I. PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib. Untuk mewujudkan tata kehidupan yang demikian dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum, maka diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban 0dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesejahteraan.
Lembaga peradilan merupakan tumpuan semua pihak, karena ditangan pengadilanlah dipastikan atau tidaknya seorang terhadap sesuatu, putus atau tidaknya hubungan hukum seseorang dan melanggar atau tidaknya. Demikianlah misi pengadilan yaitu menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum. Dengan demikian dari sudut kepentingan negara maupun kepentingan masyarakat, lembaga peradilan mutlak diperlukan.[1]
Dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan sehingga dapat memberikan pengayoman bagi masyarakat banyak tergantung pada profesionalisme hakim, di samping pada aspek moral hakim hingga putusan yang dijatuhkan mengandung tiga hal yang sangat esensial yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian.
Nampaknya upaya ke arah peningkatan kualitas Peradilan Agama sejak awal mesti digalakkan. Pertanyaan yang muncul ialah siapa yang bertanggung jawab dan berkompeten terhadap hal tersebut, jawabnya tentu saja pihak Perguruan Tinggi Islam ataukah Fakultas Syari'ah yang sejak awal menggembleng mahasiswanya dengan kurikulum yang sudah disiapkan serta langkah-langkah yang akan ditempu dalam upaya peningkatan kualitas Peradilan Agama.
Prolog di atas, membawa pada suatu permasalahan tentang bagaimana peranan Perguruan Tinggi Hukum Islam dalam peningkatan kualitas Peradilan Agama.
Permasalahan tersebut akan dikaji dalam makalah ini, dengan tujuan untuk memberikan ulasan tentang bagaimana peran dunia akademik, pada Perguruan Tinggi dalam peningkatan kualitas Peradilan Agama.
II. PROGRAM AKADEMIK PERGURUAN TINGGI ISLAM
Pada tahun 1989 ada dua peristiwa penting yang berhubungan dengan penataan pendidikan tinggi pada Fakultas Syari'ah yaitu pertama, diundangkannya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang secara langsung memberikan dampak terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan baik menyangkut jenis maupun jalur dan jenjang pendidikan, kedua UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 dapat dipandang sebagai sarana perubahan sistem pendidikan nasional yang baru dapat dirumuskan sejak Indonesia merdeka. Ia mengubah sistem pendidikan secara keseluruhan. Khusus untuk Perguruan Tinggi, penyusunan kurikulumnya diselenggarakan oleh berbagai Perguruan Tinggi (Universitas, Institut, Sekolah Tinggi dan Akademik) didalamnya mengalami perubahan penting. Diantara perubahan itu adalah otonomi Perguruan Tinggi yaitu kebebasan akademik dan otonomi dalam bidang keilmuan, serta diversifikasi program Perguruan Tinggi.
Otonomi Perguruan Tinggi tersebut memberikan peluang kepada penyelenggara pendidikan tinggi untuk mengembangkan diri. Adapun peluang tersebut adalah sebagai berikut: Pertama,pengelolah Perguruan Tinggi memiliki peluang untuk merumuskan tujuan institusional masing-masing, yang mengacu kepada statuta yang disahkan oleh pemerintah. Tujuan institusional yaitu pada program studi yang dikembangkan sebagai penjabaran dalam pengembangan bidang ilmu yang di transfer kepada mahasiswa. Kedua,Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk merumuskan dan mengembangkan kurikulum, sesuai dengan tujuan institusional itu. Ia kemudian tercermin dalam kurikulum nasional dan kurikulum lokal. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengembangkan program pendidikan akademi, pendidikan profesi dalam bidang ilmu yang menjadi disiplinnya dengan memperhatikan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Ketiga, setiap Perguruan Tinggi memiliki peluang menciptakan situasi belajar yang mendukung pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan. Keempat,Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengembangkan sistem evaluasi yang dipandang tepat dan akurat, baik terhadap presatasi belajar mahasiswanya maupun terhadap keseluruhan penyelenggaraan pendidikan tinggi.[2]
Hal yang demikian itu memberikan kemungkinan kepada Fakultas Syari'ah dalam linjgkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN/STAIN atau PTAIS) untuk memanfaatkan otonominya. Perguruan Tinggi itu memiliki otonomi untuk mengembangkan program pendidikan tinggi, baik pendidikan akademik dan profesional maupun pendidikan profesi dalam satu bidang ilmu agama Islam, khususnya bidang hukum Islam dan pranata sosial.
Berkaitan dengan kurikulum IAIN sebelum lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 dan sesudahnya itu nampak perbedaan dari segi penataan jurusan (terkhusus pada Fakultas Syari'ah).
Dalam kurikulum 1988 pada Fakultas Syari'ah terdiri atas tiga jurusan, yaitu jurusan Peradilan Agama, jurusan Perdata Pidana Islam atau Muamalah dan jurusan Tafsir Hadis. Sedangkan berdasarkan kurikulum 1995 Fakultas Syari'ah, terdiri atas jurusan atau program Ahwal al-Syakhshiyah, jurusan studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, jurusan program studi Jinayah Siyasah dan jurusan program studi Muamalah. Perubahan kurikulum diatas, sangat tepat dilakukan sekarang, bersamaan dengan perubahan kurikulum Fakultas Hukum di tanah air kita, sebab tujuan pendidikan hanya dapat dicapai melalui penataan dan pengembangan kurikulum. Hal tersebut merupakan inovasi yang sangat tepat mengingat pada kurikulum 1988, Peradilan Agama secara khusus lebih terkonsentrasi pada jurusan Peradilan Agama, sedang pada kurikulum 1995 tersebar merata pada setiap program studi.
Bertolak dari hal tersebut, kebijaksanaan mengenai penataan jurusan pada Fakultas Syari'ah merupakan konstribusi posistif dengan harapan lulusan/alumni Fakultas Syari'ah, dapat diarahkan dan dipersiapkan menjadi tenaga yang profesional, keprofesionalannya paling tidak tercermin pada penguasaannya pada hukum formil dan materil yang berlaku dilingkup Peradilan Agama.
Hal ini tergantung pada insan akademik itu sendiri sejauhmana mereka mengaplikasikan menu yang telah dituangkan dalam kurikulum tersebut.
III. PERANAN PERGURUAN TINGGI ISLAM DALAM UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PERADILAN AGAMA (PELUANG DAN TANTANGAN)
Secara umum Perguruan Tinggi mempunyai dua misi yang saling berkaitan, yaitu misi kecil: menyiapkan generasi muda dengan jalan mengembangkan potensi pribadi setiap mahasiswa, dan misi besar: memainkan peranan kepemimpinan atas kehidupan masyarakat setempat. Hal tersebut sejalan dengan tri dharma Perguruan Tinggi yang meliputi: pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dalam GBHN 1993 pembangunan pendidikan di Perguruan Tinggi juga diusahakan agar Perguruan Tinggi mampu menyelenggarakan pendidikan, melakukan penelitian dan pengkajian di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan serta memberikan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Dalam GBHN 1999-2004 dikatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi. Dikatakan pula bahwa Perguruan Tinggi bertugas mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.[3]
Oleh karena itu, misi pendidikan tinggi hukum Islam dalam upaya peningkatan kualitas Peradilan Agama dapat diproyeksikan dalam konteks tersebut namun demikian terdapat sejumlah problem yang jalan keluar perlu untuk dipecahkan mengingat kondisi yang ada saat ini, maka beberapa strategi untuk dijalankan. Diantara strategi tersebut:
a. Pembaharuan metode pendidikan hukum selama ini pelajaran ilmu hukum yang diajarkan masih merupakan trikotomi antara Hukum Islam Barat dan Adat.[4]
b. Memproyeksikan lembaga tinggi hukum Islam pusat kajian hukum yang berwibawa.
c. Melakukakan pengkajian ulang terhadap hukum Islam. Hal tersebut sebenarnya telah dimulai beberapa tahun lalu tatkalah Pemerintah dan Mahkamah Agung merencanakan Undang-undang tentang Peradilan Agama dan KHI sebagi pelaksana Repelita IV. Menurut Bustanul Arifin, hal tersebut dinamakan konsep meluruskan konsepsi tentang syariat yang terdiri dari: membenahi Peradilan Agama terutama hakim-hakimnya, mengakrabkan umat Islam dengan yuridisprudensi dan membuat Kompilasi Hukum Islam[5].
Disamping hal-hal yang tersebut diatas, maka ada hal yang harus dicermati dikalangan Perguruan Tinggi dalam upaya peningkatan kualitas Peradilan Agama itu sendiri. Hal tersebut berupa kendala baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh kalangan Perguruan Tinggi dalam memformulasikan hal-hal yang ditempuh pada masyarakat yang menjadi objek langsung pengadilan agama di dalam berperkara. Kendala internalnya antara lain:
a. Masih lemahnya pemahaman hukum Islam dalam masyarakat Islam sendiri. Dalam hal ini diperlukan adanya sosialisasi dari Perguruan Tinggi pada masyarakat terhadap pemahaman hukum Islam itu sendiri.
b. Terbatasnya umat Islam di lembaga-lembaga penentu kebijakan hukum nasional.
c. Terbatasnya sumber dana, daya untuk melakukan pengkajian.
d. Konflik atas mazhab belum tuntas di kalangan masyarakat bawah.[6]
Sedangkan kendala externalnya antara lain:
a. Lemahnya orientasi hukum dalam masyarakat.
b. Lemahnya wilayah nasional dan beragamnya budaya masyarakat.
c. Masih berlakunya produk hukum Kolonial.
d. Masih adanya image negatif terhadap hukum Islam khususnya non muslim.
e. Munculnya berbagai kesenjangan sosial dalam masyarakat yang mendorong maraknya tindakan kriminal.
Disamping hal-hal yang telah disebutkan diatas, maka Perguruan Tinggi Islam perlu mencermati situasi Pemilu 1999. Apalagi jika dikaitkan otonomi daerah, di mana daerah berhak menentukan kebijakan dan pemerintahannya sendiri, sebab bukan tidak mungkin pada tahun-tahun berikutnya pada setiap daerah berhak menentukan hukum yang akan diterapkan pada wilayahnya masing-masing.
Hal itu antisipasi lebih lanjut mengenai kemungkinan hukum Islam diterapkan di setiap daerah, khususnya Sulawesi Selatan, karena kenyataan menyebutkan adanya keinginan masyarakat, misalnya mengenai hukum pidana masyarakat merasa perlu adanya reformasi oleh seseorang sanksi kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang yang melakukan kejahatan, yaitu hukum pidana (jinayah) Islam. Karena hukum yang ada (pidana) sekarang sudah tidak sesuai lagi.
Disinilah kalangan Perguruan Tinggi Islam penting untuk memikirkan dan merumuskan suatu rancangan undang-undang yang berazas pada hukum Islam, Perguruan Tinggi Islam harus bersifat proaktif dalam upaya tersebut.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, maka dapat dirumuskan suatu kesimpulan bahwa dalam upaya peningkatan kualitas Peradilan Agama diperlukan adanya peran serta dan tanggung jawab Perguruan Tinggi Islam sebagai lemabaga kontrol bagi peradilan agama. Di samping itu, diperlukan adanya suatu upaya dalam menyiapkan calon-calon hakim yang profesional serta aparat yang tersangkut paut dalam pengadilan agama yang berkualitas dan hal tersebut harus terealisasi dengan pengadaan kurikulum yang terprogram oleh Perguruan Tinggi dalam upaya peningkatan kualitas hakim Pengadilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum di Indonesia Cet. VIII; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, Cet. I; Jakarta : Gema Insani Press, 1996
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia , Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997
Gandasubrata, Poerwoto S. "Pengembangan Hukum Islam dalam Perspektif Pembangunan Hukum Nasional" dan Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani, 1996.
Umar, Nasaruddin. Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, (Makalah).
[5]Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, (Cet. I; Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 72
0 komentar
Posting Komentar