Selasa, 13 September 2016

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Dalam tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut seperti sekarang ini, dimana Negara kita mengalami krisis mulitidimensi yang berkepanjangan, baik di bidang ekonomi, politik dan sosial, kesemuanya ini sebenarnya adalah bersumber dari rendahya kualitas, kemampuan dan semangat kerja. Dari hal ini kita bisa katakan bahwa bangsa kita belum bisa mandiri dan terlalu banyak mengandalkan intervensi dari pihak asing. Sekalipun agenda reformasi terus diperjuangkan dan digulirkan dalam rangka memperbaiki krisis yang multidimensi ini, namun hal tersebut tidaklah berlangsung secara menyeluruh.
Di samping itu, reformasi yang sebenarnya secara hakiki kekuatannya terletak pada sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, serta memiliki visi, transparansi, dan pandangan jauh ke depan, yang tidak hanya mementingkan diri dan kelompoknya, tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan Negara dalam berbagai kehidupan kemasyarakatan. Salah satu wahana
untuk meningkatkan kualitas SDM tersebut adalah pendidikan, sehingga kualitas pendidikan harus senantiasa ditingkatkan. Pendidikan merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan, pada tempatnyalah kualitas SDM ditingkatkan melalui berbagai program pendidikan yang dilaksanakan secara sistematis dan terarah berdasarkan kepentingan yang mengacu pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan.[1]
Setiap bangsa, individu pada umumnya menginginkan pendidikan, yang yang dimaksud disini adalah pendidikan formal. Semakin banyak dan tinggi pendidikan maka akan semakin baik. Bahkan diinginkan agar tiap warga negara melanjutkan pendidikannya di Negara kita Indonesia[2]. Seperti diketahui, bahwa  selama tiga dasa warsa, dunia pendidikan di Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat pesat, hanya saja perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Bahkan mutu pendidikan di Indonesia telah lama menjadi keprihatinan banyak kalangan, terlebih setelah krisis ekonomi melanda kita. Sekalipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi hal tersebut, seperti adanya pemberian bantuan DBO kepada sekolah-sekolah yang memerlukan dan beasiswa kepada siswa, usaha ini bersifat parsial serta belum menyentuh pada intinya.
Bila dikaji tentang menurunnya mutu pendidikan di Indonesia, dapat dilihat sistem manajemen yang digunakan di sekolah, baik menyangkut kegiatan pembelajaran, manajemen sekolah, maupun partisipasi masyarakat. Karena sistem yang terlalu sentralistik dalam manajemen pendidikan, maka banyak hal yang menjadi masalah. Misalnya: rendahnya aktivitas belajar mengajar, kurang terbukanya kepala sekolah dalam mengelolah keuangan dan rendahnya partisipasi masyarakat terhadap kemajuan sekolah. Dan ini kita bisa lihat bahwa biasanya kepala sekolah mengundang pengurus Komite dan masyarakat apabila ada sesuatu yang diinginkan. Misalnya, sekolah akan membuat pagar sekolah, renovasi sekolah, dan lainnya. Dengan kata lain, semua kegiatan yang terkait dengan kebutuhan sekolah untuk menghimpun dana dalam arti masyarakat dan komite hanyalah menjadi pelengkap sekolah dalam hal menggali dana saja. Jika tidak dibutuhkan, maka masyarakat dianggap tidak mengerti tentang pendidikan atau perkembangan sekolah.
Selain itu, manajemen kepala sekolah juga amat tertutup sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan rasa curiga para guru dan masyarakat. Seharusnya kepala sekolah sebagai manajer dan leader mampu mengatur dan mengelolah seluruh program di sekolah mulai dari kegiatan perencanaan, penyelenggaraan pendidikan, sistem evaluasi, dan pelaporan khususnya keuangan secara terbuka. Kenyataannya tidak demikian mereka menerima uang dan mengelolanya tanpa melibatkan para guru dan komite. Hal ini di karenakan pertanggungjawaban kepala sekolah hanya terbatas pada atasan, tidak kepada masyarakat. Jadi bisa dikatakan bahwa pengelolaan pendidikan yang dianut dan dijalankan di indonesia selama ini sangat dominan  dalam pengambilan kebijakan. Sebaliknya, daerah dan sekolah bersifat pasif, hanya sebagai penerima dan pelaksana perintah pusat. Dan pola kerja sentralistik ini sering mengakibatkan adanya kesenjangan antara kebutuhan riil sekolah dengan perintah atau apa yang digariskan oleh pusat.[3]
B.     Rumusan dan Batasan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, maka penulis membuat rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimanakah konsep dasar manajemen berbasis sekolah ?
  2. Bagaimana fungsi  manajemen berbasis sekolah ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah
Sebelum melangkah pada pembahasan ini, terlebih dahulu penulis menguraikan tentang pengertian manajemem sekolah untuk membantu kita dalam memahami konsep manajemen berbasis sekolah secara utuh dan baik.
Kata manajemen berasal dari bahasa Inggeris “Management” yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan, pengelolaan,[4]  dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, kata ini diartikan sebagai proses merencanakan dan mengambil keputusan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan sumber daya manusia, keuangan, fisik dan informasi guna mencapai sasaran organisasi dengan cara yang efisien dan efektif[5]atau proses dengan mana pelaksanaan dari pada suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi.[6] Manajemen juga berarti keterampilan dan kemampuan untuk memperoleh hasil melalui kegiatan bersama orang lain dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.[7]
Kata berbasis adalah akar kata dari kata basis yang berarti dasar, pokok dasar atau pangkalan.[8]
Sedang sekolah adalah salah satu institusi manusia terpenting tempat proses belajar mengajar berlangsung. Lembaga ini mengajar anak didik membaca, menulis, dan keterampilan dasar lainnya yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.[9]
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa manajemen berbasis sekolah adalah suatu proses yang dilakukan bagaimana merencanakan, mengambil keputusan, mengorganisasikan, mengendalikan sumber daya manusia secara efektif dan efisien melalui orang lain atau bersama-sama orang lain dalam rangka mencapai tujuan pendidikan  yang telah ditetapkan pada lembaga sekolah.
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah, yakni; school based management atau school based decision making and management. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas ) pasal 4 ayat 6 menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan[10]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab semua elmen masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah ( Perlibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelolah sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan perioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agara mereka lebih memahami membantu dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam pada itu, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.[11]
Konsep Dasar
Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah, maka sebagai konsekwensi logis bagi manajemen pendidikan di Indonesia adalah perlu dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang bernuansa otonomi dan lebih demokratis.
Pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya[12]. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yag terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan – persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.  
 Konsep dasar school based management adalah mengalihkan pengambilan keputusan dari pusat/ Kanwil/ Kandep Dinas ke level sekolah, dimana dengan adanya pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menetukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya, dengan kata lain bahwa sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.[13]
Di samping itu, dengan adannya program sekolah yang relevan, maka diharapkan sekolah akan mampu menggali partisipasi masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan sekolah, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah.[14]
Manajemen pendidikan berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreativitas. Dan indikator keberhasilan MPBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu di tingkat sekolah.[15]
Dalam rangka pelaksanaan school basic management (SBM) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
1.      Sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli dan tanggung jawab terhadap masyarakat maupun pemerintah.
2.      Peranan pemerintah merumuskan kebijaksanaan pendidikan yang menjadi prioritas nasional dan merumuskan pelaksanaan SBM. Akan tetapi sekolah menjabarkannya sesuai dengan potensi dan lingkungan sekolah.
3.      Perlu dibentuk dewan sekolah.
4.      SBM menuntut perubahan prilaku kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi sekolah, guru dan tenaga administrasi menjadi lebih professional dan manajerial dalam pengoprasional sekolah.
5.      Dalam meningkatkan profesionalisme dan kemampuan manajemen yang terkait dengan SBM perlu diadakan latihan dalam rangka pengembangan profesi serta pemasyarakatan SBM.
6.      Keefektifan SBM dapat dilihat indikator-indikator sejauhmana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan sumber daya manusia dan administrasi.[16]
Yang perlu diperhatikan juga dalam implementasi manajemen berbasis sekolah adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri, yakni; kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana pendidikan, pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat, serta manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan.[17]
Demikian pula halnya dalam penerapan school basic management (SBM) ini, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya:
1.      Kesamaan persepsi
2.      Kejelasan koridor kebijaksanaan
3.      Perubahan pola hubungan sub-ordinasi menjadi kesejawatan
4.      Perubahan sikap dan prilaku
5.      Deregulasi
6.      Transparansi dan akuntabilitas.[18]
Dari paparan di atas, jelas bahwa manajemen berbasis sekolah akan membawa dinamika baru dalam pengelolaan sekolah yang secara signifikan berbeda dengan pola lama yang bersifat sentralistik.
School Base Management merupakan terjemahan dari School Based Management (SBM) adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain pengelolaan sekolah dengan kekuasaan kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, orang tua siswa dan masyarakat. SBM mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dari manajemen ke setiap kelompok yang berkepentingan di tingkat lokal ( local stakeholders ) .
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan  bahwa  jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan mempunyai  rasa memiliki terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki: makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab: dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya.
Dengan paparan diatas, maka sekolah memiliki kewenangan   (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya  (menetap-kan) sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu) serta partisipasi kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Jadi, sekolah merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi) merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu. Dengan konsep SBM diharapkan sekolah dapat melaukan perbaikan mutu yang berkelanutan ( quality continous improvement) dan memiliki kemandirian sehingga dapat lebih akuntabel.
Paradigma Konsep School Base Management
Paradigma konsep MBS mempunyai multidimensi, baik dilihat dari dimensi politik, edukatif, administratif, dan finansial. Dilihat dari dimensi politik, konsep MBS mempunyai 4 aspek[19], yaitu :
1. Perwujudan nilai sosial
2. Sumber kekuatan politik
3. Wahana pengujian kekuatan
4. Senjata politik.
MBS dalam banyak hal telah membawa pengaruh positif dalam : (a) peningkatan dan perbaikan pendidikan, (b) efisiensi, (c) pencapaian tujuan politik, serta (d) terciptanya keadilan dan pemerataan untuk memperoleh pendidikan. Indonesia sebagai negara yang majemuk perlu memperhitungkan berbagai variabel dalam penerapan konsep MBS agar pelaksanaannya mencapai efisiensi dan efektivitas yang diinginkan[20].
B.     Fungsi Manajemen Berbasis Sekolah.
Terbitnya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas  kian memperjelas dasar hukum tentang fungsi-fungsi manajemen yang didesentralisasikan. Bertolak dari semua peraturan dan perundangan yang terkait dengan pelaksanaan otonomi pendidikan-otonomi sekolah, anda diharapkan dapat mengidentifikasi secara jelas tugas dan fungsi sekolah dalam era otonomi saat ini.
Wohlstetter dan Mohrman, dkk. (1997) mengemukakan ada empat hal penting yang disentralisasikan atau kewenangan diberikan kepada sekolah. Pertama, kekuasaan (power) untuk mengambil keputusan. Kedua, pengetahuan dan keterampilan, termasuk untuk mengambil keputusan yang baik dan pengelolaan secara profesional. Ketiga, informasi yang diperlukan oleh sekolah untuk mengambil keputusan, semula informasi harus dikirim kepusat untuk pengambilan keputusan ditingkat pusat, sekarang sekolah mengumpulkan informasi terutama untuk dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan. Keempat, penghargaan atas prestasi, yang harus ditangani oleh masing-masing sekolah.[21]
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berfungsi untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi tersebut adalah diperoleh melalui keleluasaan  mengelola sumber daya, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh melalui  partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, serta berlakunya sistem insentif dan disinsentif. Sedangkan peningkatan pemerataan diperoleh melalui peningkatan partisispasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.[22]
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa tujuan diterapkannya manajemen berbasis sekolah adalah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para peserta didik, dimana otonomi dalam pengelolaan pendidikan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kepada kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Desentralisasi fungsi manajemen menurut UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 14 Tahun 2005, dan peraturan adalah[23] :
  1. Perencanaan dan Evaluasi
Dalam hal ini sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhan, misalnya untuk meningkatkan mutu sekolah. Maka sekolah perlu melakukan analisa tentang kebutuhan mutu yang dijadikan dasar untuk membuat suatu rencana. Di samping diberi kewenangan untuk membuat rencana juga diberi kewenangan untuk mengevaluasi secara internal (evaluasi diri).
  1. Pengembangan Kurikulum.
Satuan pendidikan sepenuhnya dapat mengembangkan kurikulum dengan mengacu kepada kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sehingga sekolah berkewenangan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Mengembangkan yang dimaksud adalah dapat memperdalam, memperkaya dan memodifikasi kurikulum, tetapi tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional.

  1. Pengelolaan Proses Pembelajaran
Di dalam PBM sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan tehnik-tehnik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik, baik siswa, guru, media atau sarana yang tersedia. Agar pembelajaran agar dapat lebih efektif dan menghasilkan prestasi yang tinggi maka proses pembelajaran  harus disusun berdasarkan kebutuhan sekolah. Dengan kata lain kurikulum jangan terbebani oleh materi yagn lain yang tidak relevan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan peserta didik, buka hanya pada penekanan penguasaan pengetahuan melainkan juga internalisasi tentang sesuatu yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta diaplikasikan.
  1. Pengelolaan Ketenagaan
Kewenangan sekolah  dalam mengelola ketenagaan nasih terbatas dalam rangka MBS, batasan tersebut sebatas mengelola pemanfaatan tenaga yang sudah diangkat oleh pemerintah. Tenaga honorer insentifnya sebagian besar dapat dibayarkan melalui dana BOS atau komite sekolah. Satuan pendidikan melalui kerja sama dengan pihak lain dapat melakukan penggalian sumber daya manusia dari luar sehubungan dengan keterbatasan tenaga yang diperlukan atau tidak mungkin pemerintah untuk mengangkatnya karena sifat keahliannya.
  1. Pengelolaan Fasilitas Sekolah
Sekolah merupakan lembaga yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas yang erat kaitanya dengan kelangsungan proses belajar mengajar, maka dari itu dalam pengelolaan fasilitas sekolah seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan sampai pengembangan. Akan tetapi Peraturan Pemerintah No. 19. tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan bab VII pasal 42 sampai dengan 49 menjelaskan bahwa di bidang sarana dan prasarana kewenangan bagi sekolah ada batasnya yaitu didasarkan pada kriteria minimal yang harus dimiliki oleh sekolah.

  1. Pengelolaan Keuangan
Kewenangan sekolah dalam pengeloalan bidang keuangan secara yuridis sesuai dengan konsep MBS terutama sekolah negeri. Hal tersebut berkaitan dengan pendanaan pendidikan yang dialokasikan 20 % untuk biaya pendidikan selain gaji pendidik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah. Salah satu realitas yang telah terjadi dalam pendanaan yaitu adanya BOS (Bantuan Operasional Sekolah ). Dengan dana BOS sekolah dapat mengembangkan dalam pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan walau di satu sisi kebijakan tersebut masih dirasakan kurang adil terutama bagi sekolah-sekolah yang jumlah siswanya sedikit. Namun demikian penyelenggara pendidikan  dapat mengelola dana dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk melakukan inovasi pengalokasian sumber dana bukan hanya dari pemerintah melainkan dapat bersama-sama sengan komite sekolah dapat menghimpun dana dari masyarakat, dunia usaha dan dunia industri ( DUDI ).
  1. Pelayanan Siswa
Mengenai pelayanan siswa yang sudah didesentralisasikan meliputi penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau memasuki dunia kerja sampai pengurusan alumni. Dalam manajemen siswa kepala sekolah bertugas menyeleksi siswa baru, menyelenggarakan pembelajaran, mengontrol kehadiran murid, melakukan uji kompetensi akademik/kejuruan, melakasanakan bimbingan karier serta penelusuran lulusan.
  1. Hubungan Sekolah dan Masyarakat.
Dukungan moral dan finansial merupakan esensi hubungan sekolah dengan masyarakat yang utama selain untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat. Hubungan sekolah dengan masyarakat mempunyai arti bahwa hubungan masyarakat sekolah merupakan suatu proses komunikasi antara sekolah dengan masyarakat dengan tujuan masyarakat mengetahui kebutuhan-kebutuhan pendidikan dan latihan serta menunjang kecerdasan dan bekerja sama dalam meningkatkan sekolah.
Adapun menurut Elsbree ( 1965 ) bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat memiliki tujuan:
a.       Meningkatkan kualitas belajar dan pertumbungan anak.
b.      Meningkatkan tujuan masyarakat dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
c.       Mengembangkan antusiasme dalam membantu kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat di sekitar sekolah.
Hubungan antar sekolah dengan masyarakat akan berjalan dengan baik apabila terjadi kesepakatan tentang arah kebijakan ( policy ), prencanaan  (planning ), program dan strategi pelaksanaan pendidikan di sekolah. Sehubungan dengan kondisi masyarakat berbeda dalam pemikirannya maka sekolah harus membuat program yang dapat menampung aspirasi dengan membentuk opini publik yaitu suatu pendapat dari hasil penyatuan berbagai variasi pendapat di lingkungan masyarakat sehingga akan terbentuk suatu pengertian yang utuh.
  1. Iklim Sekolah.
Supaya terjadi penyelenggaraan proses belajar mengajar yang efektif maka prasyarat yang utama yaitu iklim sekolah  baik fisik maupun nonfisik yang kondusif-akademik. Dengan kata lain menciptkan suasana lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari masyarakat sekolah, dan kesehatan sekolah yang mendukung serta kegiatan-kegiatan berpusat pada siswa.
Seiring dengan perkembangan dunia ilmu manajemen telah berkembang sebagai fenomena kehidupan modern menyertai kehadiran berbagai organisasi di masyarakat. Di dalamnya dimaksudkan untuk pengelolaan kegiatan manusia dalam memenuhi kehidupan secara bersama. Prilaku kerja sama sebagai sesuatu yang bersifat fitrah didasarkan pada prinsip tauhid, khalifah dan amanah[24]. Manajemen Islami diartikan sebagai suatu ilmu manajemen yang berisi  struktur teori yang menyeluruh dan konsisten serta dapat dipertahankan dari segi empirisnya yang didasari pada jiwa dan prinsip-prinsip Islam.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1.  Pola manajemen pendidikan sekarang ini telah bergeser dari pola manajemen lama menuju pola manajemen baru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan pogram dari padamengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program  peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sedang pola baru lebih menekankan kepada kemandirian sekolah dalam mengelola sistem pendidikan di sekolah berdasarkan pada reseorces yang dimiliki, baik sumber daya manusia, sarana dan prasarana, keuangan dan sebagainya. Pola baru manajemen pendidikan dalam pelaksanaannya lebih dikenal dengan Manajemen Berbasis Seklah ( MBS ).
2.  Fungsi-fungsi manajemen yang didesentrslisasikan di sekolah pada dasarnya dibagi menjadi dua bagaian yaitu : fungsi manajemen yang sudah dilakukan sebelum MBS diterapkan dan fungsi manajemen yang baru didesentralisasikan ke sekolah, yamg selama ini dimiliki pusat, profinsi atau daerah. Sedangkan kewenangan pengelolaan (manajemen) pendidikan di tingkat sekolah dibagi ke dalam dua kategori yaitu:
a.  Dari aspek fungsi yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan kepemimpinan.
b.  Dari aspek teknis yang dilakukan oleh sekolah dengan fungsi-fungsi: Perencanaan dan Evaluasi, Pengembangan Kurikulum, Pengelolaan Proses Pembelajaran, Pengelolaan Fasilitas Sekolah, Pengelolaan Fasilitas Sekolah, Pengelolaan Keuangan, Pelayanan Siswa, Hubungan Sekolah dan Masyarakat, Iklim Sekolah.


DAFTAR PUSTAKA

Arsyad,Azhar, Pokok-pokok Manajemen; Pengetahuan Praktis bagi Pimpinan dan Eksekutif, Cet, II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Batubara, Muhyi, Sosiologi Pendidikan, Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2004

E. Mulyasa., Manajemen Bebasis Sekolah, Cet. VII; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004

Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 10, Cet. I; Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990

John M. Echols  dan Hasan Sadily, kamus Inggeris Indonesia, Cet. XXIII: Jakarta: PT Gramedia, 1996

Nasution, S., Sisologi Pendidikan, Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Panglaykim dan. Hazil, Manajemen Suatu Pengantar, mCet. XV; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991

Poerwadarminta, W.J.S Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. VII; jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.

Sofa, Manajemen Berbasis sekolah, www. ditulis 24 Januari 2008.

Sufyarman M., Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, Cet. I; Bandung: CV. Alfabet, 2003.
Supriono S.,  Ahmad Sapari, Manajemen Berbasis Sekolah, Penerbit SIC, t. th.

Syaifuddin, Muhammad,Manajemen Berbasis Sekolah, DirJen Pend Tinggi Dep Pend nasional.,2007.

Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Cet.I.Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005

 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , Bandung : Fermana, 2006





[1] Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Cet. VII; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 3.
[2] S. Nasution, Sisologi Pendidikan, (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 13.
[3] Lihat Supriono S. Ahmad Sapari, Manajemen Berbasis Sekolah, (Penerbit SIC, t. th. ), h. 2-3.
[4] Lihat John M. Echols  dan Hasan Sadily, kamus Inggeris Indonesia, (Cet. XXIII: Jakarta: PT Gramedia, 1996), h. 372

[5] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 10, (Cet. I; Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 115.

[6] Panglaykim dan Hazil, Manajemen Suatu Pengantar, (Cet. XV; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), h. 26.

[7] Azhar Arsyad, Pokok-pokok Manajemen; Pengetahuan Praktis bagi Pimpinan dan Eksekutif, (Cet, II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 4.

[8] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. VII; jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), h. 94.

[9] Ensiklopedia Nasional Indonesia, Op.cit.,h. 471.
[10] Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , (Bandung : Fermana, 2006), h. 69.

[11] E.Mulyasa, Op.cit., h. 24
[12] Sofa, Manajemen Berbasis sekolah, www. Ut.ac.id  ditulis 24 Januari 2008.

[13] Sufyarman M., Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, ( Cet. I; Bandung: CV. Alfabet, 2003), h.86.

[14] Ibid.

[15] Muhyi Batubara, Sosiologi Pendidikan, (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2004), h.89

[16] Sufyarman M., Op.cit., h. 90.
[17] E. Mulyasa, Op.cit., h. 39.

[18] Lihat Sufyarma M., Op.cit., h. 97-100

[18] Sufyarma M., Op.cit., h. 90.

[19] Sofa, Manajemen Berbasis sekolah, www.ut.ac.id. ditulis 24 Januari 2008.

[20] Ibid.

[21] Muhammad Syaifuddin, Manajemen Berbasis Sekolah, DirJen Pend Tinggi Dep Pend nasional., h. 27-28
[22] Mulyasa, Op.cit.h. 25

[23] Ibid.,h. 29-40

[24] Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. (Cet.I.Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005) h. 186.

0 komentar

Posting Komentar