BAB I
PENDAHULUAN
“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,”
- Q.S. 50 Surah Al-Qaaf Ayat 16
A. Latar belakang
Sebuah kecenderungan klasik, sepanjang sejarah manusia, bahwa konflik-konflik intelektual yang besar, berlangsung menurut oposisi biner (dua posisi yang bersebrangan). Sebutlah misalnya, iman yang berhadapan dengan rasio, liberalisme dengan sosialisme, EQ versus SQ atau IQ yang berkompetensi dengan EQ. kemutlakan peran IQ yang dulu begitu diagungkan, kini sedikit tergeser posisinya dengan keberadaan EQ yang begitu menghebohkan.
Menurut seorang psikolog dari Yale, Robert Stemberg, seorang ahli dalam bidang successfully Inteligences yang mengatakan: “ Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk.” Fakar itu juga mengemukakan beberapa hal lain, sebagai berikut: “Salah satu sikap paling membahayakan yang telah dilestarikan oleh budaya kerja modern adalah bahwa kita tidak boleh, dalam situasi apapun, mempercayai suara hati atau persepsi kita. Kita dibesarkan untuk meragukan sendiri, untuk tidak memperdulikan intuisi, dan mencari peneguhan dari luar untuk hampir segala sesuatu yang kita perbuat. Kita kondisikan untuk mengandaikan bahwa orang lain lebih tahu dari pada kita dan dapat memberitahu kebenaran sejati dengan lebih jelas dibanding yang dapat kita ketahui sendiri.
Sebaliknya, pendidikan di Indonesia selama ini, terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke bangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, ketahanan mental, kebijaksaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri. Padahal justru inilah yang terpenting. Mungkin kita bisa melihat hasil dari bentukan karakter manusia dan kualitas sumber daya manusia di era ini yang patut dipertanyakan, yang berbuntut kepada krisis ekonomi yang berkepanjangan saat ini. Hal ini ditandai dengan krisis moral atau buta hati yang terjadi di mana-mana. Meskipun mereka memiliki pendidikan yang sangat tinggi dan gelar-gelar di depan atau belakang namanya, mereka hanya mengandalkan logika, namun mengabaikan suara hati yang sebenarnya mampu memberikan informasi-informasi maha penting untuk mencapai keberhasilan.
Kemudian di tengah kekeringan tersebut , buku-buku barat modern masuk ke Indonesia. Pada awalnya memberikan pencerahan pikiran dan hati, sehingga seakan-akan kiblat dan prinsip telah berpindah, padahal sebenarnya apa yang mereka cari saat itu, sangat dekat dengan dirinya. Namun seringkali mereka lakukan ritualnya yang telah mereka kenal sejak lahir. Suara-suara hati Ilahiyah yang fitrah sebagai perwujudan kecerdasan emosi Sang pencipta yang tak pernah disadari walau sebenarnya dekat dengan urat lehernya.
B. Batasan Masalah
Dengan merujuk dari latar belakang tersebut di atas, maka nampaklah bahwa suara hati sebenarnya mampu memberikan informasi-informasi yang maha penting untuk mencapai kebahagian hidup. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang suara hati, maka kami memberikan rumusan masalah sebagai berikut :
- Apakah hati itu?
- Apakah suara hati : suara manusia atau suara Tuhan?
- Bagaimanakah hubungan antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan spiritual (khususnya suara hati)?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hati
Hati atau al-qalb terbentuk dari akar kata qalaba (dalam bentuk kata kerja lampau) yang barmakna membalik, karena ia sering kali berbolak-balik, sekali senang dan susah, sekali setuju sekali menolak. Al-qalb amat berpotensi tidak konsisten. Menurut Abi Husain Ibn Faris kata al-qalb mempunyai makna pokok khalis syai’ wa syarafuhu (inti dari segala sesuatu dan yang paling utama). Karena ia akhlash syai fihi wa arfa’uhu (ia adalah suatu yang paling inti dalam diri manusia dan yang paling mulia).[1]
Menurut al-Ghazali bahwa hati itu dikatakan secara umum dengan dua arti, yaitu :
a. Hati dengan arti daging, yang berbentuk sanubari yang diletakkan sebelah kiri dari dada yaitu daging yang khusus, dan di dalamnya ada lobang, dan di dalam lobang itu ada darah hitam yang menjadi sumber ruh dan tambangnya.
b. Hati dengan arti sesuatu yang halus, rabbaniyah (ketuhanan), ruhaniyah (kerohaniahan). Dia mempunyai kaitan dengan hati jasmaniah. Hati yang halus itulah hakekat manusia. Dialah yang mengetahui, yang mengerti, yang mengenal dari manusia. Dialah yang diajak bicara, yang disiksa, yang tercela dan dituntut. Dan hati yang halus itu mempunyai kaitan dengan hati yang jasmani, dan akal kebanyakan makhluk bingung dalam mengetahui segi kaitannya. Sesungguhnya kaitannya dengan hati yang jasmani itu menyerupai kaitannya sifat-sifat terpuji dengan tubuh, dan sifat-sifat dengan yang disifati atau kaitannya orang yang memakai alat dengan alatnya atau kaitannya orang yang bertempat dengan tempatnya.[2]
Jika ada seseorang yang bertanya, ’Apakah hati itu’? Dimanakah terletak fakultas hati?” Biasanya orang-orang menjawab bahwa hati itu terdapat di dada. Jawaban seperti itu benar. Ada pusat syaraf di dalam dada manusia yang begitu sensitive terhadap perasaan-perasaan, sehingga selalu dianggap sebagai hati. Bilamana seseorang merasakan kenikmatan hebat, kenikmatan itu berada di pusat syaraf tersebut. Dia merasakan sesuatu bersinar di dalam dadanya, dan melalui cahaya pusat tersebut seluruh wujudnya tampak bersinar, dia merasa seperti terbang. Dan bila seseorang dilanda depresi atau putus asa dalam hidupnya, perasaan tersebut akan mempengaruhi pusat syaraf tersebut. Seseorang akan merasakan tenggorokannya seperti tercekik, dan nafasnya sesak seperti tertindis.[3]
Perasaan adalah getaran, dan hati adalah kendaraannya, dan aspek terpenting dari pikiran adalah perasaan. Jika fakultas ini tidak terbuka, maka bagaimana pun pintar dan bijaknya seseorang, ia tidaklah sempurna, dia tidak hidup. Pikiran hidup ketika perasaan dalam diri seseorang terjaga. Banyak orang menggunakan kata perasaan, tetapi sedikit dari mereka yang mengetahui hakekat perasaan. Dan semakin manusia mengetahuinya, maka akan semakin sedikit ia berbicara tentangnya. Wilayah perasaan sangatlah luas, sehingga tanda-tanda tentang Tuhan pun akan kita temukan dalam perasaan.
Tetapi hati bukan hanya itu. Untuk mengerti hati, seseorang harus menggambar sebuah cermin di depan hatinya, cermin itu diarahkan pada hati sehingga setiap hal dan setiap perasaan terpantul pada permukaan cermin itu, yang berada dalam wujud fisik manusia. Sebagaimana manusia tidak mengerti jiwanya, dia pun tidak mengetahui di mana letak hatinya, di mana letak pusat tersebut, di mana perasaan-perasaannya tereflesikan. Telah menjadi fakta yang diketahui ilmuwan bahwa ketika seorang anak dibentuk, pembetukannya dimulai dari hati. Tetapi konsep ahli mistik mengatakan bahwa hati , selain merupakan permulaan pembentukan, juga merupakan ruh yang membuat manusia menjadi pribadi. Kedalaman ruh itulah yang dalam realita kita sebut hati. Melalui hal ini kita mengerti bahwa ada suatu hal seperti hati, yang merupakan relung terdalam dari keberadaan manusia.[4]
Banyak orang percaya bahwa melalui bantuan akal, manusia akan bertindak berdasarkan standar moral tertentu. Tetapi sebenarnya bukan akal yang membuat orang menjadi baik, dan bahkan jika mereka tampak baik dan taat, kebaikan dan ketaatan itu dilakukan dengan dibuat-buat. Seorang narapidana dipenjara dapat nampak berlaku sopan santun. Tetapi ketaatan alami dapat ditemukan di tempat lain, yaitu dalam pancaran hati yang darinya kehidupan muncul, dan setiap tetes dari pancaran ini adalah kebajikan hidup. Ini membuktikan bahwa kebaikan itu bukanlah buatan manusia.
Sebagaimana firman Allah yang berbunyi/terjemahannya :
’”Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
Q.S. 22 Surah Al Hajj. Ayat 46.
Berdasarkan ayat tersebut di atas maka jelaslah bahwa seseorang yang melakukan prilaku tercela bukanlah karena panca indera yang tidak berfungsi tetapi hati orang yang bersangkutan yang tertutup dalam melakukan kebajikan-kebajikan. Dan bukanlah akal yang membuat orang menjadi baik, namun ada suatu hal, yakni hati, yang merupakan relung terdalam dari keberadaan manusia yang mampu menuntun manusia melakukan kebajikan..
B. Suara Hati
Suara hati: suara manusia atau suara Allah?- itulah suatu dilemma yang semu, karena suara hati adalah kedua-duanya bersama-sama: suara hati adalah suara manusia dan suara Allah, dalam suatu pengalaman vital di mana manusia menghayati bagaimana keakuannya yang diintensifkan, sejauh dia berkelakuan sebagai suatu makhluk yang bersifat ’ekssentris’, ialah yang pusatnya berada di luar batas-batas kodratnya, tetapi sekaligus di dalam dirinya dalam bentuk suatu panggilan untuk selalu melampaui batas-batas itu ke arah Allah. Itulah ’dinamisme spiritual’ sejati. Itulah signifikan kongkret dari pernyataan tentang manusia sebagai : imago Dei, citra Allah sendiri.[5]
Manusia pada hakikatnya memiliki suara hati yang sama, dan disebut God-spot atau fitrah. Sebagaimana di dalam al-Qur`an disebutkan bahwa sebelum bumi dan manusia diciptakan, ruh manusia telah mangadakan perjanjian dengan Allah, Allah bertanya kepada jiwa manusia: “Bukankah Aku Tuhanmu?” Lalu ruh manusia menjawab: “Ya, kami bersaksi…!” (baca : surah al-A`raf ; 127). Bukti adanya perjanjian ini menurut Muhammad Abduh ialah adanya fitrah iman didalam jiwa manusia. Menurut Prof. Dr. N. Dryarkara, S.J. ialah adanya suara hati manusia. Suara hati itu adalah suara Tuhan yang terekam di dalam jiwa manusia.
Karena itu bila manusia hendak berbuat tidak baik, maka pasti akan dilarang oleh suara hati nuraninya. Sebab tuhan tidak mau kalau manusia berbuat tidak baik. Kalau manusia tetap mengerjakan perbuatan yang tidak baik itu maka suara hatinya akan bernasehat. Dan kalau selesai pasti akan menyesal. Mac Scheler mengatakan bahwa penyesalan adalah tanda kembali kepada Tuhan. Namun adakalanya suara hati itu tertutup, buta. Manusia sering mengabaikan pengakuan ini, yang justru mengakibatkan dirinya terjerumus ke dalam kejahatan, kecurangan, kekerasan, kerusakan, kehancuran (non-fitrah) dan lain hal yang ada pada akhirnya mengakibatkan kegagalan atau tidak efektif, serta tidak maksimalnya suatu usaha.
Beberapa faktor yang yang bisa menutupi suara hati, yang tanpa disadari membuat hati manusia menjadi buta. Ini mengakibatkan dirinya memiliki kecerdasan hati yang rendah, serta tidak memiliki radar hati sebagai pembimbing. Suara hati sebagai pemberi informasi penting. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut :
1. Prasangka
Tindakan seseorang sangat bergantung dengan alam pikirannya masing-masing. Setiap orang diberikan kebebasan untuk memilih responnya sendiri. Ia bertanggung jawab penuh atas sikap yang ditimbulkan oleh pikirannya sendiri. Anda-lah “raja “ dari pikiran anda sendiri dan bukan lingkungan sekeliling. Prasangka yang negative mengakibatkan orang bersifat defensive dan tertutup.kareana beranggapan bahwa orang lain musuh berbahaya. Cenderung menahan informasi dan tidak mau bekerja sama.atau bahkan tersingkir di tengah pergaulan socialnya. Padahal pikirannyalah musuh yang paling berbahaya. Sebaliknya orang yang selalu berprasangka positif (memiliki prinsip), akan lebih mampu melindungi pikirannya. Ia mampu memilih respon positif di tengah lingkungan buruk sekalipun. Ia selalu berpikir positif dan selalu berprasangka baik kepada orang lain.
2. Prinsip hidup
Baru-baru ini sering terdengar prinsip baru diera krisis ekonomi, yakni tidak ada persahabatan yang abadi. Yang ada hanya kepentingan abadi. Prinsip-prinsip buatan manusia itu sebenarnya adalah upaya pencarian dan coba-coba manusia untuk menemukan arti hidup yang sebenarnya. Mereka pada umumnya memandang dari sebelah sisi saja dan tidak menyeluruh, tanpa menyadari bahwa sisi lain dari lingkungannya juga memiliki prinsip yang berbeda dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip yang tidak bersumber dari suara hati pada umumnya akan berakhir dengan kegagalan , baik kegagalan lahiriah maupun batiniah.
3. Pengalaman
Pengalaman hidup juga sangat berperan dalam menciptakan pemikiran seseorang sehingga membentuk suatu paradigma yang melekat dalam pemikirannya dan dijadikan tolok ukur dalam menilai lingkungannya. Akibatnya ia akan melihat segala sesuatu secara subjektif dan bukan melihat sesuatu secara riil dan objektif. Ia akan menjadi produk dari pikirannya.
4. Kepentingan dan proritas
Sebuah prinsip akan melahirkan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan proritas. Sedangkan proritas bermuara dari prinsip, suara hati, kepentingan dan kebijaksanaan. Seringkali suara hati kita turut berbicara namun diabaikan oleh kepentingan nafsu sesaat yang justru mengakibatkan kerugian jangka panjang. Padahal bisikan suara hati mampu mengendalikan proritas.
5. Sudut pandang
Sudut pandang yang berbeda terkadang seseorang menjadi egois dan fanatic sehingga selalu menyalahkan pendapat orang lain. Berbeda dengan orang yang selalu mendengarkan suara hatinya, meraka terlebih dahulu menelusuri alam pikirannya serta merenungkan apa yang sebenarnya bertengger di pikirannya .
6. Literatur
Beberapa literatur begitu menekankan pentingnya skill pembentuk kepribadian sebagai penuntun kesuksesan. Dan memperkenalkan arti sebuah paradigma, proaktif, visi, kemandirian dan kemenangan public. Tetapi tidak dijelaskan secara gambling prinsip apakah yang sebenarnya yang harus dipegang. Prinsip tersebut cenderung subjektif. Yang akhirnya melahirkan prinsip untuk kepentingan pribadi.[6]
Denikianlah beberapa factor yang bisa menutupi suara hati, namun terkadang manusia mengabaikan pengakuan ini, yang justru mengakibatkan dirinya terjerumus ke dalam kejahatan, kecurangan, kekerasan, kehancuran (non-fitrah) dan lain hal sehingga mengakibatkan kegagalan kebahagiaan dan ketentraman sejatidalam hidup ini.
B. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kecerdasan Spiritual (Suara Hati)
Pada prinsipnya kita harus sadar bahwa; “setiap manusia memiliki segudang kecerdasan, tetapi jika tidak dibarengi dengan kecerdasan spiritual, jiwa manusia tidak akan merasakan kebahagiaan.[7] Sebagaimana Toto Tasmara mengemukakan bahwa betapapun banyak kecerdasan yang dimiliki seseorang tetapi tidak dibarengi dengan kecerdasan spiritual maka dengan sendirinya kecerdasan yang lain tersebut tidak akan berguna sama sekali.[8] Hal tersebut senada dengan pandangan Ary Ginanjar bahwa kecerdasan emosional dan spiritual semestinya tidak boleh dipisahkan karena kecerdasan emosional yang tidak dibarengi kecerdasan spiritual akan menyebabkan manusia menjadi sesat dan spekulatif.[9]Oleh karenanya mengabaikan potensi kecerdasan spiritual, akan membawa masalah di kemudian hari. Kecerdasan spiritual yang dimaksud di sini, bukan berarti seseorang tersebut mampu melakukan ritual keagamaan dengan baik, tetapi harus percaya akan adanya kekuatan nonfisik yang lebih dari kekuatan diri manusia. Sebuah kesadaran yang menghubungkan manusia dengan Tuhan lewat hati nurani. Kecerdasan spiritual jangan hanya mampu melaksanakan ritus-ritus keagamaan tetapi yang lebih penting adalah pemahaman terhadap nilai-nilai ritualisme tersebut.[10] Sebagai contoh kesalah pahaman tentang kecerdasan spiritual hanya berhenti pada ritus adalah fenomena krisis kemanusiaan yang melanda bangsa Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim. Bangsa yang kelihatan sangat agamis, justru terkenal tindak kriminalnya, lebih menyedihkan lagi di tengah semaraknya aktivitas formal keagamaan, sering dipertontonkan prilaku-prilaku brutal seperti pembakaran tempat ibadah, perusakan rumah orang yang tak seagama, saling menjelek-jelekkan satu agama dengan lainnya yang sering berakhir dengan konflik dan peperangan.[11] Semua itu bisa terjadi karena mereka salah dalam memaknai keberagamaan. Ibadah mereka yang tampak khusyuk tidak menimbulkan spiritual apapun.
Fungsi agama (iman) yang ditumbuhkan sejak kecil, dan menyatu ke dalam kepribadian itulah yang membawa ketentraman batin dan kebahagiaan. Orang yang mempercayai benda-benda keramat, jimat dan sebagainya biasanya tenang selama benda tersebut ada padanya. Akan tetapi jika benda keramat itu hilang maka yang bersangkutan akan gelisah. Obyek keimanan yang tidak pernah hilang dan tidak akan berubah manfaatnya, adalah iman yang ditentukan oleh agama. Iman yang berlandaskan agama akan selalu mendatangkan ketentraman.
Dorongan berlebihan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, seperti harta, kedudukan, dan kehormatan, dengan mengabaikan keseimbangan hukum ketetapan Tuhan, terbukti hanya akan menghasilkan kegagalan bahkan sesuatu kehancuran. Dorongan untuk menjadi yang terbesar tanpa memperdulikan faktor-faktor lain, akan mengakibatkan seluruh sistem menjadi terganggu. Jauh dalam hati kecil, sebenarnya manusia telah mengetahui bahwa hal ini kelak akan terjadi, misalnya bencana gampa bumi, tsunami, banjir, gunung meletus yang terjadi secara beruntung di Indonesia, khususnya di Sumatera. Namun manusia mengabaikan suara hati tersebut, yang justru sebenarnya membisikkan informasi maha penting.
Di sinilah kepekaan terhadap kecerdasan emosional (EQ) sangat dibutuhkan, karena mungkin saja menurut perhitungan di atas kertas semua tampak baik dan sempurna. Hati yang jernih tetap akan menyuarakan informasi yang jauh lebih penting. Memang tak akan mampu membuat alasan apa saja secara logis dan masuk akal, sehingga siapapun bisa dikalahkan secara argumentative, bahwa hitungan di atas kertas itu benar. Tetapi, suara hati tidak akan pernah bohong, ia sangat jujur untuk mengatakan yang sebenarnya. Ini karena sifat Tuhan Yang Maha Besar yang telah terekam dalam hati manusia. Ketika sujud dalam shalat, doa yang diucapkan adalah “Maha suci Allah Yang Maha Tinggi”. Ini artinya bahwa untuk mencapai suatu ketinggian harus dimulai dengan hati yang suci dan jernih terlebih dahulu, sebelum menuju dan mengarah pada ketinggian sebagai suatu landasan keseimbangan. [12]
Ringkasnya, jikalau suara hati tampak baik seperti gema dari Allah di dalam diri kita, maupun sebagai sumber kewajiban-kewajiban yang mengkibatkan pernyataan kebenaran hakikat kita sejauh kewajiban-kewajiban tersebut dilaksanakan, maka itu berarti, bahwa manusia adalah makhluk yang secara structural terbuka terhadap sesuatu yang transenden. Keterbukaan semacam itulah membuat kita mengerti mengapa manusia tak bisa merealisir dirinya kecuali dengan melampaui dirinya.
BAB III
KESIMPULAN
Sungguh sebuah fenomena mengharukan, bahwa selama ini kurang lebih 1400 tahun lamanya harta karun yang tak ternilai harganya itu, terpendam begitu saja tanpa pernah dimaknai keberadaannya. Ia hanya terdapat di baris-baris paragraf dalam buku-buku agama penghias rak perpustakaan. Sebuah harta karun yang nilai intrinsiknya tak terukur tingginya, dialah HATI.
Hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam. Mengubah sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita rasakandan kita jalani. Hati adalah sumber keberanian, semangat, integretas dan komitmen. Hati adalah sumber energi, tenaga dan perasaan yang menuntut kita menciptakan, bekerjasama, , memimpin dan menolong.
Sedangkan Suara hati memberikan informasi penting kepada kita dan berpotensi menguntungkan setiap saat. Perasaan dan suara hati sebagai umpan kreatifitas. Suara hati membuat kita jujur terhadap diri kita, saling mempercayai dan menyelamatkan dari kehancuran.
Penggabungan atau sinergi antara kepentingan dunia (kecerdasan emosional) dengan kepentingan akhirat (kecerdasan spiritual), akan menghasilkan kebahagiaan dan kedamaian pada jiwa, sekaligus meningkatkan etos kerja yang tinggi tak terbatas sehingga menjadi asset yang paling penting dan menjadi ”rahmatan li alamin”.
DAFTAR PUSTAKA
Hasrat Inayat Khan, Spiritual Dimensions of Psycholoy, diterjemahkan oleh Andi Haryadi, Dimensi Spiritual Psikologi, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000
Imam Al-Ghazali, Ihya` Ulumuddin, diterjemahkan oleh Moh. Zuhri dkk, Semarang : CV. Asy-Syifa, 1413 H
Lihat, Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Lois Leahy, Manusia, Sebuah Misteri (Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal), Jakarta : PT. Gramedia, 1984
Sumarkan , Misteri Hati dalam Diri Manusia Perpektif, Jakarta : Lintas Pustaka, 2008
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta:Graha Ilmu, 2007
[1] Sumarkan , Misteri Hati dalam Diri Manusia Perpektif, (Cet. I; Jakarta : Lintas Pustaka, 2008), h. 9
[2] Imam Al-Ghazali, Ihya` Ulumuddin, diterjemahkan oleh Moh. Zuhri dkk, (Cet. I ; Semarang : CV. Asy-Syifa, 1413 H), h. 582
[3] Hasrat Inayat Khan, Spiritual Dimensions of Psycholoy, diterjemahkan oleh Andi Haryadi, Dimensi Spiritual Psikologi, (Cet. I; Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), h. 94-
[4] Ibid, h. 96
[5] Lois Leahy, Manusia, Sebuah Misteri (Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal), (Cet. I: Jakarta : PT. Gramedia, 1984), h. 287
[6] Ary Ginanjar, loc.cit, h. 15
[8]Lihat, Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 49
[9]Ary Ginanjar Agustian, op. cit., h. 47
[10]Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Edisi I (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2007) h. 139
[12]Ary Ginanjar Agustian, op. cit., h. 65
0 komentar
Posting Komentar