Jumat, 23 September 2016

DINASTI MAMALIK

I.     PENDAHULUAN
Kemunculan dan kebangkitan suatu dinasti semacam Dinasti Mamalik di Mesir merupakan suatu fenomena yang unik. Philip K. Hitti menyebutkan bahwa Dinasti Mamalik[1] adalah dinasti yang luar biasa karena dinasti ini dihimpun dari budak-budak yang berasal dari berbagai ras yang dapat membentuk pemerintahan oligarki[2] di suatu Negara yang bukan tumpah darah mereka.[3] Sultan-sultan yang berasal dari budak-budak ini pantas mendapat acungan jempol dengan keberhasilannya mendirikan suatu Negara yang kokoh dan kuat.

Sedangkan John L. Esposito menyebutkan bahwa Dinasti Mamalik adalah dinasti yang berhasil melawan Mongol,[4] selama beberapa waktu mereka berhasil menahan laju serangan pasukan Mongol pimpinan Hulagu dan Timurlenk. Seandainya mereka gagal bertahan, tentu seluruh tatanan sejarah dan kebudayaan di Asia Barat dan Mesir akan berubah drastis. Berkat kegigihan mereka, Mesir bisa bertahan, dan selamat dari serangan Mongol yang telah menghancurkan Suriah dan Irak.[5]
Dinasti ini mulai bangkit bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Bagdad dan pengunduran Islam di Spanyol. Pada perkembangan selanjutnya, wilayah kekuasaannya meliputi Mesir dan Syiria,[6] yang pada masa sebelumnya wilayah ini dikuasai Dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh Salah ad-Din pada tahun 1169.[7] Kekuasaan Ayyubiyah berakhir dan digantikan oleh Mamalik Bahri pada tahun   1250 M.
Dinasti Mamalik sebagaimana dinasti-dinasti lainnya setelah mengalami kemajuan di berbagai bidang, akhirnya surut dan dihancurkan oleh dinasti Islam yang lebih kuat. Untuk lebih jelasnya bagaimana pembentukan, kemajuan-kemajuan yang dicapai dan proses kehancuraan Dinasti Mamalik, maka dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa fokus masalah di atas.

II.    PEMBAHASAN
A.    Proses Pembentukan Dinasti Mamalik
Dinasti Mamalik di Mesir berkuasa selama dua dan tiga perempat abad (1250-1517 M). Kaum Mamalik adalah para imigran Mesir yang pada awalnya merupakan budak-budak yang datang dari daerah pegunungan Kaukasus (kemudian disebut Mamalik al-Bahriyun) dan Laut Kaspia (Mamalik al-Burjiun). Dinasti Ayyubiyah menempatkan mereka di barak-barak militer pulau Raodhoh di sungai Nil untuk dilatih dan dididik secara baik. Di tempat inilah mereka diajari membaca, menulis dan pengetahuan kemiliteran, bahkan diberi pendidikan agama[8] serta dijejali dengan loyalitas terhadap tuan-tuan mereka. Kaum Mamluk yang ditempatkan di sungai Nil disebut Mamalik al-Bahriyun yang memerintah pada 1250 M/648 H s.d. 1390 M/792 H. Selanjutnya, kaum mamluk yang ditempatkan di benteng-benteng istana di kota Kairo disebut Mamalik al-Burjiyun  yang memerintah pada 1382 M/784 H s.d. 1517 M/922 H.
Terbentuknya Dinasti Mamalik di Mesir tidak dapat dipisahkan dari Dinasti Ayyubiyah ketika terjadi perebutan kekuasaan antara al-Malik as-Shalih dan al-Malik al-Kamil. Dalam perebutan kekuasaan ini para tentara yang berasal dari Kurdi memihak kepada al-Malik al-Kamil, sementara yang berasal dari budak tergabung dalam Mamalik Bahriyun mendukung al-Malik as-Shalih. Dalam perebutan kekuasaan ini al-Malik as-Shalih mampu mengalahkan al-Malik al-Kamil dan al-Malik as-Shalih berkuasa dari tahun 1240-1249 M.[9] Sejak masa itulah kaum Mamalik mempunyai pengaruh  besar dalam bidang kemiliteran dan pemerintahan. Mereka menjadi bodyguard sultan dan amir yang semakin lemah. Perhatian al-Malik al-Shalih begitu besar kepada kaum Mamalik Bahriyun sehingga banyak di antara mereka yang ditempatkan pada kelompok-kelompok elite yang terpisah dari masyarakat atau kelompok militer yang lainnya. Perlakuan ini sebenarnya saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehadiran kaum Mamalik merupakan jaminan bagi berlangsungnya kekuasaan al-Malik as-Shalih, sedangkan perlakuan yang istimewa terhadap budak-budak itu bisa memberikan kemudahan dalam peningkatan karier mereka dan imbalan-imbalan materiil lainnya.
Setelah al-Malik as-Shalih meninggal (1249 M), ia digantikan oleh Turansyah (putra mahkota al-Malik as-Shalih).[10] Tetapi kaum Mamalik Bahri tidak menyukainya karena ia dianggap tidak begitu banyak menguasai seluk beluk Mesir secara keseluruhan.[11] Keadaan ini mendorong kaum Mamalik untuk merebut kekuasaan. Pada tahun 1250 Mamalik Bahri di bawah pimpinan Baybars dan Izzuddin Aibak melakukan kudeta terhadap Dinasti Ayyubiyah sehingga Turansyah terbunuh. Setelah kejadian tersebut diangkatlah Syajarat ad-Durr[12] sebagai sultan mereka. Ia adalah ratu yang pertama dan juga penghabisan dari Mesir Islam. Ia memakai gelaran-gelaran asing seperti “Ibunda dari Khalilal-Mu’tasimah as-Salihah, Ratu Kaum Muslimin, Penjaga Dunia dan Agama”.[13] Namun ketika mereka akan membaiatnya menjadi sultan, kaum muslimin menolaknya karena bertentangan dengan tradisi. Untuk mengatasi masalah itu Izzuddin Aibak menikahi Syajarat ad-Durr, setelah mendapat dukungan dari amir-amir. Ia kemudian bertindak sebagai sultan (1250-1257 M)[14] tetapi Syajarat ad-Durr tetap memegang kekuasaan dari belakang layar. Dari sinilah awal terbentuknya Dinasti Mamalik di Mesir yang dipimpin oleh seorang budak dan berakhirlah Dinasti Ayyubiyah menguasai Mesir.

B.     Perkembangan Dinasti Mamalik
Kaum Mamalik yang memerintah Mesir dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Mamalik Bahri (648 H/1250 M - 792 H/1390 M) dan Mamalik Burji                    (784 H/1382 M -922 H/1517 M). Hampir satu setengah abad lamanya Mamalik Bahri menguasai pemerintahan dengan melahirkan 24 orang sultan. Pada tahun 1382 M pemegang pemerintahan beralih ke tangan mamalik Burji dengan 23 orang sultan.[15]
Aybak adalah sultan Mamalik Bahri yang pertama, dia berkuasa dari 1250 s.d. 1257 M. Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Aybak menghabiskan sebagian besar waktunya dalam peperangan di Suriah, Palestina dan Mesir.[16]  Setelah Aybak terbunuh oleh  Syajarat ad-Durr, kekuasaan berpindah ke tangan anak Aybak yang bernama Ali (1257-1259 M) dalam usia yang masih muda. Kedudukan Ali tidak lebih dari hanya mengisi kekosongan kepemimpinan saja karena secara praktis yang memegang kendali kekuasaan adalah Kutuz, salah seorang pemimpin al-Muluk yang bertindak sebagai wakil sultan. Yang akhirnya, Ali bin Aybak pun mengundurkan diri karena merasa tidak mampu untuk menduduki jabatannya dan secara otomatis Kutuz-lah menjadi penguasa.[17]
Di masa Kutuz  (1259-1260), Dinasti Mamalik mendapat perlawanan dari keluarga Ayyubiyah di Syria. Penyerbuan Ayyubiyah ke Mesir dapat dipatahkan, tetapi tiada lama sesudah itu datang pula penyerbuan orang-orang Mongol di bawah pimpinan Kitbuga. Pertempuran terjadi di Ayn Jalut pada tahun 1260 M. Tentara Mamalik dipimpin oleh Baybars dan Kutuz sendiri. Dalam pertempuran ini Mongol menderita kekalahan, sedangkan Kitbuga mati terbunuh bersama beberapa orang tentaranya. Baybars mengharapkan akan memperoleh Aleppo sebagai hadiah baginya, tetapi ditolak oleh sultan Kutuz. Karena itulah, dalam perjalanan pulang dari medan pertempuran, Baybars membunuh Kutuz pada tahun 658 H/1260 M. Baybars kemudian mengangkat dirinya menjadi sultan.[18]
Baybars, sultan Mamalik keempat  (1260-1277 M). Dinasti Mamalik pada masa ini mencapai puncak kejayaan sehingga Philip K. Hitti menyebut Baybar al-Bunduk sebagai pembangun hakiki Dinasti Mamalik dan sultan yang terbesar.[19] Beberapa kali Baybars memenangkan peperangan melawan tentara Salib. Ia telah meluaskan daerah kekuasaannya dengan menaklukkan negeri-negeri orang Berber di bagian barat dan Nubia di selatan. Baybars bukan hanya seorang pemimpin militer. Selain mengorganisir tentara, membangun kembali angkatan laut dan memperkuat benteng-benteng pertahanan di Syria, ia juga telah menggali saluran-saluran, membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat pos penghubung antara Kairo dengan Damaskus. Jarak antara kedua kota itu hanya ditempuh dalam waktu empat hari. Ia juga membangun masjid raya yang indah dan gedung-gedung sekolah yang megah. Baybars telah mengangkat empat orang qadi sesuai dengan empat madzab yang ada pada waktu itu.[20]
Seorang figur penguasa Mamalik yang sangat berpengaruh dan terkenal sesudah Baybars adalah al-Malik al-Mansur Sayf al-Din Qalawun (memerintah 678-689 H/1279-1290 M). Seperti halnya Baybars, Qalawun adalah budak Turki yang berasal dari Qipchaq. Qalawun menjadi sultan menggantikan putra Baybars, Barakah (676-678 H/1277-1279 M) dengan terlebih dahulu menyisihkan Salamish, putra Baybars lainnya yang baru berusia tujuh tahun. Hanya Qalawunlah yang mewariskan sultan kepada keturunannya secara terus menerus selama empat generasi sampai sultan terakhir dari Mamalik Bahri.[21]
Selama pemerintahannya, Qalawun telah memperbaiki beberapa benteng pertahanan seperti Aleppo, Ba’labak, dan Damaskus. Di Kairo, ia membangun sebuah rumah sakit berdampingan dengan sebuah masjid yang berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan.[22] Diantara sultan-sultan turunannya yang terkenal adalah anak dari penggantinya al-Malik al-Asyraf Khalil (memerintah 689-692 H/1290-1293 M). Ia menaklukkan Akka dari tangan kaum Salib dalam bulan Mei 1291 M. Selain itu beberapa benteng yang masih dikuasai Frank berhasil direbut.[23]
Pengganti al-Asyraf adalah sultan al-Nashir yang memerintah selama tiga kali: 1293-1294, 1298-1308, dan 1309-1340.[24] Pada masanya kebudayaan Mamalik mencapai puncaknya. Ia membangun sebuah saluran yang menghubungkan Iskandariah dengan sungai Nil, membuat jembatan air dari sungai tersebut ke benteng Kairo, membangun sekitar tiga puluh buah masjid di seluruh wilayah Negara, kamar mandi umum dan sekolah. Sebuah sekolah yang dibangun pada tahun 704 H/1304 M dan diberi nama al-Nashiriyah masih tetap berdiri sampai sekarang di Kairo. Masjid dan sekolahnya itu merupakan perlambang ketinggian arsitektur Islam.[25]
Sesudah al-Nashir, masih memerintah 16 orang sultan dari kelompok Bahri Mamalik. Sultan terakhir dari kelompok ini, al-Shaleh al-Hajji Ibn Sya’ban memangku masa dua kali masa jabatan (1381-1382 dan 1389-1390). Pada masa sultan ini, seorang budak dari Circasia, Barquq mengambil alih kekuasaan dan mengalihkannya dari kelompok Mamalik Bahri kepada kelompok Mamalik Burji. Dari dua puluh tiga sultan yang memerintah dari kelompok Burji, hanya dua diantaranya bukan Circasia, yaitu Khusyqaddam (memerintah 865-871H/1461-1467 M) dan Timurbugha (memerintah 871/1467). Keduanya berasal dari Yunani.[26]
Perpindahan kekuasaan ke tangan Burji membawa banyak perubahan gaya pemerintahan dalam Dinasti Mamalik. Dibandingkan dengan Turki, orang Circasia lebih lunak. Di bawah kekuasaan mereka, disiplin tentaranya merosot dan santai. Mereka lebih terdidik, berbudaya dan lebih manusiawi. Mesir di bawah kekuasaan kelompok Burji Circasia ini menjadi lemah, dan pada akhirnya jatuh kembali ke tangan orang Turki, kali ini Dinasti Usmani. Dari 23 orang sultan Mamalik Burji, selama 134 tahun (1382-1517) masa kekuasaan, sembilan di antaranya berkuasa selama 124 tahun. Kesembilan sultan itu adalah Barquq, Faraj, al-Muayyad Syaikh, Barsbay, Jaqmal, Inal, Khusyqaddam, Qait-bay, dan Qanshawh al-Ghawri. Sedangkan empat belas sultan lainnya tidak ada yang menonjol, bahkan pernah dalam satu tahun, yaitu 1421 terjadi tiga kali pergantian sultan.[27]
Periode Burji menandai masa paling gelap dalam sejarah Suriah-Mesir. Sebagian sultan melakukan tindakan curang dan kejam, sebagian lain tidak efisien, atau bahkan bermoral bejat, dan kebanyakan mereka tidak beradab. Sultan Muayyad Syaikh (1412-1421) seorang pemabuk, melakukan tindakan keji yang kelewatan.  Hanya Barquq dari begitu banyak sultan yang mempunyai ayah seorang muslim. Sultan Barsbay (1422-1438) sama sekali tidak memahai bahasa Arab dan ia pernah memenggal kepala dua orang dokternya karena tidak bisa menyembuhkannya dari penyakit yang cukup parah. Sultan Inal (1453-1460) tidak bisa membaca dan menulis, Ibnu Tahgri-Bird (seorang penulis yang hidup pada zamannya) memperkirakan bahwa Inal tidak hafal surat pertama al-Qur’an dengan baik. Yalbay (1467) tidak hanya buta huruf, tetapi juga gila. Qait-bay (1468-1495) mempunyai seorang ahli Kimia yaitu Ali ibn al-Marsyusyi yang dibutakan, dan dipotong lidahnya karena gagal mengubah logam rongsokan menjadi emas.[28]

C.    Kemajuan-kemajuan Dinasti Mamalik
Dinasti Mamalik membawa metode baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer. Kepala Negara atau sultan diangkat di antara pemimpin militer yang terbaik, yang paling berprestasi, dan mempunyai kemampuan untuk menghimpun kekuatan. Para pemimpin militer berlomba dalam berprestasi, berjasa terhadap Negara, serta mencari simpati dinasti kecil sekitar.[29] Oleh karena itu metode ini membawa kemajuan di berbagai bidang, seperti pemerintahan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan arsitektur.
1.      Kemajuan di bidang Pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan, kemenangan Dinasti Mamalik atas tentara Mongol di ‘Ayn Jalut menimbulkan harapan baru bagi daerah sekitar sehingga mereka meminta perlindungan, menyatakan setia kepada dinasti ini sehingga wilayah dinasti ini bertambah luas.[30] Untuk menjalankan pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit  politik. Di samping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa Mongol, al-Muntashir sebagai khalifah. Dengan demikian khalifah Abbasiyah, setelah dihancurkan tentara Hulago di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya.[31]
Mamalik juga dihormati oleh dunia Islam saat itu karena berhasil menghalau tentara Salib di pantai Syro-Palestina, untuk kemudian mengembangkan kekuasaanya ke barat hingga Cyrenaica, ke utara gunung Taurus, Mubia dan Massawa, dan ke selatan melindungi kota-kota suci di Arabia.[32]
2.      Kemajuan dalam bidang ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo, sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdangangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Di samping itu hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antar kota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan perekonomiannya.[33] 
3.      Kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam bidang ilmu pengetahuan Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan Mongol. Di samping itu Mesir dengan perguruan tinggi Al-Azhar serta perpustakaan Dar al-Hikmahnya yang selamat dari penghancuran serangan tentara Mongol (perpustakaan Bait al-Hikmah Baghdad hancur oleh serangan Mongol, perguruan tinggi Toledo dan Cordova Andalus diambil alih oleh bangsa Eropa) menyebabkan kesinambungan ilmu zaman klasik tetap berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Mesir menjadi pusat peradaban Islam yang berintikan kebudayaan Arab.[34]
Di bidang sejarah tercatat  nama-nama pakar sejarah, antara lain Ibnu Khallikan (penulis buku Wafayat al-A’yan wa Aba’Abna az-Zaman [Meninggalnya Para Pemimpin dan Berita tentang Anak Zaman]), Ibnu Khaldun (penulis kitab al-‘Ibrar [Serajah umum]), Ibnu Abi Usaibi’ah (penulis buku ‘Uyun al-Anba’ fi Tabaqat al-Atibba [Penyampai Informasi dalam Tingkatan Para Dokter]), Abu al-Fida (penulis buku Mukhtashar Tarikh al-Basyar [Ringkasan Sejarah Manusia]), Ibnu Tagri Bardi Atabaki (penulis buku al-Nujum al-Zhahirah fi Muluk Mishr wa al-Qahirah [Bintang Terang, Raja-raja Mesir dan Kairo]), dan al-Maqrizi yang terkenal sebagai penulis sejarah kedokteran.[35]
Ilmun kedokteran mengalami kemajuan dengan adanya penemuan-penemuan baru. Abu Hasan Ali Nafis (w. 1288) dengan karyanya Syarh Tasyrih al-Qanun, kepala rumah sakit Kairo, menemukan susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia tiga abad lebih dahulu dari Serveetus (orang Portugis). Abdul Ma’min Dimyati (w. 1306), dokter kenamaan dalam ilmu kedokteran hewan, menulis buku Fadl al-Khail (Keunggulan Kuda). Psikoterapi yang dirintis oleh al-Razi dengan karyanya Thibb Ruhani (Pengobatan Spiritual), dikembangkan oleh al-Juma’i di Mesir yang mengarang buku al-Irsyad li Masalih al-Anfas wa al-Ajsad (Petunjuk untuk Keselamatan Jiwa dan Raga).  Ibnu Abi al-Mahasin dan Salahuddin bin Yusuf mengembangkan opthalmologi (Ilmu tentang Penyakit Mata) Yusuf juga menulis buku Nur al’Uyun wa Jami’ al-Funun (Cahaya bagi Mata dan Penghimpun Berbagai Ilmu).[36] Dalam bidang astronomi dikenal nama Nasir ad-Diin al-Tusi (1201-1274), seorang ahli observatorium dan Abu al-Faraz al-Gibri  (1226-1286).[37]
Dalam bidang ilmu agama, muncul Ibnu Taimiyah (1263-1328), penganjur pemurnian ajaran Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan sunah serta membuka kembali ijtihad;[38] Jalaluddin as-Suyuti, seorang ulama yang produktif menulis, baik di bidang tafsir maupun sejarah (bukunya antara lain al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an; tentang ilmu tafsir; Husn al-Muhadharah fi Akhbar Mishr wa Qahirah: tentang Sejarah Mesir); dan Ibnu Hajar al-Asqalani (1372-1449), kepala kadi Kairo yang terkenal sebagai pakar hadis, bukunya antara lain Tahzib at-Tahzib [dua belas jilid]
dan al-Isabah [empat jilid].[39]
4.      Kemajuan dalam bidang Arsitektur
Devisa Negara yang melimpah pada masa Dinasti Mamalik memungkinkan mereka untuk mendirikan bangunan-bangunan yang megah dan indah. Sejak masa pemerintahan Qalawun (1293-1294), sultan-sultan Mamalik telah terbiasa memperindah dan memperkuat bangunannya dengan batu-batu  benteng, batu kapur dan batu api yang diambil dari dataran tinggi Mesir.[40]  Selain itu didapati sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini di antaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid.
Kemajuan-kemajuan sebagaimana tersebut di atas, itu tercapai berkat kepribadian dan wibawa sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, dan stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika faktor-faktor tersebut menghilang, Dinasti Mamalik sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang kemudian dikenal dengan nama Mamalik Burji yang untuk pertama kalinya dibawa oleh Qalawun, solidaritas antar sesama militer menurun, terutama setelah Mamalik Burji berkuasa.
D.    Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Mamalik
Seperti halnya dinasti-dinasti yang lain, Dinasti Mamalik juga mengalami pasang surut. Setelah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang, dinasti ini mengalami masa kemunduran yang pada akhirnya membawa masa kehancuran. Faktor-faktor yang menyebabkan dinasti ini mengalami kemunduran dan kehancuran di antaranya ialah:
1.      Perebutan Kekuasaan
Pada masa pemerintahan Qalawun, sultan Mamalik ke-7 (1279-1290 M) melakukan perubahan dalam pemerintahan, yaitu pergantian sultan secara turun temurun. Akibatnya terjadi perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya sendiri.  
Pada masa al-Nasir Muhammad ibnu Qalawun (1293) ia mengalami dua kali turun tahta karena perebutan kekuasaan dengan Kitbuga (al-Adi Zaenal al-Din) dan Najim al-Mansur Hisamudin. Pada 1382 M Barquk al-Dzahir Saef al-Din dari Mamalik Burji berhasil merebut kekuasaan dari tangan as-Shalih Salahudin, sultan terakhir dari keturunan Qalawun. Sejak itulah mulai periode kekuasaan Mamalik al-Burjiyun.[41]
2.      Kemewahan dan Kebiasaan Berfoya-foya
Sejak pemerintahan an-Nasir, pola hidup mewah telah menjalar di kalangan penguasa istana, bahkan di kalangan para amir. Hal ini membuat keuangan Negara semakin merosot dan untuk mengatasinya, pendapataan dari sektor pajak dinaikkan sehingga penderitaan rakyat semakin bertambah. Di samping itu, perdagangan pun makin dipersulit, seperti komoditi utama dari Mesir yang selama ini diperjuabelikan bebas oleh para petani, diambil alih oleh sultan-sultan dan keuntungannya digunakan untuk berfoya-foya.[42]
3.      Merosotnya Perekonomian
Sikap penguasa Dinasti Mamalik yang memeras pedagang dan membelenggu kebebasan petani menyebabkan lunturnya gairah dan semangat kerja mereka. Keadaan ini semakin memperburuk musim kemarau panjang dan wabah penyakit menjalar di negeri ini.[43] Selain itu sejak Vasco da Gama menemukan tanjung Harapan di tahun 1498, jalur perdagangan dari Timur Jauh ke Eropa yang asalnya melalui Kairo, berpindah ke tempat itu. Hal ini berdampak besar terhadap pendapatan devisa negara yang  melemahkan perekonomian.
4.      Serangan dari Turki Utsmani
Penyebab langsung runtuhnya Dinasti Mamalik adalah terjadinya peperangan dengan tentara Turki Utsmani yang terjadi dua kali. Pada tahun 1516 M, terjadilah peperangan di Aleppo yang berakhir dengan kekalahan total tentara Mamalik. Setelah menang di Aleppo, tentara Turki Utsmani melanjutkan perjalanannya untuk masuk ke daerah Mesir yang dalam perjalanan ini terjadi lagi pertempuran yang sengit antara tentara Turki Utsmani dan Mamalik pada 22 Januari 1516 M. Pertempuran ini terjadi ketika Mamalik diperintah oleh Tuman Bay II (Al-Asrof) yang merupakan sultan terakhir Dinasti Mamalik. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Mamalik di Mesir dan sebagai akibatnya tampuk pemerintahan kekhalifahan dipindahkan dari Kairo ke Istambul.[44]

III. PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Dinasti Mamalik adalah dinasti yang didirikan oleh budak-budak yang datang dari daerah pegunungan Kaukasus dan Laut Kaspia.  Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Dinasti Mamalik yang memerintah Mesir dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Mamalik Bahri (648 H/1250 M - 792 H/1390 M) dan Mamalik Burji (784 H/1382 M -922 H/1517 M).
2.      Walaupun Dinasti Mamalik dipimpin oleh mantan budak-budak, namun telah memberikan sumbangan yang berarti bagi kemajuan Islam, khususnya di bidang pemerintahan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan arsitektur.
3.      Setelah mengalami masa kejayaan, Dinasti Mamalik melemah dan mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan karena adanya perebutan kekuasaan, kemewahan dan korupsi, merosotnya perekonomian, serta adanya serangan dari Turki Utsmani.

DAFTAR PUSTAKA


Brockelman, Carl, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1974.
Dewan Redaksi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
Enen, M.A.,  Decise Moments in The History of Islam. Diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul Detik-detik Menentukan dalam Sejarah Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1943.
Grunebaun, G.E. Von,  Classical Islam A History 600  A.D.-1258 A.D., Chicago: Aldine Publishing Company, 1970.
Johnson, Paul M.,  A Glossary of Political Economy Term, diterjemahkan oleh Leinover  dengan judul Kamue Ekonomi Politik, Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2003.
K. Hitti, Philip, History of The Arabs, From the Earlist Times to the Present. Diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Lapidus, Ira M., A History of Islamic Societes. Diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
L. Esposito, John, Islam: The Straight Path. Diterjemahkan oleh Arif Maftuhin dengan judul Islam Warna Warni Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus” , Jakarta: Penerbit Paramadina, 2004.
Mondika, Hasdin, Genarasi Islam: Antara Romantisme dan Rekonstruksi Peradaban, Jakarta: Penerbit Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Mental [LP2M], 2003.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Syalabi, Ahmad,  Mausu’ah al-Tharikh al-Islamiyah, Cet. ke-3, Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, 1977, Jilid 5.
Team Penyusun Textbook Sejarah dan Kebudayaan Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Ujung Pandang: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Alauddin, 1982/1983, Jilid II.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke-3; Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001




[1] Mamalik adalah jamak dari mamluk, artinya seorang budak atau hamba yang dimiliki oleh tuannya. Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tharikh al-Islamiyah (Cet. ke-3, Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, 1977), Jilid 5, h. 197.
[2] Oligarki adalah system pemerintahan yang hampir keseluruhan kekuasaannya dipegang oleh segelintir orang yang memiliki kekayaan berlimpah tetapi tidak memiliki kualitas kepemimpinan lainnya, Paul M. Johnson, A Glossary of Political Economy Term, diterjemahkan oleh Leinover  dengan judul Kamue Ekonomi Politik (Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2003), h. 190. 
[3] Philip K. Hitti, History of The Arabs, From the Earlist Times to the Presen, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 859.
[4] John L. Esposito, Islam: The Straight Path, diterjemahkan oleh Arif Maftuhin dengan judul Islam Warna Warni Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”  (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2004), h. 126.
[5] Philip K. Hitti, loc. cit.,
[6] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h. 124.
[7] Hasdin Mondika, Generasi Islam: Antara Romantisme dan Rekonstruksi Peradaban (Jakarta: Penerbit Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Mental [LP2M], 2003), h. 35.
[8] Ibid., h. 124.
[9] Ajid Thohir, op. cit., h. 124.
[10] Versi Musyrifah Sunanto, tidak langsung kepada Turansyah tetapi kekuasaan sementara dipegang oleh permaisurinya yaitu Syajarat ad-Durr, kurang lebih selama 80 hari, Musyrifah Sunanto, Sejarah Klasik (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 208; lihat juga Ahmad Syalabi, op. cit., h. 204.
[11] G.E. Von Grunebaun, Classical Islam A History 600  A.D.-1258 A.D. (Chicago: Aldine Publishing Company, 1970), h. 193.
[12] Syajarat ad-Durr adalah seorang budak wanita dari Turki atau Armenia. Pada awalnya ia adalah seorang pengurus rumah tangga, dan salah satu harem khalifah al-Musta’shim. Kemudian ia mengabdi kepada al-Shalih, khalifah yang membebaskannya setelah ia melahirkan anak laki-laki. Dikatakan bahwa berdasarkan pengetahuannya tentang kekuasaan tertinggi dari suami-sekaligus-tuannya, ia pernah mengirimkan catatan penting kepada amir-amir di Mesir yang berbunyi: “Jika engkau tidak punya orang untuk mengatur, kabari kami, dan kami akan mengirimkan untukmu. Lihat Philip K. Hitti, op. cit., h. 860.

[13] M.A. Enen, Decise Moments in The History of Islam, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul Detik-detik Menentukan dalam Sejarah Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1943), h. 182.
[14] Dewan Redaksi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), h. 146.
[15] Ahmad Syalabi, op. cit., h. 199-200.
[16] Philip K. Hitti, op. cit.,h. 863.
[17] Ajid Thohir, op. cit., h. 126.
[18] Team Penyusun Textbook Sejarah dan Kebudayaan Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Ujung Pandang: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Alauddin, 1982/1983), Jilid II, h. 4., selanjutnya disingkat Textbook Sejarah.
[19] Philip K. Hitti, op. cit., h. 864.
[20] Ibid., h. 865.
[21] Textbook, op. cit., h. 6.
[22] Philip K. Hitti, op. cit., h. 869.
[23] Textbook Sejarah , op. cit. h. 7.
[24] Philip K. Hitti, loc. cit. h. 870.
[25] Textbook Sejarah , op. cit. h. 8.
[26] Ibid., h. 8.
[27] Ibid.,
[28] Ibid.,
[29] Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 214
[30] Ibid., h. 215.
[31] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001), h. 127.
[32] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), h. 118.
[33] Badri Yatim, op. cit.,  h. 127; lihat juga Musyrifah Sunanto, op. cit. h. 216.
[34] Musyrifah Sunanto, Ibid., h. 216.
[35] Dewan Redaksi Islam, op. cit., h. 148; lihat juga Philip K. Hitti, op. cit., h. 879-881.
[36] Ibid., h. 148, lihat juga Philip K. Hitti, Ibid., h. 877-878.
[37] Ajid Thohir, op. cit., h. 129.
[38] Carl Brockelman, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1974), h. 370.
[39]Dewan Redaksi Islam, op. cit., h. 148.
[40] Ajid Thohir, op. cit., h. 130.
[41] Ajid Thohir, op. cit., h. 131.
[42] Philip K. Hitti, op. cit., h. 873.
[43] Ajid Thohir, op. cit., h. 132.
[44] Ajid Thohir, op. cit., h. 132.

0 komentar

Posting Komentar