Kamis, 15 September 2016

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

A.    Latar Belakang
Beberapa waktu terakhir ini, dunia pendidikan mengalami perubahan yang cukup signifikan, khususnya dalam bidang manajemen. Perubahan tersebut  merupakan upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan yang selama ini kualitasnya kurang memuaskan. Rendahnya mutu pendidikan karena sistem penyelenggaraan yang sentralistik.[1] Sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi
pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan "politik" pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya.
Sistem ini menyebabkan penyelenggara sekolah bermental "Asal Bapak Senang" dengan menekankan pada outputnya. Untuk menghasilkan output yang baik sekolah menjadi selektif dalam menerima siswa (input). Proses pembelajaran di sekolah kurang mendapat perhatian. Sebab,  jika input (calon siswa) merupakan anak-anak dengan kepandaian berkualitas baik, maka out-putnya (lulusan) dari sekolah tersebut tentu baik pula. Walaupun proses pembelajaran di sekolah itu tak jauh berbeda dengan sekolah lainnya.  Bahkan praktik "pendongkrakan" nilai ujian sering dilakukan.
Kenyataan ini bisa dilihat dari kualitas lulusan sekolah-sekolah negeri dan swasta. Selama ini prosentase kelulusan di sekolah negeri  lebih baik ketimbang sekolah swasta.  Salah satu keberhasilan sekolah negeri, karena input di sekolah tersebut lebih baik. Siswa yang sekolah di swasta, sebagian besar atau mungkin semuanya adalah mereka yang tidak diterima di sekolah-sekolah negeri.
Dampak lain dari sentralisasi kebijakan penyelenggara pendidikan adalah rendahnya manajamen pengelola sekolah. Sentralistik menyebabkan ketergantungan kepada keputusan birokrasi/atasan dalam memecahkan problem pendidikan. Bahkan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan pengelola sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan pengelola kurang termotivasi untuk berusaha mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan.
Karena ketergantungan dengan birokrasi, pengelola sekolah kurang melibatkan orang tua siswa (masyarakat) dalam pengambilan kebijakan atau dalam memecahkan problem yang dihadapi sekolah. Peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana, tetapi tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Minimnya keterlibatan masyarakat menyebabkan sekolah menjadi jauh dari masyarakat dan masyarakatpun merasa kurang memiliki terhadap sekolah tersebut, sehingga lingkungan masyarakat tidak kondusif untuk menerapkan konsep pendidikan. Sekolah hanya menjadi tempat memindahkan tanggung jawab pendidikan tanpa diiringi perhatian yang seimbang.[2]
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, reformasi manajemen pendidikan pun ikut berjalan.  Perubahan terpenting adalah dari sentralistik menjadi desentralistik. Dalam konteks ini pengelola sekolah mempunyai kewenangan penuh dalam mengatur pendidikan dan pembelajaran, merencanakan, mempertanggung-jawabkan serta mengelola sumber daya yang ada secara optimal dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
B.     Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, maka penulis membuat rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimanakah konsep dasar manajemen berbasis sekolah ?
  2. Bagaimana fungsi  manajemen berbasis sekolah ?
BAB II
A.    Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah
Sebelum melangkah pada pembahasan ini, terlebih dahulu penulis menguraikan tentang pengertian manajemem sekolah untuk membantu kita dalam memahami konsep manajemen berbasis sekolah secara utuh dan baik.
Kata manajemen berasal dari bahasa Inggeris “Management” yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan, pengelolaan,[3]  dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, kata ini diartikan sebagai proses merencanakan dan mengambil keputusan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan sumber daya manusia, keuangan, fisik dan informasi guna mencapai sasaran organisasi dengan cara yang efisien dan efektif[4]atau proses dengan mana pelaksanaan dari pada suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi.[5]Manajemen juga berarti keterampilan dan kemampuan untuk memperoleh hasil melalui kegiatan bersama orang lain dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.[6]
Kata berbasis adalah akar kata dari kata basis yang berarti dasar, pokok dasar atau pangkalan.[7]
Sedang sekolah adalah salah satu institusi manusia terpenting tempat proses belajar mengajar berlangsung. Lembaga ini mengajar anak didik membaca, menulis, dan keterampilan dasar lainnya yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.[8]
Secara etimologi Manajemen Berbasis Sekolah (selanjutnya hanya ditulis MBS) terdiri dari tiga kata yaitu: manajemen, berbasis dan sekolah. Karena MBS sudah menjadi istilah yang cukup populer,  maka definisi secara etimologis tidak akan dibahas lebih detail. Definisi MBS dengan mengacu pada kata pembentuknya telah diungkapkan oleh Slamet, sebagaimana dikutip oleh Mohammad Syaifuddin yang menyebutkan bahwa manajemen berarti koordinasi dan penyerasian sumber daya manusia melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Berbasis artinya berdasarkan pada atau berfokus pada. Sedangkan sekolah merupakan organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi untuk sumber daya manusia).[9] Secara etimologi, MBS dapat dipahami sebagai penyelarasan dan pengkoordinasian sumber daya yang ada disekolah untuk memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik agar dapat berkembang secara optimal.
Sedangkan secara terminologi MBS mempunyai pengertian yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang orang yang mendefinisikannya. Perbedaan definisi tersebut karena perbedaan perspektif para ahli dalam memandang MBS. Walaupun demikian,  pada intinya MBS adalah terjadinya pergeseran kewenangan yang semula di tangan birokrasi pemerintah pusat/daerah kepada lingkungan sekolah.[10] Dengan kata lain MBS merupakan bentuk desentralisasi dalam manajemen pendidikan dengan pelimpahan wewenang dan pengambilan kebijakan dari pemerintah pusat/daerah atau birokrasi kepada pengelola sekolah secara langsung dan melibatkan orang tua murid.
Bahkan dalam pengambilan kebijakan di sekolah, siswa pun harus dilibatkan. Partisipasi siswa seperti dikemukakan oleh Wohlstetter dan Nohrman sebagaimana dikutip oleh Nurkholis, yang mengartikan MBS sebagai pendekatan politis dalam organsiasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipasi kepala sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulm, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar dan siswa pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya.[11]
Apa yang dikemukakan oleh Wohlstetter dan Nohrman nampak lebih luas ketimbang yang disampaikan oleh Kubick dan Stonehill. Kubick mengatakan bahwa MBS adalah perubahan letak tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada sekolah yang menyangkut bidang anggaran, personel, kurikulum  dan kontrol proses pendidikannya pun terletak kepada kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua.[12] Mulyasa pun memberikan definisi yang tak jauh berbeda dengan lainnya. Menurutnya MBS merupakan paradigma baru pendidikan yan memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan melibatkan masyarakat dalam kerangka kebijaksanaannya sesuai dengan prioritas kebutuhan setempat.[13] Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian MBS yang terdapat dalam manajemen peningkatan mutu yang mengartikan MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih luas kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.[14]
Sedangkan Stonehill mengartikan MBS sebagai strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas pengambilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah ke sekolah secara individual. [15] MBS melibatkan stake holder untuk mengontrol proses pendidikan dan memberikan mereka tanggung jawab untuk mengambil keputusan tentang anggaran, personel, dan kurikulum.
Pelimpahan otoritas antara pemerintah pusat/daerah kepada sekolah diperjelas dalam definisi MBS yang terdapat dalam buku Petunjuk Program MBS sebagai kerja sama antara Pemerintah Indonesia, UNESCO dan Unicef yang dikutip oleh Mohammad Syaifuddin, menyatakan bahwa :

MBS dapat dipandang sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan yang memberikan kewenangan lebih luas kepada sekolah untuk mengambil keputusan mengenai pengelolaan sumber daya pendidikan sekolah (manusia, keuangan, material, metode, teknologi, wewenang dan waktu) yang diukung  dengan partisipasi yang tinggi dari warga sekolah, orang tua, dan masyarakat, serta sesuai dengan kerangka kebijakan pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.[16]

Dalam penjelasan pasal 51, ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Sedangkan otonomi yang dimaksud merupakan bentuk dari desentralisasi yang bersifat relatif dan mengacu kepada perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, baik di tingkat nasional maupun di daerah. [17]
Dari beberapa definis di atas dapat disimpulkan bahwa MBS adalah manajemen sekolah yang memberikan kewenangan lebih luas kepada pengelola sekolah secara otonom dan partisipatif untuk mengambil kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan pelibatan stake holdersesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

1.      Sejarah Manajemen Berbasis Sekolah
Gerakan reformasi 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa telah membawa perubahan dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.  Salah satu bentuk perubahan itu ialah lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menjelaskan tentang otonomi daerah pemberian kewenangan lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus persoalan kemasyarakatan berdasarkan aspirasi setempat. Sedangkan otonomi dalam dunia pendidikan didasarkan pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memuat tentang MBS. Penerapan MBS di Indonesia tidak lepas dari trend perubahan pengelolaan pendidikan di negara-negara lain, seperti Kanada, China, Amerika Serikat, Australia, Inggris, Perancis, Selandia Baru.
Di Kanada MBS lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan (financial delegation) dengan pendekatan "school-site decision making" yang dilatarbelakangi oleh kelemahan manajemen pendidikan.  Di Cina, khususnya di Hongkong, MBS lebih dikenal dengan School Management Initiative (SMI) yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam  manajemen sekolah. Model ini mengubah manajemen yang sentralistik menjadi desentralistik dengan kewenangan lebih besar kepada sekolah dalam pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan. Sedangkan di Inggris MBS, muncul dengan istilah Local School Manajeman (LSM) sebagai bentuk pemindahan manajemen pendanaan dan sumber daya dari kewenangan lokal kepada dewan penyelenggara atau pengelola sekolah. 
Asutralia adalah negara yang mendapat julukan "a world-leader in School- Based Management" atau pemimpin dunia dalam hal Manajemen Berbasis Sekolah.  Upaya perubahan tersebut membutuhkan waktu tiga puluhan tahun dan "The Karmel Report" yang berisi pernyataan bahwa berkurangnya kontrol sentralisasi terhadap operasi sekolah-sekolah diperlukan untuk menjamin efektivitas dan pemerataan atau keadilan dalam pendidikan sekolah. Walaupun demikian istilah MBS di Australia berbeda-beda,  di Tasmania dikenal dengan Strategic School Plan, di South Australia dengan istilah School Development Plan, atau School Action Plan.[18] 
Sedangkan istilah Manajemen Berbasis Sekolah yang digunakan di Indonesis merupakan terjemahan dari School-Based Management yang muncul di Amerika Serikat sebagai bentuk kritik terhadap manajemen pendidikan dengan mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntunan dan perkembangan masyarakat setempat.[19] Di Indonesia sendiri sebenarnya MBS telah diterapkan disekolah-sekolah swasta baik yang didirikan oleh yayasan atau badan hukum. Selain itu pesantren  juga telah melaksanakan prinsip-prinsip MBS, keterlibatan santri dalam proses belajar mengajar, hubungan harmonis dan kerja sama yang baik antara orang tua dengan pengelola pesantren, otonomi kurikulum pembelajaran dan pengelolaan keuangan menjadikan pesantren tetap eksis sampai sekarang.
Fromalisasi pelaksanaan MBS yang secara resmi berlangsung sejak tanggal 8 Juli 2003, dimaksudkan untuk lebih menekankan pada persoalan yang mendasar dan mendalam tentang bagaimana implementasi MBS yang tepat di sekolah. Sebelumnya pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS. Sebagai contoh rintisan MBS di SD/MI yang tertuang dalam Propenas 2004-2005 dengan  menekankan pada tiga kompenen yaitu MBS, Peran Serta Masyarakat (PSM), dan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM).
Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia berkerja sama dengan UNESCO dan Unicef merintis penerapan program MBS di 124 SD/MI yang tersebar di 7 Kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Program tersebut dikembangkan lebih lanjut pada tahun 2002 dengan bantuan dana dari pemerintah New Zeland. Jumlah SD/MI pun berkembang menjadi 741 dengan penambahan wilayah di propinsi Papua dan Nusa Tenggara Barat. Bantuan dana juga diberikan oleh Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank serta Australia, yang akhirnya program tersebut  dikembangkan di 1479 SD/MI di 9 propinsi. Replikasi program juga dikembangkan oleh Depdiknas pusat di 30 Propinsi dengan langsung menggunakan lambang MBS.
Sedangkan Amerika Serikat melalui lembaga bantuannya (USAID) mengembangkan program Managing Basic Education (MBE)  di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang dilanjutkan dengan program Decentralized Basic Education (DBE) pada tahun 2005. Sebelumnya, pada tahun 2004, Indonesia-Australia Partnership ini Basic Education (IAPBE) melaksanakan program MBS di kabupaten di Jawa Timur.

2.      Motif, Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
Motif penerapan MBS di sekolah tidak terlepas dari latar belakang penyebab munculnya konsep tersebut. Menurut Bank Dunia yang dikemukakan oleh Edge, terdapat delapan motif penerapan MBS, yaitu motif ekonomi, profesional, politis, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.[20]MBS yang menerapkan manajemen lokal menurut penilaian King dan Kohler secara ekonomi lebih efektif.[21]Pengelola sekolah, murid dan orang tua  adalah pihak yang merasakan dampak langsung dari sekolah baik itu kerugian maupun keuntungannnya. Selain itu mereka juga pihak yang mengetahui secara langsung informasi tentang sekolah tersebut. Dengan demikian pengelola sekolah, orang tua dan muridlah yang mampu mengambil kebijakan yang tepat dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Jika keputusan yang diambil tepat, maka biaya untuk pelaksanaaan program peningkatan mutu juga tepat sasaran sehingga tidak terjadi pemborosan. Penilaian manajemen selama ini yang sentralistik digambarkan oleh Matullada sebagaimana dikutip oleh H.A.R. Tilaar bahwa harapan pembangunan yang berorientasi kerakyatan sulit diharapkan dari manajemen pembangunan yang sentralistik karena dikendalikan oleh kaum profesional yang dibayar oleh penguasa kapitalis.[22]
Pengelola sekolah merupakan profesional yang mempunyai pengalaman dan keahlian untuk membuat keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Merekalah yang terlibat langsung di lapangan sehingga mengetahui seluk beluk permasalahan yang dihadapi. Dengan bekal kemampuan yang diperoleh di bangku pendidikan dan pengalaman mereka dapat memberikan sumbangan positif dalam pengembangan kurikulum, pedagogik dan pembelajaran serta proses manajemen sekolah. Pengelola sekolah diberi kebebasan untuk berkreasi dalam mengembangkan pendidikan, sehingga termotivasi untuk selalu berkembang.
Motif politik dalam MBS merupakan keniscayaan dari tuntutan reformasi dan demokrasi dengan sistem desentralisasi. Tak berlebihan kalau Gamage D., MBS dalam bukunya School-Based Management Leads Shared Responsibility an Quality in Education, berpendapat bahwa MBS, pada dasarnya karena faktor politik dengan terjadinya proses restrukturisasi birokrasi dalam sistem pendidikan di sekolah.[23]Kepala sekolah yang selama ini hanya sebagai kepanjangan tangan dari birokrasi di atasnya, dalam MBS mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam mengambil keputusan. Prinsip desentralisasi dalam MBS menuntut adanya partisipasi demokratis dan kestabilan politik antara pemerintah pusat yang memberikan kewenangan pengambilan keputusan kepada pihak sekolah.
Efisiensi administrasi sebagai motif MBS menempatkan sekolah sebagai alat untuk mengalokasikan sumber daya secara efektif dalam menemukan kebutuhan para siswa. Beberapa sistem yang didesentralisasikan berusaha meningkatkan akuntabilitas. Berkurangnya tingkatan birokrasi pusat menyebabkan terjadinya efisiensi administrasi yang lebih besar. Efisiensi terjadi ketika partisipasi lokal membuat keputusan sendiri.
Keterlibatan aktif orang tua dalam pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan di sekolah diharapkan mampu membuat orang tua termotivasi untuk menyumbangkan tenaga, uang dan sumber daya lainnya yang diperlukan sekolah guna peningkatan kualitas proses belajar mengajar. Selain itu, dengan keterlibatan aktif mereka, diharapkan muncul rasa memiliki yang lebih besar sehingga kebutuhan sekolah menjadi kebutuhan orang tua siswa juga. 
Peningkatan prestasi siswa merupakan motif utama dari MBS. Sebab kualitas pendidikan dapat dilihat dari prestasi siswa di suatu sekolah. Jika prestasi yang diraih siswanya cukup baik, maka kualitas sekolah itupun bisa dikatakan baik pula. Untuk meningkatkan prestasi siswa, maka berbagai persoalan yang menghambat proses belajar mengajar dapat dipecahkan bersama dan diperoleh keputusan yang tepat. Oleh karena itulah dalam MBS, kepala sekolah, guru, staf TU, orang tua murid dan siswa pun dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Karena kewenangan luas yang dimiliki pengelola sekolah dalam mengambil keputusan, maka secara tidak langsung MBS mempunyai motif akuntabilitas sekolah. Sehingga pengelolaam sekolah akan berjalan efektif.
Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan empat motif penerapan MBS, yaitu, pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi sekolahnya sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya sehingga pengambilan keputusan yang dilakukan sekolah lebih tepat dan memenuhi kebutuhan sekolah, khususnya berkaitan dengan input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa.
Ketiga, Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah dan kontrol dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, sehingga penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif. Keempat, akuntabilitas sekolah tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orang tua siswa dan masyarakat, mendorong sekolah untuk berupaya semaksimal mungkin melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang direncanakan dengan melakukan upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua, masyarakat dan pemerintah.
Dari berbagai motif yang dikemukakan oleh Bank Dunia dan Depdiknas, terdapat benang merah bahwa motif dari MBS bermuara pada penigkatan kualitas pendidikan, yang menyangkut kualitas pembelajaran, kurikulum, sumber daya manusia maupun tenaga pendidik lainnya dan pelayanan pendidikan.
Seperti halnya motif MBS, tujuan MBS seperti dikatakan oleh Mulyasa, juga  bermuara pada peningkatan mutu pendidikan, efisiensi, mutu pendidikan dan pemerataan pendidikan.[24]  Kesemua itu bertujuan untuk memandirikan sekolah atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan secara otonom kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam kerangka peningkatan kualitas pendidikan. Dengan kewenangan yang besar bagi pengelola sekolah untuk mengambil keputusan, maka proses peningkatan mutu pendidikan menjadi lebih efektif dan efisien. Sedangkan Nurkholis menilai tujuan pelaksanaan MBS adalah untuk meningkatan kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum.[25]
Depdiknas secara lebih rinci memperjelas tujuan dari MBS [26], yaitu: Pertama, meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam rangka mengelola dan memberdayagunakan sumber daya yang tersedia. Pengelolaan pemberdayaan sumber daya yang tersedia dilakukan secara efektif dan efisien. Penerapan MBS. Diharapkan  setiap anak diharapkan akan memperoleh pelayanan pendidikan yang bermutu di sekolah bersangkutan.  Dengan asumsi bahwa setiap anak berpotensi untuk belajar dengan penanganan yang menyesuaikan latar belakang sosial ekonomi dan psikologis agar dapat berkembang secara maksimal.
Kedua, meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. Keterlibatan orang tua dan masyarakat sekitar dalam pengambilan keputusan, maka kepedulian mereka terhadap peningkatan mutu pendidikan semakin baik.
Ketiga, meningkatkan akuntabilitas (tanggung jawab sekolah) terhadap pengelolaan sekolahnya. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban atas semua program yang dilaksanakan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.  Keempat, meningkatkan kompetensi yang sehat antarsekolah tentang pendidikan yang akan dicapai. Otonomi yang dimiliki sekolah membuat pengelola sekolah mempunyai kewenangan untuk menentukan kurikulum yang akan dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Kewenangan membuat kurikulum sendiri menjadikan satu sekolah dengan sekolah lain mempunyai karakter dan ciri khas tertentu, sehingga persaingan yang sehat antar pengelola sekolah akan terjadi.
Sedangkan manfaat MBS, seperti dikemukakan oleh Kelompok kerja yang terdiri dari Asosiasi Administrator Sekolah Amerika (The American Assosiaciation of School Administrator), Asosiasi Nasional Kepala Sekolah Pendidikan Dasar (The National Association of Elementary School Principal) dan Asosiasi Nasional Kepala Sekolah Pendidikan Menengah (The National Association of Secondary School Principal) yang mengadakan pertemuan pada tahun 1988 telah mengidentifikasi beberapa keuntungan atau manfaat dari penerapan MBS, yaitu:
Pertama, secara formal MBS dapat mengenali keahlian dan kompetensi orang-orang yang bekerja di sekolah dalam rangka membuat keputusan untuk meningkatkan pembelajaran. Kedua, meningkatkan moral guru. Peningkatan ini karena adanya komitmen dan tanggung jawab dalam setiap pengambilan keputusan sehingga mereka akan mendukung setiap keputusan yang diambil. Ketiga, keputusan yang diambil oleh sekolah memiliki akuntabilitas karena konstituen sekolah memiliki andil yang cukup dalam setiap pengambilan keputusan dan dapat menerima konsekuensi atas keputusan yang diambil dan memiliki komitmen untuk mencapai tujuan. Keempat,  menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional dyang dikembangkan di sekolah sehingga keputusan yang diambil akan lebih rasional karena mereka mengetahui kemampuan keuangan sekolah. Kelima,  menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah. Keenam, meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas komunikasi tiap komunitas sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah.[27]
Hal serupa juga dikemukakan oleh Dorothy Myers dan Robert Stonehill dengan menambahkan adanya kreativitas pengelola sekolah untuk mendesain program disekolahnya dan mengarahkan ulang sumber daya sekolah guna mendukung pencapaian tujuan yang dikembangkan oleh masing-masing sekolah.[28]
3.      Kesimpulan
  1. Penerapan MBS dilatarbelakangi oleh rendahnya mutu pendidikan yang disebabkan oleh manajemen yang bersifat sentralistik. Dampak dari manajemen ini berakibat pada rendahnya manajemen di sekolah karena ketergantungan pada pemerintah pusat/daerah. Bahkan keputusan yang diambil sekolah berdasarkan buku petunjuk pelaksanaan dan buku petunjuk teknis tidak dapat menjawab persoalan yang muncul di sekolah. Orang tua siswa juga kurang dilibatkan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Akibatnya, pengelola sekolah hanya berorientai pada input-output dan kurang memperhatikan proses pembelajaran.
  2. Manajemen Berbasis Sekolah adalah manajemen sekolah yang memberikan kewenangan lebih luas kepada pengelola sekolah secara otonom dan partisipatif untuk mengambil kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan pelibatan stake holder sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Motif pelaksanaan MBS bermuara pada upaya peningkatan mutu pendidikan baik menyangkut kualitas pembelajaran, kurikulum, sumber daya manusia, tenaga kependidikan dan pelayanan pendidikan. Motif tersebut diperinci oleh Bank Dunia menjadi delapan motif, yaitu motif ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas dan efektivitas sekolah.
  4. Tujuan pelaksanaan MBS yaitu meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian sekolah, kepedulian warga sekolah, akuntabilitas sekolah dan persaingan antar sekolah.
  5. Manfaat pelaksanaan MBS antara lain: pemberian kesempatan kepada pengelola sekolah yang berkompeten untuk meningkatkan mutu pendidikan, peningkatan moral guru, akuntabilitas sekolah, pembuatan anggaran yang realistis, menstimulasi munculnya pemimpin baru, membangun komunikasi.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Duhou, Manajemen Berbasis Sekolah, diterjemahkan oleh Noryamin Aini dkk, Jakarta: Logos, 2002.
Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku I Konsep dan Pelaksanaannya,  Jakarta: Direktorat SLP Dirjen Dikdasmen, 2001.
Mulyasa,  Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi, cet. vii, Bandung: Rosdakarya, 2004.
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi, cet. III, Jakarta: Grasindo, 2006.
Sujanto, Bedjo, Manajemen Berbasis Sekolah: Model Pengelolaan Sekolah di Era Otonomi Daerah, Jakarta: Sagung Seto, 2007.
Syaifuddin, Mohammad, dkk. Manajemen Berbasis Sekolah, Bahan Ajar Cetak, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2007.
Tilaar, H.A.R., Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, cet. vii, Bandung: Rosdakarya, 2004.
UU No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.





[1]Mohammad Syaifuddin, dkk. Manajemen Berbasis Sekolah, Bahan Ajar Cetak, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, h. 1.
[2]Bedjo Sujanto, Manajemen Berbasis Sekolah: Model Pengelolaan Sekolah di Era Otonomi Daerah, Jakarta: Sagung Seto, 2007, h. 17
[3]Lihat John M. Echols  dan Hasan Sadily, kamus Inggeris Indonesia, (Cet. XXIII: Jakarta: PT Gramedia, 1996), h. 372
[4] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 10, (Cet. I; Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 115.
[5] Panglaykim dan Hazil, Manajemen Suatu Pengantar, (Cet. XV; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), h. 26.
[6]Azhar Arsyad, Pokok-pokok Manajemen; Pengetahuan Praktis bagi Pimpinan dan Eksekutif, (Cet, II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 4.

[7]W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. VII; jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), h. 94.

[8]Ensiklopedia Nasional Indonesia, Op.cit.,h. 471.
[9]Mohammad, op. cit. h. 4.
[10]Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi, cet. III, Jakarta: Grasindo, 2006, h. 2
[11]Ibid.
[12]Ibid.,  h. 3.
[13]Mulyasa,  Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi, cet. vii, Bandung: Rosdakarya, 2004, h. 24.
[14]Mohammad, op. cit., h. 5.    
[15]Ibid.
[16]Ibid..
[17]UU No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[18]Abu Duhou, Manajemen Berbasis Sekolah, diterjemahkan oleh Noryamin Aini dkk, Jakarta: Logos, 2002, h. 27.
[19]Mulyana, op. cit. h. 24.
[20]Mohammad, op. cit. h. 20.
[21]Ibid.
[22]H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, cet. vii, Bandung: Rosdakarya, 2004, h. 32.
[23]Mohammad, loc. cit.
[24]Mulyasa, op. cit. h. 25.
[25]Nurkholis, op. cit., h. 23-24
[26]Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku I Konsep dan Pelaksanaannya,  Jakarta: Direktorat SLP Dirjen Dikdasmen, 2001, h. 4.
[27]Nurkholis, op. cit., h, 25-26.
[28]Ibid. 

0 komentar

Posting Komentar