning)

II.    PEMBAHASAN
A.   Pengertian mastery learning (belajar tuntas)
      Istilah belajar[1]tuntas diterjemahkan dari “Mastery Learning” yang digunakan untuk menunjukkan suatu konsep dan proses belajar yang menitikberatkan pada “pengawasan penuh”.[2]Konsep ini muncul sebagai reaksi terhadap konsep belajar yang berdasarkan prinsip ”kurva normal”. Pada dasarnya prinsip kurva normal beranggapan bahwa setiap individu anak berbeda karena ia akan menunjukkan penguasaan yang bervariasi sehingga secara keseluruhan penguasaan masing-masing akan tersebar mulai dari yang paling jelek, rata-rata, dan paling bagus. Perhatikan gambar di bawah ini.










 









Gambar 1: Kurva Normal

            Menurut prinsip kurva normal dalam setiap kelompok anak akan ada selalu tiga kelompok besar tersebut di atas. Artinya usaha  apapun yang dilakukan oleh guru, hasil belajar anak tetap akan berbeda. Atau, penguasaan anak terhadap sebuah materi atau bahan belajar akan bervariasi atau  terkelompokkan ke dalam ketiga kategori itu. Kebanyakan dari mereka akan berbeda sekitar rata-rata, dan sebagian kecil ada pada kelompok rendah atau tinggi. Seperti kurva normal ini diterima sebgai sesuatu yang alami.
            Para pakar belajar tuntas seperti Block melihat, memang bentuk anak itu pada dasarnya berbeda, tetapi setiap orang dapat mencapaii taraf penguasaan penuh. Ia katakan bahwa “any one can learn excellently” (setiap orang dapat mencapai taraf terbaik). Yang membedakan individu satu dari yang lain dalam belajar adalah waktu. Artinya, ada orang yang dapat menguasai sesuatu dengan penuh dalam waktu yang singkat dan ada dalam waktu yang lama. Pada akahirnya individu akan mencapai penguasaan penuh. Dengan demikian gambaran dari mereka bukan akan tersebar dalam bentuk kurva normal, tetapi dalam bentuk kurva yang tidak normal miring ke titik positif seperti dapat digambarkan sebagai berikut :



 









Gambar 2: Kurva Belajar Tuntas
            Ide tentang belajar tuntas (Mastery Learning) ini cukup banyak pendukunnya antara lain selain Block (1980) ialah Marison (1926), Skinner (1945), Carol (1963) Brunner (1966), dan Glaser (1968). Di Indonesia konsep ini pernah diterapkan melalui Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) BP3K (1973-1984), dengan menggunakan pendekatan pengajaran dan dengan menggunakan pendekatan modul (Modular Instruction). Sayang model ini tidak bisa kita jumpai lagi di PPSP yang sudah kembali menjadi sekolah biasa. Pada tingkat perguruan tinggi model ini dapat disimak dalam Sistem Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka yang juga menggunakan salah satu media/sumber belajarnya. Namun demikian tidak sepenuhnya menerapkan prinsip belajar tuntas.[3]                                 
B.   Prinsip belajar tuntas (Mastery Learning)
                  Seperti dibahas oleh Nasution (1982) ada lima faktor yang    mempengaruhi penguasaan anak. 
1.    Bakat untuk mempelajari sesuatu
            Bakat, misalnya intelegensi, mempengaruhi prestasi belajar. Korelasi antara bakat, misalnya untuk matematika dan prestasi untuk bidang itu setinggi 70. hasil akan tampak pada bila kepada murid dalam suatu kelas diberikan metode yang sama dan waktu belajar yang sama. Atas kenyataan itu timbul kepercayaan pada guru bahwa matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya. Hanya dapat dikuasai oleh sebagian dari murid-murid saja, yaitu mempunyai bakat khusus untuk mata pelajaran yang bersangkutan itu saja. Timbul anggapan antara bakat dan prestasi terdapat hubungan kausal. Bakat tinggi menyebabkan prestasi tinggi, sedang prestasi yang rendah dicari sebabnya pada bakat yang rendah. Pendirian semacam ini membebaskan guru dari tanggungjawab karena mempunyai asumsi dasar bawah bakat dan kecerdasan di dalam menguasai suatu materi ajar diturunkan dari nenek moyang.
            John Carrol mengemukakan pendirian yang radikal. Ia mengakui adanya perbedaan bakat, tetapi ia memandang bakat sebagai perbedaan waktu yang diperlukan untuk menguasai sesuatu. Jadi perbedaan bakat tidak menentukan tingkat penguasaan atau jenis bahan yang dipelajari. Jadi setiap orang bisa mempelajari bidang studi apa pun hingga batas yang tinggal asal diberi waktu yang cukup di samping syarat-syarat yang lain.
            Namun demikian soal bakat tidak dapat diabaikan sepenuhnya. Ada bakat khusus untuk mata pelajaran tertentu, misalnya matematika. Diduga bahwa 1 Persen sampai 5 Persen dari anak-anak mempunyai bakat serupa itu. Sebaliknya ada pula anak-anak yang nyata-nyata dilahirkan dengan suatu kekurangan, misalnya buta warna atau kurang peka terhadap nada musik. Apakah “tuli nada” ini memang keturunan atau akibat lingkungan tidak jelas. Jadi dapat dianggap bahwa 1 Persen sampai 5 Persen dari anak-anak tidak berbakat untuk sesuatu. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa 95 Persen dari anak-anak, termasuk yang berbakat khusus, dapat dibimbing untuk penguasaan penuh atas bahan pembelajaran terentu.
            Tidak ada bukti bahwa apa yang dianggap bakat itu bersifat tetap. Masih ada kemungkinan bahwa bakat itu mengalami perubahan atas pengaruh lingkungan. Akan tetapi, yang diharapkan adalah memperbaiki kondisi belajar sehingga dapat mengurangi waktu belajar untuk mencapai penguasaan penuh atas bahan belajar tertentu.[4]                                  
2.    Mutu pengajaran
            Sejak pestalozzi pengajaran klasikal  menjadi populer sebagai pengganti pengajaran individual oleh seorang tutor. Pengajaran klasikal merupakan keharusan dalam menghadapi jumlah murid yang membanjiri sekolah, hal tersebut bagian dari metode dan strategi agar dalam proses belajar mengajar bisa berjalan lebih efektif dan tetap dapat mencapai target materi ajar. Dengan sendrinya dicari usaha untuk memperbaiki pengajaran klasikal itu. Kurikulum dijadikan uniform bagi seluruh negara, ujian akhir dan tes masuk sedapat mungkin disamakan untuk semua jenis sekolah. Buku pelajaran yang diterbitkan oleh pemerintah pusat sama bagi semua dan bila diizinkan buku-buku lain, maka dasarnya sama, yaitu kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah. Selain itu sering pula buku pelajaran harus disahkan dulu oleh kementeriaan pendidikan sebelum boleh digunakan di sekolah. Juga dicari metode penyampaian klasikal yang paling efektif, jadi metode mengajar atau proses mengajar-belajar yang paling baik bagi kelas atau kelompok. Guru yang dipersiapkan di lembaga pendidikan guru adalah guru yang baik bagi kelas. Jadi yang menjadi pusat perhatian adalah selalu kelompok murid atau kelas sebagai keseluruhan.
            Pengajaran klasikal tak dapat tiada menimbulkan kerugian bagi kepentingan anak sebagai individu dalam belajar. Yang diperhatikan adalah kelas sebagai keseluruhan. Dalam satu jam pelajaran selama sekitar 40-45 menit sukarlah bagi guru untuk memberi waktu bagi setiap anak dalam kelas yang terdiri atas lebih dari 40 murid. Guru mencoba menyesuaikan pengajarannya dengan kemanpuan anak rata-rata, yaitu kepada anak yang sedang. Ia tahu bahwa ia terpaksa menghambat kemajuan anak-anak yang cepat serta mengabaikan anak-anak yang lambat yang kian lama kian lama ketinggalan.
            Pada dasarnya anak-anak tidak belajar secara kelompok, akan tetapi secara individual, menurut cara-caranya masing-masing sekalipun ia berada dalam keompok. Caranya lain dari yang lain untuk menguasai bahan tertentu. Itu sebabnya setiap anak memerlukan bantuan individual. Tidak sebuah metode yang sesuai bagi semua anak. Tiap anak memerlukan metode tersendiri yang sesuai baginya. Maka kalau ditanya guru bagaimanakah yang baik, maka jawabannya guru yang bisa membinbing setiap anak secara individual sehingga ia menguasai pelajaran sepenuhnya. Untuk itu ia harus berusaha mencari langkah-langkah, metode pengajar, alat pengajar, sumber pelajaran yang khusus bagi setiap anak, hingga mana, dalam hal mana dalam perbedaan individual harus disesuaikan dengan metode pengajaran atau kegaitan balajar yang bagaimana yang perlu diteliti. Ada murid yang memerlukan contoh atau alat yang konkrit agar dapat memahami sesuatu. Ada murid yang lebih suka belajar sendiri ada pula yang banyak memerlukan bantuan guru atau dari teman. Ada murid yang memerlukan ulangan dan penjelasan yang banyak agar sesuai bahan, ada pula yang capat menangkap inti persoalan.[5]             
3.    Kesanggupan memahami pengajaran
            Kalau murid tidak dapat memahami apa yang dikatakan atau yang disampaikan oleh guru, atau guru tidak dapat berkomunikasi dengan murid, maka besar kemungkinan murid tidak dapat menguasai mata pelajaran yang diajarkan oleh guru itu. Kemampuan murid untuk menguasai suatu bidang studi banyak bergantung kepada kemampuannya untuk memahami ucapan guru. Sebaliknya guru yang tidak dapat menyatakan buah pikirannya dengan jelas sehingga ia dipahami oleh murid, juga tidak dapat mnecapai penguasaan penuh oleh murid atau mata pelajaran yang disampaikannya.
            Agar pelajaran dapat dipahami, guru sendiri harus fasih berbahasa dan menyusaikan bahasanya dengan kemampuan murid-murid sehingga murid-murid dapat memahami bahasa yang disampaikannya dan harus sesuai dengan standar Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Sayangnya ialah guru-guru pada umumnya terkecuali guru bahasa Indonesia, meremehkan bahasa dan kurang menyadari bahasa sebagai alat komunikasi dan mengekspresikan ide dan gagasan antara murid dan guru. Untuk memperluas komunikasi dapat dijalankan sebagai berikut:
v  Belajar kelompok atau saling membantu dalam pelajaran, murid lebih sering paham apa yang disampaikan oleh temannya dari pada oleh guru.
v  Bantuan tutor,[6]yaitu orang yang dapat membantu murid secara individual. Sebaiknya orang yang diminta menjadi tutor buka gurunya sendiri sehingga ia dapat bimbingan dari guru lain.
v  Buku pelajaran, tak semua sama baiknya, hendaknya ada beberapa buku yang berlainan terhadap bidang studi yang sama. Bahan yang kurang jelas dalam buku yang satu mungkin mudah dipahami dalam buku yang lain.
v  Buku kerja, di samping buku pelajaran ada buku kerja untuk membantu murid menangkap dan mengolah buah pikiran pokok dari buku pelajaran
v  Alat audio visual. Alat audio visual  dapat membantu anak-anak dapat membantu anak-anak belajar dengan menyajikan dalam bentuk yang  konkrit. Film, film strip, model-model dan lain-lain mempermudah pengertian tentang konsep dan proses tertentu.
            Apa yang dikemukakan di atas  merupakan usaha untuk mempertinggi mutuh mengajar agar murid-murid dapat memahami apa yang diajarkan. Tanpa komunikasi yang baik antara murid dan guru proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan efektif.             
4.    Ketekunan
            Ketekunan itu nyata dari jumlah waktu yang diberikan oleh murid untuk belajar mempelajari sesuatu memerlukan jumlah waktu tertentu. Jika anak memberikan waktu yang kurang  dari pada yang diperlukannya untuk mempelajarinya, maka ia tidak akan meguasai bahan sepenuhnya. Dengan waktu belajar yang dimaksud jumlah waktu yang digunakannya dalam kegiatan belajar, yaitu mempelajari sesuatu secara aktif.
            Ketekunan belajar ini tampaknya bertalian dengan sikap dan minat terhadap pelajaran. Bila suatau pelajaran, karena suatu hal, tidak menarik minatnya, maka ia segera menyampingkannya jika menjumpai kesulitan. Sebaiknya dapat membuat berjam-jam proyek elektronik seperti membuat radio, berlaith main gitar atau menggambar. Jika suatu tugas menarik karena misalnya memberi hasil menggembirakan, ia lebih cemderung untuk memberikan waktu untuk tugas itu.
            Ada anggapan yang keliru bahwa suatu pelajaran baru dianggap berharga apabila pelajaran itu sulit. Makin sulit pelajaran itu makin, makin banyak kemungkinan kegagalan, makin tinggi gengsi mata pelajaran dan gengsi guru yang mengajarkannya. Tugas pelajaran tak perlu sulit, apalagi dipersulit. Dengan metode pengajaran yang bermutu, bahan yang sulitpun dapat disajikan dalam bentuk yang mudah dapat dipahami dan dicernakan oleh murid termasuk murid yang tidak terhitung pandai. Bahan pelajaran dapat dianalisis menjadi langkah-langkah tertentu yang dapat dilalui oleh setiap murid dengan hasil baik. Keberhasilan dalam melakukan tugas menambah semangat belajar dan dengan sendirinya ketekunan belajar. Makin sering anak mendapat kepeuasan atas kemampuannya menguasai bahan pelajaran, makin besar pula ketekunannya. 
5.    Waktu yang tersedia
            Dalam sistem pendidikan kita kurikulum dibagai dalam bahan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, misalnya dalam waktu satu semester atau satu tahun. Guru dapat menguraikanya dalam bentuk tugas mingguan dan bulanan. Maksudnya adalah agar bahan yang dikuasai oleh semua murid dalam jangka waktu yang sama. Dapat dipahami bahwa waktu yang sama untuk bahan yang tidak akan sesuai bagi semua murid berhubungan dengan perbedaan individual. Bagi murid yang pandai waktu itu mungkin telalu lama, sedangkan untuk murid yang tak begitu pandai waktu itu mungkin tak begitu cukup
            Pendirian mereka yang menganut “Mastery learning”  ialah bahwa faktor waktu sangat esensial untuk menguasai bahan pelajaran tertentu sepenuhnya. Dengan mengizinkan waktu secukupnya setiap murid dapat menguasia bahan pelajaran. Jika waktunya sama bagi setiap murid, maka tingkat penguasaan ditentukan bakat setiap murid. Anak yang berbakat lebih cepat menangkap isi pelajaran. Anak yang tidak begitu tinggi bakatnya akan juga akan mampu menguasainya. Asalkan kepadanya diberi waktu yang lebih banyak. Perlu kiranya diselidiki hingga manakah dapat dipertinggi efesensi balajar anak.            
            Diakui bahwa bakat, antara lain intelegensi berpengaruh terhadap prestasi belajar. Namun John Carol berpendapat bahwa memang benar ada perbedaan bakat antaranak namun tidak menentukan tingkat penguasaan anak. Yang menentukan adalah waktu yang cukup setiap anak dapat menguasai penuh bahan yang dipelejarinya. Mutu pengajaran di lain pihak merujuk pada kesesuain dan ketepatan mede belajar mengajar yang dipergunkan sehingga dapat memberi kemudahan kepada anak untuk menguasai bahan yang diajarkan berkenaan denngan dengan kemampuan anak untuk dapat menangkap penegertian dan makana yang disjikan oleh guru atau yang dituangkan dalam bahan ajar. Ketekunan merujuk pada kesediaan dan kemampuan untuk menyediakan waktu dalam mempelajari suatu bahan. Sedangkan waktu yang tersedia untuk belajar berkenaan dengan waktu yang dijadwalkan untuk mempelajari sesuatu dan diperlukan oleh seseorang untuk mengerjakan tugas-tugas sehingga ia memperoleh pengalaman belajar yang cukup.
            Kelima faktor tersebut seyogiyanya diperhatikan dalam merancang dan mengelolah pelajaran pada konsep belajar tuntas “Mastery learning”.
C.   Usaha mencapai penguasaan penuh dalam  belajar tuntas (Mastery Learning)
                  Bermacam-macam usaha yang dapat dijalankan yang pada pokoknya berkisar pada usaha untuk memberi bantuan individual menurut kebutuhan dan perbedaan masing-masing. Dalam usaha itu harus memperhatikan kelima faktor yang telah dikemukakan sebelumnya yakni 1. bakat anak, 2. mutu pengajaran, 3. kemampuan memahami pengajaran, 4. ketekunan belajar, 5. jumlah waktu yang disediakan.[7]
                  Untuk mencapai penguasaan penuh bantuan seorang tutor sangat besar pengaruhnya dan peranannya untuk menguasai materi pelajaran bagi setiap anak. Cara ini sangat mahal sekali dan sukar dilaksanakan di sekolah. Namun banyak anak-anak yang ditutor oleh anak-anak yang ditutor dirumah oleh ibu, ayah, atau kakaknya khusus waktu masih SD anak itu. Sistim tutor itu paling efektif dan ideal. Walaupun tidak dapat dilaksanakan atas pertimbangan biaya, namun dapat dijadikan sebagai model bagi usaha-usaha lainnya untuk mencapai penguasaan penuh.
      Cara lain ialah menghapus batas-batas kelas seperti apa yang disebut “non-graded school”, yaitu sekolah tanpa tingkat kelas. Sistim ini memungkinkan anak maju menurut kecepatan masing-masing. Sistem Dalton oleh Miss Helen parkhurst juga mempunyai kebebasan belajar sesuai dengan kecepatan tiap murid secara individual. Untuk mencapai penguasaan penuh ada beberapa yang harus diperhatikan.[8]
v  Prasyarat-Prasyarat
Jadi dalam usaha mencapai penguasaan penuh ialah merumuskan secara tuntas bahan yang akan dipelajari dan dikuasai. Persyaratan kedua ialah bahwa tujuan itu harus dituangkan dalam sebuah alat evaluasi yang bersifat sumatif agar dapat diketahui tingkat keberhasilan murid. Dengan kedua persyaratan itu dapat kita peroleh gambaran yang jelas apa yang harus dicapai dalam penguasaan penuh dan apabila penguasaan penuh telah tercapai.
                  Di antara perumusan tujuan yang harus dicapai, yakni bahan yang harus dikuasai dengan evaluasi keberhasilan letak usaha untuk mencapai tujuan itu proses belajar mengajar, di mana guru maupun murid masing-masing memegan peranan tertentu. Tujuan itu dapat dicapai dalam suasana persaingan yang dapat merangsang murid-murid untuk berlombah agar dapat melebihi prestasi. Murid-murid yang lainnya. Ada kemungkinan bahwa persaingan serupa ini menjelma menjadi usaha merebut rainking tertentu dalam urutan dalam kelas. Motivasi ekstrinsik serupa ini dapat mengalihkan perhatian murid dari tujuan yang sebenarnya, yakni penguasaan bahan pelajaran itu sendiri. Diduga bahwa lebih bermanfaat untuk menggunakan motivasi intrinstik yaitu mendorong murid untuk mencapi standard penguasaan yang telah ditetapkan, yang diharapkan agar didcapai oleh semua murid atau setidak-tidaknya sebagian murid-murid. Tentu ada kemungkinan tak seorang pun mampu mencapi standard itu jika bahannya terlampau banyak atau standarnya terlampau tinggi. Akan tetapi ditentukan standard yang layak dan dapat dicapai oleh semua murid jika mungkin. Menentukan standar bukan sesuatu yang mudah, apalagi karena kita tidak mempunyai standard tertentu apakah secara nasional atau cara lain. Tiap sekolah dapat menentukan standardnya sendiri berdasarkan kurikulum yang berlaku.
                  Standard penguasaan harus diketahui oleh guru dan juga murid. Karena semua murid pada prinsipnya mendapat kesempatan mencapai standard itu dan dengan demikian dapat mencapai angka teritinggi maka anak-anak dapat belajar dalam suasana kerja sama dan saling membantu.[9]      
v  Prosedur tambahan
Dengan cara mengajar yang biasa guru tidak akan mencapai penguasaan tuntas oleh murid. Usaha guru harus ditambah dengan kegiatan tambahan yang terutama terdiri atas (1) “feedback” atau umpan balik yang terperinci kepada guru maupun murid, (2) sumber dan metode-metode pengajaran tambahan di mana saja diperlukan. Usaha tambahan dimaksud untuk memperbaiki mutu pengajaran dan meningkatkan kemampuan anak memahami apa yang diajarkan dan dengan demikian mengurangi jumlah waktu untuk menguasai bahan pelajaran sepenuhnya.
            Feedback atau umpan balik diberikan melalui test-test
, dan tes-tes formatif bersifat diagnostis dan serentak menunjukkan kemajuan dan keberhasilan anak. Tes formatif ini bermacam-macam jumlahnya.
1.    Tes formatif mempercepat anak belajar dan memberikan motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dalam waktu yang secukupnya
2.    Test formatif diberikan untuk menjamin bahwa semua anak menguasai sepenuhnya syarat-syarat atau bahan apersepsi yang diperlukan untuk memahami bahan yang baru.
3.    Test formatif juga berguna bagi mereka yang telah memiliki bahan apersepsi yang diperlukan untuk memberi rasa kepastian atas penguasaannya.
4.    bagi murid yang  kurang menguasi bahan pelajaran test formatif merupakan alat untuk mengungkapkan di mana sebetulnya letak kesulitannya.
5.    test formatif sebaiknya jangan disertai oleh angka. Tujuannya yang harus dicapai penguasaan penuh.
6.    test formatif juga memberikan upan balik kepada guru, agar ia megetahui di mana terdapat kelemahan-kelemahan dalam metodenya mengajar sehingga ia dapat memperbaikinya atau mencari metode lain.[10]      
v  Hasilnya
      Hasil yang dicapai dalam bidang kognitif ialah bahwa jumlah murid yang mendapat angka tertinggi atas dasar penguasaannya yang tuntas mengenai bahan pelajaran tertentu. Jika sebelumnya hanya 10-20% saja memperoleh angka tertinggi, maka dengan “mastery learning” ini jumlahnya dapat ditingkatkan menjadi 80% dan untuk mata pelajaran tertentu bahkan sampai 90%. Bila dapat diketahui bagaimana cara yang paling tepat untuk membantu setiap anak secara individual maka persentase mungkin dapat lagi ditingkatkan.
                  Selain itu ada juga keuntungan di bidang afektif. Sukses atas pelaksanaan tugas memberi rasa percaya atas diri sendiri dan atas kemampuan diri sendiri. Pandangan tentang dirinya dan terhadap dunia sekitarnya berubah menjadi lebih positif. Ia memperoleh minat untuk pelajaran yang dapat dilakukannya dengan baik dan itu merupakan dasar bagi kelanjutan pelajarannya. Keberhasilan itu menyegarkan kesehatan rohaninya. Orang yang sehat rohaninya akan terhindar dari macam-macam penyakit jiwa. “Mastery Learning” bertujuan mengeluarkan segi-segi yang terbaik dalam pribadi anak. “Mastery Learning” menjauhi frustasi, kegagalan yang menekan jiwa, rasa inferioritas dan rasa benci terhadap segala sesuatu yang perbau pelajaran. “Mastery Learning” justru mengembangkan minat dan sikap positif terhadap pelajaran dan ilmu yang memberi harapan bahwa anak itu kelak akan terus belajar sepanjang umurnya agar dapat bertahan dalam dunia yang serba cepat berubah ini dan agar dapat senantiasa mengikuti perkembangan dunia tempat ia hidup.[11]          
III. PENTUP
A.   Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas, maka pemakalah dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
a.    belajar tuntas (Mastery Learning) merupakan konsep pengawasan penuh dalam proses belajar mengajar, yang mempunyai tujuan bagaimana peserta didik bisa memahami materi ajar secara total
b.    penguasaan penuh dalam belajar tuntas (Mastery Learning) sangat ditekankan, yang mana mengerakkan segala potensi dan bakat yang dimiliki oleh peserta didik dengan meluangkan waktu yang ada sehingga tercipta kemampuan bersama di dalam memahami pelajaran. 
c.    Pada dasarnya perbedaan bakat dan kemampuan tidak terlalu menonjol dalam belajar bersama (Mastery Learning), meskipun itu ada tapi yang ditekankan adalah pada persoalan meluangkan waktu dan pengulangan materi ajar kepada peserta didik.    
B.   Saran
a.    Selaku penulis, saya sadar betul bahwa dalam penulisan makalah  ini terdapat berbagai kekurangan, baik dari segi penulisan/pengetikan dan struktur kebahasaan yang tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan (EYD). Maka kritik dan masukan sangat diharapkan.
b.    Kritikan wacana sangat diharapkan, dan sumbangsi pengetahuan mungkin sangat nihil dalam makalah ini, karena terbatasnya kemampuan penulis dan kurangnya literatur dan referensi yang diperoleh oleh penulis. Maka shering ide serta gagasan yang paling diprioritaskan dalam makalah ini sehingga menjadi sebuah kerangka ilmiah di dalam membangun wacana pengetahuan.   

DAFTAR PUSTAKA
Makmun Abin Syamsuddin, Psikologi Pendidikan Cet. II; Bandung: PT      Remaja Rosda Karya. 1998
           
Nasution S, Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mangajar Cet.         VII; Jakarta: PT Bumi Aksara. 2000

------------ Noehi Dkk, Materi Pokok Psikologi Pendidikan Model 1-6  Cet. I; Jakarta: Dirjen Pembinaan Agama Islam Departeman Agama, 1991

Sudirman Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Cet. XI; Jakarta: PT Raja          Grafindo Persada, 2004.

Sudjana Nanan, Dasar Dasar Proses Balajar Mengajar Cet. VII; Bandung:            Sinar Baru Algesendo. 2004

Syah Muhibbin, Psikologi Belajar Ed. Revisi -5-Jakarta: PT Raja Grafindo,            2006



                [1]Ada beberapa defenisi tentang belajar antara lain sebagai berikut: (a) Cronbach memberikan definisi: learning is show by achange in behavior as a result of experience. (b) Horold spears memberikan batasan: learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to folloe direction. (c) Geoch, mengatakan: Learning is change in performance as a result of practice. Dari ketiga defenisi di atas, maka dapat diterangkan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkain kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan meniru dan lain sebagainya. Lihat, Sudirman Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Cet. XI; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004), h. 20. Dan belajar adalah key term, ‘istilah kunci’ yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. Jadi belajar juga dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Lihat, Muhibbin Syah, Psikologi Belajar Ed. Revisi -5-(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), h. 63 . Setelah penulis menganalisis di antara beberapa pendapat di atas yang telah diurai maka penulis berpendapat bahwa belajar adalah bagaimana memberikan peserta didik pemahaman yang mendalam terhadap materi ajar yang diberikan oleh pendidik yang spirit awalnya adalah memanusiakan manusia atau proses humanisasi              

                [2]S. Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mangajar (Cet. VII; Jakarta: PT Bumi Aksara. 2000), h. 39-39


                [3]Noehi Nasution Dkk, Materi Pokok Psikologi Pendidikan Model 1-6 (Cet. I; Jakarta: Ditjen Pembinaan Agama Islam Departeman Agama, 1991) h. 91-92

                [4]Lihat Nasuiton Op.Cit,. h. 39-39. bandingkan dengan, Nanan Sudjana, Dasar Dasar Proses Balajar Mengajar (Cet. VII; Bandung: Sinar Baru Algesendo. 2004), h. 39-38 yang menyatakan hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Di samping faktor kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi faktor fisik dan psikis.            

                [5]Lihat, Ibid,. h. 42-43

                [6]Bantuan tutor biasanya berwujud dalam bentuk bimbingan, yang menempuh beberapa tahapan-tahapan kegiatan; (a) identifikasi kasus (b) identifikasi masalah (c) analisi masalah (d) estimasi dan identifiaksi alternatif pemecahan (prognosis) (e) tindakan pemecahan masalah (treatment; therapy) dan (f) evaluasi pemecahan masalah dan tindkan lanjutan (foolow up) kalau dipandang perlu. Lihat, Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Pendidikan (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1998), h. 192

                [7]Lihat, Op.Cit,. h. 50, tapi bangdingkan Juga denga Sadirman, Op.Cit,.h. 92-95. Yang menyatkan bahwa ada beberapa hal untuk menumbukan moitivasi dalam kegiatan belajar di sekolah antara lain sebgai berikut: (a) memberi angka (b) Hadiah (c) Saingan/kompotisi (d) ego/involoment (e) memberi ulangan (f) mengetahui hasil (g) pujian (h) hukuman (i) hasrat untuk belajar (j) minat (k) tujuan yang diakui 
               
                [8]Lihat, Op.Cit,. h. 51

                [9]Lihat, Ibid,. h. 52

                [10]Lihat, Ibid,. h. 52-53

                [11]Lihat, Ibid,. h. 56

0 komentar

Posting Komentar