PERAN TASAWUF DALAM PERCERDASAN QALBU Kecenderungan mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah swt. adalah salah satu naluri (tabiat) manusia yang halus terhadap nikmat dan rahmat Allah swt. yang dirasakan begitu kasih dan sayang terhadap dirinya, munculnya perasaan tersebut bersamaan dengan munculnya benih-benih kecerdasan pada diri manusia secara bersamaan. Kecerdasan mulanya berkaitan dengan kemampuan intelek (baca: akal) dalam menangkap
gejala-gejala sesuatu sehingga kecerdasan
hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kognitif (al-majal al-ma’rifiy). Pada perkembangan berikutnya disadari bahwa kehidupan manusia bukan semata-mata terdiri dari unsur intelektual, melainkan terdapat struktur qalbu yang dapat menumbuhkan aspek-aspek afektif (al-majal al-infialiy) seperti emosional, moral, spritual dan bertuhan melalui agama. Mana kala iman dan tauhid telah terhujam kuat dan mendekap mesra dalam qalbu seseorang maka cenderunglah dia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt. terus menerus hingga dia merasakan kesedapan iman (halawatul iman) dan kenikmatan spritual yang tinggi. Perasaan ini membangkitkan cinta dan menggelorakan rindu terhadap Allah, sedemikian Maha Baik dan Maha Kasih terhadap hamba-Nya. Manusia yang demikian ini berusaha dengan penuh ikhlas menempuh jalan Allah swt. Kita mengakui bahwa Allah swt. Maha Khalis “Laisa Kamislihi” Maha halus kata-kataNya tiada bersuara.(Prof. Dr. H. Kadirun Yahya; Silsilah Thareqat Naqsyabandiyah, h.)
Nilai tasawuf dapat mewarnai tumbuh subur dan suburnya kecerdasan Qalbiyah pada diri manusia, sedangkan penggunaan “kecerdasan Qalbu” di sini dimaksudkan untuk menggambarkan sejumlah kemampuan diri secara cepat dan sempurna dalam mengenali qalbiu itu sendiri beserta aktifitas-aktifitasnya (af’al al-Qalbiyah) mengelola dan mengekspresikan jenis-jenis qalbu secara benar, memotivasi qalbu untuk membina hubungan moralitas dengan orang lain dan hubungan ubudiyah dengan Tuhan.
Dalam membina kecerdasan qalbiyah manusia yang begitu rindu kepada Allah swt. yang telah banyak memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada hamba-hambanya, bagi mereka sesungguhnya Allah swt. telah merentangkan jalan yang mudah, gampang dan lurus guna mencapai tingkatan (maqamat) kerohanian yang paling tinggi. Jalan tesebut telah ditandaskan dengan gamblang dalam al-Qur’an dan dijelaskan dalam sunnah Rasulullah saw. firmannya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”. (QS. al-Bayyinah [2]: 5.)
Sakinah dan kecerdasan dan kebagiaan yang didambakan oleh setiaf insan itulah yang diusahakan ahli tasawwuf hingga dia mencapai keridahaan Allah swt. seperti: firman Allah “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. (QS. al-Fajar (89): 27-30.
Berkenaan dengan kehidupan manusia yang sifatnya duniawiyah semata-mata. Hukum asalnya adalah boleh (mubah) sedangkan yang berbentuk ibadah tidak boleh dilaksankan kecuali ada perintah untuk itu. Sesuai dengan kaedah ushul bahwa: asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menyatakan hukumnya haram, sedangkan asal ibadah adalah haram sampai ada perintah yang menyuruhnya.
Gambaran di atas dapat dimaknai bahwa bagian pertama adalah masalah tasawwuf yang menitikberatkan pembidangannya kepada masalah rohani/batiniyah, sedangkan bagian kedua menitikberatkan pembidangannya kepada masalah jasmani/lahiriyah.
Seseorang yang melaksanakan ajaran agama karena Allah swt. harus terpaut dengan dzahir dan bathin dalam pengamalannya. Dengan kata lain pengamalan tasawwuf dan pengamalan syariat harus berjalan secara simultan bersamaan dzahir dan bathin. Itulah amalan-amalan yang dilakukan oleh kaum sufi. Amalan tasawwuf tanpa syariah tidak berbekas, sebaliknya amalan syariah tanpa tasawwuf tidak berarti.
Secara tegas dikatakan bahwa pemahaman tasawwuf yang disebut sufisme dan Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana halnya hati nurani dan kesadaran tertinggi yang juga tidak dapat dipisahkan dari agama. (Djamal Nur, h. 3)
Simposium yang diadakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 Pebruari 1966 tentang pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menyebutkan kesimpulan-kesimpulan antara lain;
a. Tasawwuf adalah salah satu jalan dari ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Rasul dan merupakan roh (jiwa) Islam.
b. Tujuan tasawwuf adalah untuk mempertebal iman dan tauhid serta mempertinggi akhlaq.
c. Tarekat adalah metode melaksanakan tauhid dan ibadah untuk pendidikan rohani.
d. Di samping melaksanakan segala amal ibadah yang wajib dengan sebaiknya Islam juga menganjurkan memperbanyak amalan-amalan sunnah seperti zikir, salawat, doa, wirid dan sebagainya, sehingga syariat, tarekat, hakekat dan marifat tidak dapat pisahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, melaksanakan tarekat harus dibarengi dengan syariat. (Ibid).
Adalah amat keliru orang yang mempertentangkan antara tarekat tasawwuf dengan syariat, sebab jelas di dalam anjuran al-Qur’an dan al-sunnah supaya kita melaksanakan seluruh amalan kebaikan ibadah (lahiriyah) dengan ikhlas (batiniyah). Syariah yang dimanifestasikan dalam bentuk amaliyah akan memberi bekas dengan jelas dan cepat bila dijiwai dengan ikhlas (rohani) lahirlah sifat taqwa (muttaqin), sebaiknya keikhlasan dan ketaqwaan itu akan meningkat kualitasnya melalui amalan-amalan syariah sesuai dengan sabda Rasul bahwa “Sesenguhya sah amal itu bila dilaksanakan dengan niat” (Hadis Nabi, h,). Demikian firman Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS [51] adz-Dzariyat: 56)
Menempuh jalan spiritual (syair) dengan ibadah fardu yakni taklif Ilahi, maka dia seperti orang yang terus menerus beribadah kepada Allah SWT. sebagai manafestasi kehinaan dan kefakiran dihadapan Tuhan yang Maha Kaya. Dengan demikian ia sampai ke tingkat (maqam) kedekatan (al-qurb).7. Sikap ini melahirkan buah istiqamah dan senantiasa mengingat Allah terus menerus.
II. PENGERTIAN TASAWWUF
Setelah mempelajari arti tasawwuf menurut bahasa dan defenisi-defenisi yang ditetapkan oleh para ahli dalam bidang ini dapat disimpulkan bahwa; baik menurut bahasa (etimologi) maupun menurut istilah (terminologi) tasawwuf adalah usaha untuk membersihkan rohani guna mendekatkan diri kepada Allah dengan meningkatkan amal saleh, berakhlak dan beribadah menurut yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. (Djamal, Op,cit, h. 4).
Sehubungan dengan pengertian tersebut, apakah defenisi tasawwuf yang lebih jelas. Maka berikut disebutkan beberapa defenisi yang mengarah pada kebenaran dalam hal yang berkaitan dengan arti yang hakiki dari masalah ini:
1. Abu Sa’ad Al-Kharraz (wafat, 277 H) ketika ditanya tentang siapa ahli tasawwuf itu, ia menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang dijernihkan hati sanubarinya oleh Allah dan telah dipenuhi dengan cahaya. Mereka tenang bersama Allah. Mereka tidak berpaling dari Allah dan hatinya selalu mengingat-Nya (bersikir kepada Allah).
2. Al-Junaid Al-Baghdadi (wafat 297 H) berkata “Tasawwuf artinya Allah mematikan kelalaianmu dan menghidupkan dirimu dengan-Nya.
3. Abu Bakar Muhammad al-Kattani berkata, “Tasawwuf adalah kejernihan dan penyaksian”.
4. JA’far al-Khalidi (wafat 348 H) berkata “Tasawwuf itu memuaskan segenap jiwa raga dalam beribadah dan keluar dari kemanusiaan serta memandang pada al-Haq secara menyeluruh.
Tetapi perlu dipahami bahwa pada perinsipnya pengertian tasawwuf bila dikutif dari orang per orang yang memang berkecimpung pada bidang ini, akan ditemukan intrepretasi atau pandangan yang sering berbeda antara tokoh yang satu dengan yang lainnya sebab memang pada dasarnya mereka cenderung memberikan pengertian yang berdasarkan analisis dan logikanya sesuai pengalaman dan segenap yang dirasakan. Supaya mudah dipahami oleh kalangan mereka atau para jamaahnya. Sehingga muncul suatu kesan bahwa defenisi tentang tasawwuf tidak ada dan memang itu tidak penting. (Hasil penelitian penulis; 1997 di Makassar).
Jadi tasawwuf bisa melahirkan sejumlah defenisi sesuai jumlah manusia yang mengalaminya, sebab pengalaman individu dalam amalan spiritual (tarekat/tasawwuf) sifatnya berbeda-beda, tergantung kepada keadaan hati dan frekuensi kekhusyuan si pengamal. Tasawwuf bisa berarti penenang hati pengobat luka, penentu jalan hidup manusia untuk dunia dan akhirat, membimbing manusia menuju Allah melalui sebuah hati yang tenang. Dan Allah hanya bersama dengan hambanya yang hatinya senantiasa selalu tenang.
Dilain pihak secara empirik ada kelompok tertentu (kelompok minoritas) tasawwuf atau tarekat yang tidak sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sehingga merupakan bid’ah dhalalah disebabkan oleh berlebih-lebihannya si pengamal tersebut dalam pelaksanaan amaliahnya dan cenderung dipengaruhi oleh ajaran agama lain seperti; Agama Hindu, Kristen dan Budha dan bahkan agama nenek moyangnya, yang melahirkan sebuah konsep “jenne teppettu sempajang tallukka” artinya ia selau dalam keadaan berwud’u dan shalat, akan tetapi secara syariat tidak pernah shalat tetapi menganggap selalu bertemu dengan Tuhannya. Dalam kondisi tersebut para orientalis sengaja membesar-besarkan dan menonjolkan pelaksanaan tasawwuf ini, dengan tulisan-tulisannya yang licik sehingga tergambar atau terkesan pelaksanaannya sebagai suatu amalan syirik terutama dalam wasilah dan mursyid. Mereka sesungguhnya tidak mengerti dalam masalah ini, atau disalah mengertikan sehingga dia menjadi amalan yang salah (bid’ah) dan dipertentangkan dengan syari’ah. (Hasil penelitian, ibid,)
Diakui dengan jujur memang ada sebagian kecil tasawwuf/tarekat yang demikian, sehingga para ahli tasawwuf/tarekat pun yang tergolong dalam kelompok muktawarah tidak mengakuinya. Adalah tidak adil mengeritik dan memvonis tasawwuf/tarekat secara keseluruhan hanya dengan melihat yang salah itu. Apalagi dengan hanya melihat sebahagian dari perilaku para mustaswif (sufi gadongan). Di Indonesia ada beberapa tarekat muktawarah (tarekat yang diakui kebenaran dan keabsahannya oleh Departemen Agama/kalangan ulama muhakkikin/ulama-ulama ahli dalam bidang ini) yang mashur antara lain: Tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Bahau’ddin al-Uwaisi al-Bukhari (717-791 H.) Tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani (wafat 561 H.), tarekat syaziliyah yang didirikan didirikan oleh Abdul Hasan Ali Asy-Syaziliah, Tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Suhrawardi (wafat 1167 M.), Tarekat Khalidiyah yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Zuhdi al-Khalidi, Tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad Samman (wafat 1720 M.) dan aliran tarekat-tarekat lainnya.
Secara prinsip aliran-aliran tarekat itu berpegang teguh kepada ahlusunnah baik aqidah maupun syari’ah. Aliran-aliran tarekat ini melaksanakan peramalan-peramalan/wirid dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. yang berbeda hanya peneklanan kepada zikir, kepada salawat, istighfar, doa dan lain-lain sebagainya. Peramalan-peramalan itu dilaksanakan sebagai peramalan sunnat, disamping ia badah-iabdah wajib yang telah ditetapkan. Amalan-amalan sunnat itu sebagai realisasi pelaksanaan sabda Rasul dalam hadis Qudsi bahwa “ Barang siapa yang memusuhi seseorang peneolong-Ku maka Aku mengumumkan perang kepadanya (jelas, ia kekasih Allah adalah aparat Allah SWT. ditangan Allah karena menerima penerusan dari Nurun ala Nurin dengan sempurna), dan apa bila hamba-hamba-Ku menghampirkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan, yang lebih Aku cintai, daripada hanya sekedar mengamalankan apa-apa yang telah Kuwajibkan atasnya, kemudian itu ia terus menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan yang nawafil (yang baik), hingga Aku mencintainya, maka apabila Aku mencintainya, adalah Aku pendengarannya bila ia mendengar, dan Akulah penglihatannya bila ia melihat, dan adalah Aku tangannya bila ia mengambil (melakukansesuatu), dan adalah Aku kakinya bila ia berjalan, demikian jika memohon, niscaya Aku perkenankan permohonannya, demi jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pastilah Aku lindungi dia. (Lihat Hadis Qudsi, dalam kitab, h)
Jadi pengertian tarekat/tasawwuf adalah jalan atau sistem yang ditempuh untuk semata-mata menuju keridhaan Allah SWT. dengan kata lain tarekat merupakan saluran atau pelaksanaan daripada tasawwuf. Firman Allah SWT. “Dan bahwasannya jikalau mereka tetap berjalan di atas metodologi yang benar (tarekat) niscaya akan kami turunkan hujan (rahmat) yang lebat (nikmat, rezeki yang banyak)”. (Departemen Agama, QS [72] al-Jin: 16
III. KEUTAMAAN TASAWWUF DAN PERANANNYA
Salah satu peramalan utama dalam tarekat adalah zikir yang dilaksanakan bisa dengan lisan, dengan qalbu dan sirr, zikir berarti menyebut nama Allah dengan lisan berdasarkan perintah Allah dalam al-Qur’an dan mengikuti contoh-contoh yang diberikan oleh Rasulullah saw. Kalimat-kalimat zikir bisa dengan menyebut ismuzzat (Allah), tahlil (la ila ha illallah), tasbih (subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allahu Akbar) taqdis (Quddusun), hawqalah (lahawla wala quwwata illa billaah), hasbalah (Hasbiyallah), basmalah (bismillahirrahmanirrahim), tilawatil Qur’an dan lain-lain yang diajarkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dengan demikian begitu pentingnya zikir sehingga Allah swt. berfirman bahwa “karena itu ingatlah (berzikir) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula (berzikir) kepadamu”. (Departemen Agama, QS [2] al-baqarah: 152.
Inti dari segala zikir yang mencakup seluruh zikir adalah shalat, seperti firman Allah SWT. “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah SWT. tidak ada Tuhan selain Aku, karena itu sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (berzikir) kepada-Ku”. dalam QS. [20] Thaha: 14
Zikir dipandang sebagai rangkaian iman yang beriman berikanlah (dengan menyebut nama Allah), zikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbilah kepada-Nya di waktu pergi dan petang.
Dalam pandangan al-Hallaj bahwa Allah dan manusia masing-masing memiliki aspek lahut dan nasut (Harun Nasution, Filsafat DaN Mistisisme Dalam Islam , 1987, h. 86). Nasut Allah berada dalam bentuk Adam yang dimiliki-Nya, sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang berasal dari-Nya. Manakala seorang sufi sudah suci jiwanya, maka NasutAllah akan bertempat pada diri manusia yang bercampur dengan ruh (lahut) manusia. Percampuran dua aspek inilah yang disebut Hulul. (Afifi, 1963, h. 233/Krisis dan Tasawuf, h. 19). Dalam kondisi inilah manusia akan memperoleh kebahagian dan kesempurnaan serta kedamaian. (Penulis).
Seorang murid tarekat (zalik) yang tengah menempuh perjalanan rohani, mempunyai beberapa bentuk dalam perjalanannya itu, antara lain:
1. Peningkatan ibadah kepada Allah SWT. yang ditetapkan oleh Syekh Mursyid terhadap murid/zalik, guna memperbaiki kekurangan dan kelemahan yang bersangkutan dibidang syariat. Kegiatan ibadat ini dilakukan dengan berkekalan wudhu (tidak batal wudhu). Menigkatkan kuantitas dan kualitas shalat, meningkatkan peramalan zikir dan wirid.
2. Melaksanakan kegiatan riyadhah (latihan-latihan) dan mujahadah (kesungguhan hati) dalam bentuk iktilaf, zuluk dalam beberapa hari tertentu, mengurangi makan dan minum, mengurangi tidur, mengurangi berkata-kata dan lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadat.
3. Melaksanakan kegiatan pengabdian dan pengkhidmatan, pemberian pertolongan dan bantuan dikalangan sendiri dan kepada sesama manusia serta menghilangkan perasaan bangga karena kekayaan, kepintaran, karena keturunan atau karena kedudukan. Bentuk ini dinamakan tarekat khidmah wabazlul jaah.
4. Latihan untuk menjadi orang yang pemberani dan tegas dalam membela agama, dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah SWT. Bentuk ini dinamakan tarekatul mujahadah wa ruquubul ahwal.
5. Kegiatan melakukan perjalanan yang melelahkan, seperti masuk ke dalam hutan, bukit atau gunung atau perjalanan ke negeri-negeri yang jauh, untuk mendapatkan kesempatan belajar dan beribadat yang lebih baik. (Kadirun Yahya, Syariat Dan Tarekat. 1998, h.).
Lebih tegas Allah berfirman “Dan telah kami janjikan kepada Musa (memberikan taurat) sesudah berlalu waktu (berkhalwat) tiga puluh malam, dan kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh malam lagi maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam”. (Departemen Agama, QS: al-A’raf: 142
Dalam hadis Bukhari diriwayatkan bahwa “Nabi Muhammad diberi kesenangan menjalankan khalwat di gua hirah dengan tujuan beribadat kepada Allah SWT. pada beberapa malam yang tidak sebentar. Berdasarkan ayat al-Quran dan hadis ini, jelas suluk dan khalwat adalah sunnah Rasul. Yakni Nabi Musa berkhalwat di Bukit Tursina dan Nabi Muhammad berkhalwat di Gua Hira.
IV. Penutup
Esensi agama Islam adalah moral, yaitu moral antara seorang hamba dengan Tuhannya (Hablun Minallah), antara seorang hamba dengan dirinya sendiri, antara dia dengan orang lain (Hablun Minannas).
Moral yang diajarkan oleh tasawuf akan mengangkat manusia ke tingkat shafa al-tauhid. Pada tahap inilah manusia akan memiliki moralitas Allah (al-Takhalluq bi Akhlaq Allah). Manakala seseorang dapat berperilaku dengan perilaku Allah, maka terjadilah keselarasan dan keharmonisan antara kehendak manusia dengan Iradah-Nya. Pengaruhnya ialah, seorang tidak akan mengadakan aktivitas kecuali aktivitas yang positif dan membawa kepada tindakan yang bermafaat. (Abdul Muhayyah, Tasawuf dan Krisis, 2001, 24)
Lebih lanjut, tasawwuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spiritual, sebab pertama; tasawwuf secara psikologis merupakan hasil dari pengetahuan langsung. Pengalaman keagamaan ini memberikan sugesti dan pemuasan (pemenuhan kebutuhan) yang luar biasa bagi pemeluk agama. Kedua; kehadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Perasaan-perasaan mistik seperti ma’rifat, ittihat, hulul, mahabbah, uns dan lain sebagainya mampu menjadi “moral force” bagi amal-amal shahih. Ketiga; dalam tasawwuf, hubungan seorang hamba dengan Allah dijalin atas rasa kecintaan, Allah bagi seorang sufi bukanlah Dzat yang menakutkan, tetapi Dia adalah Dzat yang sempurna, Indah, Penyayang dan Pengasih, Kekal, al-Haq, senantiasa hadir kapan pun dan di mana pun, akan tetapi segalanya dapat diperoleh oleh setiap hamba yang telah berada pada tahap (maqam): tobat (tawwabin), taqwa (muttaqin) dan ikhlas (mukhlisin) (al-Qusyairi, 1957, h. 47. Al-Hujwiri, 1980, h. 535).
Selanjutnya, amal shahih akan membuahkan pengalaman-pengalaman mistik yang lain dengan lebih tinggi kualitasnya, Nabi Muhammad Saw. Bersabda bahwa “Apabila seorang hamba mendekat kepada Allah SWT. melalui ibadah sunnah (nawafil), maka Allah SWT. akan mendekat kepadanya. Jika ia mendekat sejengkal, maka Dia akan mendekat sehasta, bila ia mendekat sehasta, maka Dia akan mendekat sedepa, dan apabila akan mendekatinya dengan jalan kaki, maka Dia akan mendekatinya dengan segera. (Hadis dicari) 18
Cara memelihara jiwa yang ada dalam diri manusia Tasawwuf salah satu cabang ilmu ke-Islaman memberikan perhatian khusus pada aspek spiritualtas yang dimiliki manusia. Ilmu ini mengajarkan proses pembersihan, pemberdayaan (empowerment). Proses pertama disebut takhally. Dalam proses ini seorang Sufi diharuskan mengosongkan ruh mereka dari berbagai sifat yang tercela yang datang dari pengaruh jasad. Seorang sufi dalam menempuh proses pertama ini agar mencapai tujuan, mereka harus melalui maqamat seperti; tobat, wara’ dan zuhud. (al-Hujwiri, 1980, h. 539).
Proses kedua disebut tahally. Pada tahap ini seorang diharuskan memiliki sikap qana’ah, ridha, tawakkal, taslim, tafwidh dan lain sebagainya. Sikap semacam ini bisa ditimbulkan dengan cara melakukan berbagai fadha’il al-amal. Sebab dengan melakukan amalan-amalan yang terpuji jiwa seseorang akan bersih, terhias dan siap menerima iluminasi Allah SWT. (Al-Qusyairiyah, 1957, h. 47). Dengan begitu terjadilah proses ketiga yang disebut tajjally. Pada tahap ini muncul suatu keadaan yang berdasarkan kehendak Allah diluar batas kesadaran manusia. (Abdul Muhayyah, 2001, h, 28).
Jiwa mansuia yang telah melalui tiga proses riyadhatun Nafs di atas, belumlah cukup sampai di situ, selain itu sangat perlu selalu mengadakan mujahadah (menghitung-hitung pahala dari amalnya cukup atau belum) dan murakabah (senantiasa mengawasi amal-amal yang telah dilakukan), sehingga selalu terjaga dari dosa.
Daftar Pustaka
1. Departemen Agama RI.
2. Saidi Syekh Kadirun Yahya. Silsila Thariqat Sufi Naqsabandiyah. Arco Bogor. Jakarta. T.Th.
3. ____________, Syariat Dan Tarekat, Sawangan Jakarta. 1998
4. Abu al-A’la Afifi, al-Tasawuf al-Tsaurah al-Ruhiyah fi al-Islam, Iskandariyah: Dar al-Ma’arif. 1963
5. Al-Qusyairi, Abd al-Karim, al-Risalah al-Qusyairiyah. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi. 1957
6. Abdul Muhaya, Maqamat (Station) and Ahwal (States) According to al-Qusyairiyah and al-Hujwiri: A comparative Study. Jakarta: Departemen Agama RI. 1996
7. ____________, Tasawuf Dan Krisis, Jakarta. 2001
8. Djamaan Nur (Drs), Peran Tasawuf Ditinjau Dari Syariat Islam, Sawangan Bogor, Jawa Barat. 1993
9. Hadarah, Pengaruh Sufisme Terhadap Wawasan Intelektual Muslim. Makassar Sul-Sel. 1997
10. Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta Bulan-Bintang. 1987
11. Abdul Halim Mahmud, Tasawwuf di Dunia Islam, Pustaka Setia, Bandung. 2002
0 komentar
Posting Komentar