Selasa, 06 September 2016

BENTUK-BENTUK KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA

A. Latar Belakang Masalah
          Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat sosialis religius, yaitu masyarakat yang beradab, ramah, sopan santun, tolong menolong, dan senantiasa mengedepankan nilai-nilai budaya dan agama. Namun kenyataan tersebut akhir-akhir ini semakin menipis. Hal ini disebabkan karena hilangnya kearifan budaya dan munculnya sikap egoisme[1] yang cenderung bersikap esklusif terhadap yang lainnya.
          Di samping itu masyarakat Indonesiaadalah juga masyarakat pluralitas[2] yang terdiri dari berbagai suku, adat istiadat, bahasa, dan agama. Keragaman tersebut merupakan sebuah realitas yang tak terbantahkan.

          Dalam perspektif sosiologis, pluralitas masyarakat yang ditandai adanya perbedaan ras, klasifikasi sosial seperti budaya dan agama. Stratifikasi sosial adalah bagian dari satu keniscayaan sistem masyarakat. Pluralitas akan memberikan warna dan nuansa dinamis dalam kehidupan masyarakat, baik dalam lingkup sederhana maupun lingkup yang kompleks. Manusia tanpa pluralitas, maka dunia ini sebagai buana yang fakum tanpa dinamisasi.[3]
          Indonesia dalam sejarahnya dibangun atas pluralitas agama dan budaya,[4] yaitu terdiri atas berbagai suku atau etnis. Setiap etnis mempunyai budaya masing-masing yang terkait dengan keabsahan serta identitas etnis tersebut.[5]
          Sebagai bangsa yang multikultur,[6] telah menjadi ciri khas bangsa Indonesiasejak dahulu hingga saat ini yang kemudian menjadi suatu kesatuan yang utuh dalam pluralistik dengan motto “Bhinneka Tunggal Ika”.
          Sikap saling menghargai, menerima atas keragaman tersebut merupakan suatu keharusan untuk menciptakan kearifan budaya dan toleransi dalam beragama dalam sebuah bingkai kesatuan yang utuh. Peran komunikasi antarbudaya dan agama merupakan momentum untuk menciptakan kearifan budaya dan agama.
          Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut, perlu kiranya dipahami apa itu komunikasi antarbudaya dan agama, dan bagaimana bentuk-bentuk komunikasi antarbudaya dan  agama.

B. Bentuk-bentuk Komunikasi Antarbudaya dan Agama
          Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya, ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Dasar keingintahuan ini memaksa manusia perlu berkomunikasi.
          Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakat. Pengaruh keterisolasian ini akan menimbulkan depresi mental yang pada akhirnya membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Banyak para pakar menilai bahwa komunikasi adalah salah satu kebutuhan yang sangat fundamental bagi manusia seperti halnya bernafas. Sepanjang manusia ingin hidup maka ia perlu berkomunikasi.[7] 
          Salah satu kelebihan manusia dalam hal menyampaikan hasrat, keinginan, dan pikirannya adalah melalui komunikasi,[8] karena dengan komunikasi manusia dapat bekerjasama dengan anggota masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan keluarga, kelompok belajar, Perguruan Tinggi, RT, RW, Desa, Kota dan negara secara keseluruhan untuk mencapai tujuan bersama.[9] Jadi dengan komunikasi, pada hakikatnya dapat menciptakan keselarasan, kebersamaan, dan saling memahami terhadap sisi-sisi perbedaan yang dimiliki individu-individu lainnya.
          Orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia, bisa dipastikan akan “tersesat”, karena ia tidak berkesempatan menata dirinya dalam suatu lingkungan sosial. Komunikasilah yang memungkinkan individu membangun suatu kerangka rujukan dan menggunakannya sebagai panduan untuk menafsirkan situasi apapun yang ia hadapi. Komunikasi pula yang memungkinkannya memperlajari dan menerapkan strategi-strategi adaptif untuk mengatasi situasi-situasi problematik yang ia masuki.[10] Oleh karena itu, dengan mengerti hakikat dalam berkomunikasi, maka sikap inklusvfitas akan lebih mudah dengan saling memahami segala macam bentuk perbedaan yang ada.
1. Komunikasi Antarpribadi
          Manusia merupakan mahluk sosial, karena itu, kehidupan manusia selalu ditandai dengan pergaulan antarmanusia, misalnya dalam keluarga, lingkungan tetangga, sekolah dan lain sebagainya.
          Pergaulan manusia merupakan salah satu bentuk peristiwa komunikasi dalam masyarakat. Dalam proses pergaulan tersebut, mereka saling bertukar informasi, membagi gagasan dan sikap, bahkan proses penyesuaian pikiran, menciptakan simbol yang mengandung suatu pengertian bersama. 
          Proses pergaulan tersebut merupakan suatu proses yang bersifat dialogis, psikologi yang pada gilirannya membentuk proses sosial. Di sinilah keunikan komunikasi antarpribadi, mempunyai keunikan karena selalu dimulai dari proses hubungan yang bersifat psikologis, dan proses psikologis selalu mengakibatkan keterpengaruhan. Maka benar kata Devito bahwa, komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain dengan efek dan umpan balik yang langsung.
          Karena sifatnya dialogis, maka pesan yang disampaikan seorang komunikator akan lebih mudah pahami dan dimengerti oleh komunikan pada waktu itu juga.
          Menurut Dean C. Barnlund mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi selalu dihubungkan dengan pertemuan antar dua, tiga atau mungkin empat orang yang terjadi secara spontan dan tidak terstruktur. [11]
          Dalam kenyataannya, proses komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor personal maupun kelompok. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain faktor kognitif seperti konsep diri, persepsi, sikap, orientasi diri, dan harga diri.
          Konteks komunikasi antarbudaya juga meliputi komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang berbeda latar belakang pribadi atau kelompok, termasuk latar belakang kebudayaan.[12]
Pada hakikatnya komunikasi antarpribadi adalah komunikasi seorang komunikator dengan seorang komunikan. Jenis komunikasi tersebut dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku manusia berhubungan prosesnya yang dialogis.[13]
2.      Komunikasi Antarkelompok
          Komunikasi antarkelompok merupakan komunikasi antara sejumlah orang dalam sebuah kelompok. Komunikasi antarbudaya sering terjadi di dalam konteks kelompok yang anggotanya berbeda latar belakang kebudayaan. Termasuk dalam pengertian konteks komunikasi antar kelompok adalah operasi komunikasi antarbudaya di kalanagan ingroup maupun antara anggota sebuah ingroup dengan outgroup, atau bahkan antara perbagai kelompok[14]
3.      Komunikasi Verbal
          Komunikasi verbal adalah komunikasi yang terjadi antara komunikator dengan komunikan dengan menggunakan simbol-simbol bahasa sebagai variabel penghubung antara kedua pelaku komunikasi tersebut.
          Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, kata verbal menunjukkan pesan-pesan yang dikirimkan atau yang diterima dalam bentuk kata-kata, baik lisan maupun tulisan.[15]
          Dalam komunikasi antarmanusia sehari-hari, kita berkenalan dengan istilah-istilah, seperti bahasa lsian, bahasa tulisan, bahasa isyarat, dan bahasa jarak. Semuanya itu merupakan gambaran tentang aspek pragmatis dari penggunaan bahasa. Kita memahami bahasa lisan hanya karena penggunaan bahasa itu melalui ucap yang dalam istilah komunikasi disebut komunikasi lisan. Selain penyampaian pesan yang dilakukan secara oral/lisan, kita kadang-kadang mengalihkan pesan melalui tulisan. Itulah disebut komunikasi verbal.[16]
          Bahasa (lisan atau tulisan), merupakan media untuk saling memperkenalkan kebudayaan. Seseorang dapat mempelajari atau saling bertukar informasi tentang budayanya kedapa orang lain.
          Ketika lagu-lagu diperdenganrkan, mulai dari bintang kecil hingga Indonesia Raya. Alat musik tradisional semacam angklung pun terdengar. Busana dikenakan juga, busana dari Sabang sampai Merauke. Ada yang mengenakan pakaian Bali, Minang, atau Jawa. Dengan gerakan lentur dan lucu, para penari yang masih seusia SD itu pemperlihatkan keterampilan membawakan tari Pasambahan, Indang, hingga tari Merak. Tetapi ada yang membedakan dengan pesta di sekolah Indonesia. Para penarinya tidak berkulit sawo matang. Mereka adalah bocah-bocah bule, dengan mata biru atau cokelat, atau berambut pirang. Mereka adalah murid-murid SD Benalla East, kira0-kira 120 km dari Melbourne, Australia. Mereka, para murid sekolah itu, tertari belajar bahasa Indonesia, termasuk keseniannya.[17]
          Cerita ini menunjukkan bahwa anak-anak Australiabelajar komunikasi antarbudaya. Medianya adalah bahasa Indonesia yang dipelajari secara verbal melalui kata-kata dan secara nonverbal melalui tarian.
4.  Komunikasi Non Verbal
          Manusia dalam berkomunikasi selain memakai kode verbal (bahasa) juga memakai kode nonverbal. Kode nonverbal biasa disebut bahasa isyarat atau bahasa diam (silent language).[18]
          Di Spanyol, untuk mamanggil seseorang, lambaian jari-jari tangan dengan telapak tangan di bawah. Di Amerika, tangan digunakan bebas pada saat berbicara. Ibu jari dan telunjuk bersama-sama membentuk lingkaran dengan ketiga jari lainnya lepas (berdiri renggang) berarti ‘Oke’ atau segala sesuatunya beres. Akan tetapi di Brazil justru isyarat Oke-nya Amerika di anggap tidak senonoh. Hal ini tidak dapat dibayangkan, bagaimana jika terjadi komunikasi antar orang Amerika dengan orang Brazil?.[19]
          Petikan di atas, menunjukkan bahwa pesan-pesan komunikasi tidak dialihkan hanya secara verbal, tetapi dengan menggunakan bahasa isyarat, gerakan-gerakan anggota tubuh, tangan, bahkan jari demi jari. Semua gerakan itu mempunyai makna tertentu.
          Oleh karena itu, peranan komunikasi antarbudaya sangat penting, agar dalam berkomunikasi terhadap orang yang berbeda dengan budaya dengan kita tidak terjadi misunderstanding of culture values. Coba bayangkan, anda sebagai orang Amerika memakai simbol-simbol bahasa nonverbal anda di tengah-tengah orang Brazil, maka yang terjadi adalah mereka (orang Brazil) akan tersinggung atau kemungkinan akan mengusir anda. Oleh sebab itu, sangat penting memahami budaya orang lain secara arif tanpa sikap etnosentrisme ataupun stereotip.
5. Pendidikan  
          Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Indonesiamerupakan negara yang multi-kultur yaitu terdiri dari berbagai suku, ras, bahasa, budaya dan agama. Perbedaan tersebut membuat Indonesia rentang dengan konflik.
          Di era globalisasi saat ini, pergaulan antarmanusia, bangsa, etnis, agama, suku, dan budaya semakin hari semakin rapat, dekat, dan menyempit, sehingga nyaris tidak ada jarak ruang dan waktu yang berarti.[20]
          Dalam masyarakat global terjadi pergumulan, perbenturan, dan percampuran nilai-nilai yang jauh lebih mendalam, rumit, dan kompleks daripada hanya sekedar perbenturan kategori-kategori antropologi klasik seperti suku, ras, etnis, dan agama.
Globalisasi mempunyai kekuatan untuk mendobrak nilai-nilai tradisi dan agama yang telah mapan. Untuk itu, diperlukan telaah ulang terhadap nilai-nilai yang berkembang pada era global yang telah ikut membentuk pola budaya dan perilaku sosial masyarakat Indonesiaselama ini, dan kemudian mencari nilai-nilai baru yang lebih kondusif bagi masyarakat yang plural di masa mendatang.[21]
          Peran pendidikan tentang multikultur sangat penting untuk menciptakan kehidupan damai antarumat manusia khususnya di Indonesiayang selama ini disalahartikan.
          Pendidikan multikultural adalah suatu cara untuk mengajarkan keragaman dengan mengedepankan rasionalitas, intelektual, sosial dan pragmatis secara inter-relatif yaitu mengajarkan inklusivisme, pluralisme, dan saling menghargai semua orang, menginterpretasikan studi tentang fakta-fakta, sejarah, kebudayaan, nilai-nilai, struktur, perspektif, dan kontribusi semua kelompook ke dalam kurikulum sehingga dapat membangun oengetahuan yang lebih kaya dan kompleks, dan akurat tentang kondisi kemanusiaan di dalam dan melintasi konteks waktu, ruang dan kebudayaan tertentu.[22]
          Orientasi pendidikan semacam ini, untuk mengubah tingkah laku individu untuk tidak berprasangka negatif, meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan untuk , adalah untuk menumbuhkan pemahaman dan toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasil, etnis, agama, gender, warna kulit dan lain sebagainya.[23]
          Berikut ini, beberapa pesan komunikasi antarbudaya dan agama yang harus teraktualisasi untuk menghilangkan kesenjangan yang terjadi sehingga tercipta kearifan dalam berbudaya dan beragama, Antara lain:
a.   Belajar hidup dalam perbedaan
b.   Membangun saling percaya
c.   Memelihara saling pengertian
d.   Menjunjung sikap saling menghargai
e.   Terbuka dalam berpikir[24]
Di samping itu, melalui pendidikan diharapkan dapat membangun kehidupan multikultural yang sehat; dengan  meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya yang tinggi  sehingga dapat mengerti  berbagai model dan ciri khas budaya tertentu,  terutama psikologi  dan pola perilaku masyarakatnya.
6. Diskusi/Dialog
          Diskusi dan dialog tentang persoalan di masyarakat yang diakibatkan perbedaan budaya, agama, ras merupakan moment untuk mendamaikan dan menghentikan konflik tersebut.
          Terjadinya konflik yang bernuansa SARA, mulai sejak tahun 1995 hingga sekarang, dipicu dan disulut oleh isu perbedaan dan pertentangan antarsuku, ras, agama dan golongan, di Pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rangkasdengklok (1997), Sanggau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997), Ambon dan Maluku (1999),[25] bahkan di Poso yang hingga hari ini suasananya masih memanas. Akibat dari konflik tersebut mendapat perhatian serius pemerintah bahkan masyarakat secara umum untuk mencari solusi alternatif. Berbagai dialog pun dilakukan sebagai solusi untuk membangun dan menumbuhkan kesadaran di antara mereka yang bertikai.
Meskipun sebagian kalangan menilai bahwa dialog kurang efektif sebagai mediator untuk mereda konflik yang berbau SARA tersebut. Langkah tersebut hanya efektif dan berguna untuk elit pemimpin agama, tetapi belum dapat menyentuh lapis bawah dan akar rumput umat.[26] Apakah pandangan seperti itu benar seratus persen, apakah langkah dialog memang tidak efektif ?. Alasan seperti itu tentunya tidak bisa dijadikan landasan teori sepenuhnya, untuk mengklaim bahwa dialog tidak efektif.
          Dalam kamus Bahasa Indonesia, dialog bermakna percakapan. Ketika dialog dimaknai secara luas maka ia berarti perundingan untuk bertukar pikiran tentang suatu masalah[27]
          Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan dialog adalah untuk merundingkan atau mendiskusikan permasalah yang terjadi, tentang perbedaan ras, agama, budaya, bahasa, dan kalim-klaim ekslusif yang berdampak munculnya sikap egoisme dengan menganggap klaimnya yang benar.
          Sikap egoisme merupakan akar permasalahan yang saat ini terjadi di Indonesia.[28] Suatu suku menganggap dirinya yang lebih tinggi dibangingkan dengan suku lain, suatu agama menganggap agamanya yang paling benar, dan tidak mengakui suku dan agama yang berbeda dengannya.    
Hakikat dialog bukan sekedar memberi informasi, mana yang sama dan mana yang berbeda, bukan pula merupakan suatu usaha agar orang yang berbicara menjadi yakin akan eksistensi dirinya, dan menjadikan orang lain mengikutinya, dan bukan pula merupakan usaha untuk mengitegrasikan yang berbeda menjadi satu, bukan pula usaha untuk menciptakan sesuatu yang baru yang dapat diterima oleh semua pihak, bukan pula mencari kemenangan atas yang lainnya, akan tetapi dialog bertujuan untuk menciptakan kesamaan dan saling pengertian untuk mencapai kebenaran dalam proyek-proyek yang menyangkut kepentingan bersama.[29]
7. Komunikasi Massa
          Komunikasi massa adalah proses komunikasi yang berlangsung di mana pesannya dikirim dari sumber yang melembanga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televise, suratkabar dan film.
Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Komunikasi massamemiliki ciri tersendiri, yaitu sifat pesannya terbuka dengan khalayak yang variatif, baik dari segi usia, agama, golongan, suku, pekerjaan maupun dari segi kebutuhan.
Selain itu, sifat penyebaran pesan komunikasi massaberlangsung sangat cepat, serempak dan luas. Ia mampu mengatasi jarak dan waktu, serta tahan lama bila didokumentasikan.[30]
          Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (ras, etnik, agama, atau perbedaan-perbedaan sosio- ekonomi).[31] Karena ciri masyarakat Indonesiaadalah plural yang terdiri dari berbagai macam suku, adat-istiadat, bahasa, budaya dan agama, maka efektivitas peran media komunikasi sangat membantu untuk menyampaikan pesan-pesan baik budaya maupun agama. Dalam hal ini, komunikasi antarbudaya dan agama sangat memungkinkan untuk dilakukan mengingat media dan sarana tersebut merupakan bagian dari komunikasi antarbudaya dan agama itu sendiri.
          Salah satu bentuk dan kelebihan komunikasi massa, adalah pesan yang disampaikan tidak mesti harus bertatap muka dengan komunikan, akan tetapi cukup dengan melalui media massa, komunikan dapat menerima pesan-pesan yang disampaikan. Apakah itu melalui televise, radio, telepon, iklan, film dan lain sebagainya.
Walaupun media massa lebih bersifat pada komunikasi satu arah, akan tetapi isi pesan yang disampaikannya dapat merubah dan mempengaruhi sikap dan perilaku komunikan (khalayak), apakah feed back-nya itu negatif begitupun sebaliknya.
Kehadiran media komunikasi sangat sulit dibendung dengan berbagai dampak yang ditawarkan. Oleh karena itu, subtansi dalam komunikasi antarbudaya dan agama dapat tercapai, harus dilakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara  distributif, berfungsi  memelihara keseimbangan sistem  melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam  teknik-teknik penyebaran maupun  penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat  menampilkan berbagai informasi yang bersifat  apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.[32]
Diharapkan dengan kahadiran media-media tersebut (radio, televise, internet, iklan, dan lain sebagainya) dapat memberikan kontribusi yang bisa membantu efektivitas pelaksanaan komunikasi antarbudaya dan agama.

C.   Kesimpulan
          Komunikasi antarbudaya dan agama adalah komunikasi dua atau lebih dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda untuk menciptakan kesepahaman sehingga tercipta sikap toleransi dan saling menghargai antara satu dengan yang lainnya meskipun disadari perbedaan tersebut.
          Kahadiran komunikasi antarbudaya dan agama di tengah-tengah konflik SARA di Indonesia merupakan sebuah obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit masyarakat yang bersikap tertutup (eksklusif) dan tidak mau menerima sesuatu yang dianggap berbeda dengannya (egoisme) bahkan cenderung menolaknya.
          Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultur dan multi agama, perbedaan-perbedaan kultur, agama meruapakan sebuah keniscayaan dan tak mungkin dihindari. Untuk menghindari terjadinya kles dan pertentangan karena perbedaan budaya dan agama, maka peran komunikasi antarbudaya dan agama untuk menciptakan kesamaan dalam perbedaan tersebut, atau untuk mencapai hakikat komunikasi antarbudaya dan agama maka dikenal beberapa bentuk antara lain:
1. Komunikasi Antarpribadi
2. Komunikasi Antarkelompok
3. Komunikasi Verbal
4. Komunikasi Nonverbal
5. Pendidikan
6. Diskusi/Dialog
7. Komunikasi Massa
Ketujuh bentuk komunikasi tersebut di atas, apabila dioptimalkan sebagaimana mestinya, maka harapan untuk mewujudkan perdamaian dunia khsusunya di Indonesiadalam pluralitas  budaya/multikultur akan tercipta, yaitu damai dalam perbedaan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Pendidikan Agama Era Multikultura-Multirelius. Cet. I; Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.
Al-Munawir, Said Agil Husain. Fikh Hubungan Antar Agama. Cet. II; Jakarta: Ciputat Press, 1993.
Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Berwarna Multikultural. Cet. I; Jakarta: Erlangga, 2005.
Cangara, H. Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cet. V; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Liliweri, Alo. Komunikasi Antarpribadi. Cet. II; Bandung:  PT. Aditya Bakti, 1997.
Liliweri, Alo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudya. Cet. I; Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003.
Muchtar, Adeng. Agama dan Keberagaman dalam Konteks Perbandingan Agama. Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004.
Mulyana, Dedy. Ilmu Komunikasi; Suatu pengantar. Cet. VII; Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya Offset, 2004
Mulyana, Stewart L. Tubbs-Sylvia Moss, Pengantar Deddy. Human Communication; Konteks-konteks Komunikasi . Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Poerwadarminta,W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. VIII; Jakarta: BAlai Pustaka, 1985.
Shiddieq, H. M. Arfah. “Makalah” yang disajikan di hadapan peserta Orientasi Peningkatan Wawasan Multikultural bagi Guru-guru Agama Tingkat SD s/d SMU dan MI s/d MA se-Sulawesi Selatan pada tanggal 07 Juni 2005 di Asrama Haji Sudiang Makassar.
Tanja Victor I. “Etnisitas dan Religiusitas” dalam Atas Nama Agama; Wacana dalam Dialog Bebas Konflik. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.




[1]H. M. Arfah Shiddieq, “Makalah” yang disajikan di hadapan peserta Orientasi Peningkatan Wawasan Multikultural bagi Guru-guru Agama Tingkat SD s/d SMU dan MI s/d MA se-Sulawesi Selatan pada tanggal 07 Juni 2005 di Asrama Haji Sudiang Makassar.
[2]Pluralitas adalah keragaman dalam sebuah wujud persatuan. Lihat Said Agil Husain al-Munawir, Fikh Hubungan Antar Agama (Cet. II; Jakarta: Ciputat Press, 1993), h. 89.
[3]Ibid., h. 92.
[4]Ibid.
[5]Lihat Victor I. Tanja “Etnisitas dan Religiusitas” dalam Atas Nama Agama; Wacana dalam Dialog Bebas Konflik (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 75-77.
[6]Multikultur dapat dipahami sebagai pengakuan bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk, dan di Indonesiamulticultural merupakan suatu realitas sosial di mana Indonesiasebagai bangsa-negara terdiri dari sejumlah kelompok etnis, budaya, agama. Lihat Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Berwarna Multikultural (Cet. I; Jakarta: Erlangga, 2005), h. vii.
[7]H. Hafied Cangara,Pengantar Ilmu Komunikasi (Cet. V; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 1.
[8]Ibid., h. 18.
[9]Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi; Suatu pengantar (Cet. VII; Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya Offset, 2004), h. 5.
[10]IIbid.
[11] Alo Liliweri,Komunikasi Antarpribadi (Cet. II; Bandung:  PT. Aditya Bakti, 1997), h. 11-12.
[12]Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudya (Cet. I; Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003), h. 21.
[13]Ibid.
[14]Ibid. h. 21-22.
[15]Ibid. h. 135.
[16]Ibid. h. 138.
[17]Ibid. h. h. 133
[18]Hafied Cangara, op. cit., h. 99.
[19]Alo Liliweri, op. cit., h. 173.
[20]M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultura-Multirelius (Cet. I; Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005), h. 108.
[21]Ibid., h. 112.
[22]Zakiyuddin Baidhawy,Ibid., h. 8.   
[23]Ibid., h. viii.
[24]Lihat Ibid., h. 78-84
[25]M. Amin Abdullah, op. cit., h. 123-124.
[26]Ibid.
[27]Lihat W.J.S. Poerwadarminta, KAmus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VIII; Jakarta: BAlai Pustaka, 1985), h. 249 dan 254.
[28]Lihat Arfa Shiddieq, loc cit.
[29]Adeng Muchtar, Agama dan Keberagaman dalam Konteks Perbandingan Agama (Cet. I; Bandung: CV> Pustaka Setia, 2004), h. 167-168.
[30]Hafied Cangara, op. cit., h. 36.
[31]Stewart L. Tubbs-Sylvia Moss, Pengantar Deddy Mulyana, Human Communication; Konteks-konteks Komunikasi (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 236.
[32]Internet, Ibid.

0 komentar

Posting Komentar