A. Latar Belakang
Ketika kita berbicara masalah sekularisme, sebagaimana yang dikomentari oleh Arkon, bahwa orang seringkali menggabungkan suatu ungkapan yang sangat populer dalam Injil "Berikanlah Kaisar kepada Kaisar dan berikanlah milik Allah kepada Allah", sebab dari ungkapan inilah, menurut sebagian pendapat, terjadi pemisahan total antara gereja dengan negara di dunia Barat. Padahal sesungguhnya ungkapan Al-Masih (Yesus Kristus) dapat dipahami hanya jika diketahui dengan baik kondisi historis ketika itu.[1]Pada saat ungkapan itu dikemukakan oleh Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, cara satu-satunya bagi seorang tokoh agama adalah berkiprah pada tataran spritual keagamaan dan tidak pada politik. Ungkapan dalam Injil tersebut sesungguhnya memang bertujuan untuk mengendalikan kekuasaan spritual.[2]
Realitas yang terjadi di dunia Barat khususnya adalam hal pemisahan ilmu pengetahuan dari doktrin gereja menyebabkan ilmu pengetahuan berdiri sendiri tanpa kontrol agama dan nilai-nilai spritual. Hal tersebut terus berlanjut hingga abad modern kini.
Mellenium III merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang juga disebut abad modern. Asumsi ini diwarnai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yng secara teoritis telah ada sebelum abad modern demikian pula penemuan-penemuan baru (discovery) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi canggih bermunculan dari waktu ke waktu.
Penemuan-penemuan tersebut sangat bermanfaat bagi umat manusia sebagai kontribusi dalam upaya memakmurkan bumi ini. Namun satu hal yang menjadi sentral pembahasan khususnya bagi pemikir-pemikir Islam adalah Islamisasi ilmu pengetahuan.[3]
Sains dan filsafat sudah dikenal sejak awal perkembangan Islam, bahwa terdapat arus intelektual di kalangan orang-orang Islam untuk menanggapi pemikir Yunani dan akibat dari rangsangan itu ternyata, mereka lebih menghasilkan dan kreatif yang pada akhirnya membantu perkembangan-perkembangan di Eropa.[4]Akan tetapi dalam perkembangannya sains dan filsafat mengalami kemunduran di tangan umat Islam.
Masalah sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan masih dalam suasana polemik para ahli. Hal ini disebabkan satu sisi ingin memproduksi ilmu pengetahuan yang obyektif dengan pendekatan santifik sementara di sisi lain kecondongan sementara ilmuan muslin agar ilmu pengetahuan lahir dari Islam berdasarkan al-Qur'an dan Hadits, dengan pendekatan teologi normatif (keagamaan).[5]
B. Permasalahan
Berangkat dari pemaparan ini, maka penulis mengangkat pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ?
2. Bagaimana sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Sekularisasi dan Islamisasi Ilmu pengetahuan
Sekularisasi berasal dari bahasa Inggris "Secular" yang merupakan kata sifat yang berarti sekuler, duniawi.[6]
Di dalam ensiklopedia Indiana disebutkan:
"Secularism is an ethical system founded ot the principles of natural morality and independent of revealed relegion or supernaturalism" [7]
"Sekularisme adalah suatu sistem etis (peradaban) yang didasarkan pada prinsip-prinsip moralitas yang dialami dan terlepas dari agama yang diwahyukan atau hal-hal yang gaib".
Dari kata sekularisme ini dibentuk menjadi kata kerja "Sekularize" yang diartikan dengan "menerapkan pendidikan kepada hal duniawi (bukan agama)",[8]atau yang biasa juga diistilahkan dengan "sekularisasi".
Arti sekularisasi itu sendiri dari segi bahasa yaitu: hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.[9]
Adapun istilah Islamisasi ilmu pengetahuan dapat diartikan memasukkan unsur agama, dalam hal ini agama Islam, dengan pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup manusia menurut ajaran Islam ke dalam ilmu pengetahuan.
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu.
Ungkapan islamisasi ilmu pada awalnya dicetuskan oleh Prof. Syed Muhammad al-Naquib Alatas pada tahun 1379/1977. sebelumnya almarhum Ismail Ahl al-Riwayah al-Farugi mengintrodusir suatu tulisan mengenai islamisasi ilmu-ilmu sosial. Meskipun, gagasan ilmu keislaman, khususnya menyangkut metodogi keislaman telah muncul sebelum ini dalam karya-karya Syed Hosein Nasr. Belakangan, gagasan islamisasi ilmu ini disebarluaskan al-Faruqi dan institut yang didirikannya, yaitu "Institut Pemikiran Islam Antarbangsa".
Adapun islamisasi ilmu pengetahuan menurut Prof Alatas, dalam Jurnal Ulumul Qur'an bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah ilmu yang merujuk kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Termasuk dalam unsur-unsur dan konsep-konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme dan tekanan kepadanya dan penguasaan drama dan strategi dalam kehidupan rohani. Konsep-konsep seperti inilah yang mengakibatkan ilmu yang tidak sepenuhnya benar itu tersebar keseluruh dunia. Setelah melewati proses di atas, ke dalam ilmu tersebut ditanamkan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman.
Dengan demikian, akan terbentuk ilmu yang benar, yaitu ilmu yang sesuai dengan fitrah. Unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman yang dimaksud adalah insan, din, 'ilm, dan ma'rifah, hikmah, 'adl, 'amal, adab, dan sebagainya. Jadi islamisasi ilmu itu adalah pembebasan ilmu dari pemahaman yang berasaskan kepada idologi, makna serta ungkapan sekular.[10]
Adapun ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ihwal yang diselidikinya (alam, manusia dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan ekperimental.[11]
Sedangkan dari sisi terminologis, ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini, bagaimana keadaan yang sebenarnya.[14] Epistemologi adalah ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses dalam usaha memperoleh pengetahuan.[15]Aksiologi adalah ilmu pengetahuan tentang kegunaan ilmu atau hakekat nilai yang terkandung dalam suatu disiplin ilmu.[16]
Dengan demikian sekularisasi dan islamisasi ilmu pengetahuan telaah ontologis, epistemologis dan aksiologis dapat diartikan sebagai sebuah upaya melepaskan keterkaitan urusan ilmu pengetahuan dari unsur-unsur agama dan di sisi lain muncul koreksi khususnya dari kalangan Ilmuan muslim untuk melakukan usaha agama, dalam hal ini agama Islam, dengan pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup manusia menurut ajaran Islam ke dalam ilmu pengetahuan. Dan berusaha membuat ilmu pengetahuan itu sarat nilai baik dari segi hakekat realitas, fakta empiris maupun manfaat yang diperoleh dari suatu ilmu.
B. Sekularisasi ilmu pengetahuan
Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis, berarti membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dipandang tidak relevan dalam ilmu. Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang hanya bergayut dengan intuisi (dunia rasa).[17]Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan segala yang berbau mitos dan bernuangsa gaib sebagai sesuatu yang berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi (melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral).
Sekularisme ilmiah memandang bahwa alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud. Karena alam adalah benda mati yang netral. Tujuannya sangat ditentukan oleh manusia. Pandangan ini menyebabkan manusia dengan segala daya yang dimiliki mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.[18]
Sebuah disiplin ilmu juga hendak dipertahankan keobjektifan tujuan maka segala yang terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif dihindari guna menjaga realitas ilmu sebagai sesuatu yang independen, otonom dan objektif. Hal ini sesuai dengan epistemologi yang digunakan yakni rasionalisme dan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman).[19]
Sebagai konsekuensi dari epistemologi sekuler maka pada tataran aksiologinya ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai.
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu –ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu.
Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tapi mempunyai maksud dan tujuan.[20]Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
ربنا ما خلقت هذا با طلا
Artinya:
"Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan sia-sia"
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam tataran epistimologinya mengkaji ayat-ayat al-Qur'an karena sebagian ayat al-Qur'an memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga kebenaran statemennya/pernyataannya terbuka untuk dibuktikan dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan.[21]Bahkan ayat yang pertama turun berkenaan dengan perintah membaca juga segala upaya penelitian ilmiah yang bermaksud mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5).[22]
Islamisasi ilmu pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat dengan nilai-nilai moral (moral value) dengan kata lain ilmu itu tidak netral nilai melainkan dalam ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai luhur berdasarkan ajaran Islam yang mengkristal pada akar-akar Ilahi.
Seorang sarjana terkemuka yang sangat memperhatikan masalah islamisasi ilmu pengetahuan adalah Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin Sardan, dalam bukunya Jihad Intelektual. Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang sifatnya dualisme (sistem Islam dan sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan. Dan kedua sistem ini harus digabungkan dan diintegrasikan sementara sistem yang akan muncul harus diwarnai dengan spirit Islam dan berfungsi sebagai bagian integral dari idiologi.[23]
Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat Islam guna meng-counter pengaruh-pengaruh sekularisasi Barat yang bebas nilai.
III. PENUTUP
Dari pemaparan makalah tentang sekularisasi dan islamisasi ilmu pengetahuan telaah ontologis, epistemologis dan aksiologis, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
Sekularisasi ilmu pengetahuan muncul di dunia Barat yang ditandai dengan adanya pemisahan antara doktrin gereja yang selama ini menguasai ilmu pengetahuan lalu kemudian ilmu pegetahuan itu berdiri sendiri dan bebas dari keterikatan nilai atau norma-norma agama.
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu dan sekaligus merupakan counter terhadap sains modern yang berkembang tanpa menghiraukan nilai-nilai moral yang luhur (bebas nilai) ke arah suatu peradaban dan ilmu pengetahuan yang sarat nilai berdasarkan ajaran Islam (al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW).
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Farid. "Agama dan Ilmu-ilmu sosial" dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an, No. 2 Vol V, 1994, h. 41
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Cet. VII; Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1987.
Arkon, Muhammad. al-Fikr al-Islamiy: Naqd wa Ijtihad. Cet. I; t. tp: Dar al-Saqi, 1990
Azhim, Ali Abdul. Filsafat al-Ma'arif fi al-Qur'an al-Karim diterjemahkan oleh Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim dengan judul Epistemologi dan Aksiologi ilmu Prespektif al-Qur'an.Cet. II; Bandung : Rosdakarya, 1989
Shadily, John M. Echo dan Hasan. Kamus Inggris Indonesia . Cet. XXII; Jakarta : PT. Gramedia, 1996.
Hidayat, Komaruddin. Memahami bahasa Agama: sebuah Kajian Hemeneutik. Cet. I; Jakarta : Paramadina, 1996
Idi, Jalauddin dan Abdullah. Filsafat Pendidikan. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998
Incorporated, Grollier. The Encyclopedia Americana , jilid 24 Danburry: Connecticut , 1992.
Kattsoff, Louis O. Element of Philosophy. Diterjemahkan oleh Soejono dengan judul Pengantar Filsafat. Cet. V; Yokyakarta: Tiara Wacana, 1992
Mahmud, Moh. Natsir, Epistemologi dan Studi Kontemporer, Makassar , 2000
Sardan, Ziaduddin. Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam. Cet. I, Surabaya ; Risalah Gusti, 1998
Suriasumantri, Jujun S. "Tentang Hakekat Ilmu : sebuah pengantar Redaksi" dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Prespektif; sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Cet. XIV; Jakarta : Yayasan Obor Indonesia , 1999
Tim penyusun Kamus Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Cet. IV; Jakarta : 1995
Tim Penyusun, Kamus Filsafat, Cet. I; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995
Watt, W. Montgomery . The Majesty That What Islam, Diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo dengan judul, Kerajaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis. Cet. I; Yokyakarta: Tiara Wacana, 1990.
[2] Ibid, h. 57
[3]Pandangan ini muncul karena ilmu pengetahuan kini dikuasai oleh bangsa Barat yang berpandangan hidup sekuler dan ilmu yang dihasilkannya pun bercorak sekuler. Sehingga diasumsikan bahwa bila ilmu pengetahuan diproduksi oleh orang Islam maka ilmu yang dihasilkan pun akan bercorak Islam, khususnya dalam ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Lihat Moh. Natsir Mahmud, Epistemologi dan studi Kontemporer, (Makassar , 2000), h. 1
[4] Lihat W. Montgomery Watt, The Majesty That What Islam, Diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo dengan judul, Kerajaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis. (Cet. I; Yokyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 239.
[5] Lihat Moh. Nasir Mahmud, op. cit., h. 2
[6] Lihat John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia . (Cet. XXII; Jakarta : PT. Gramedia, 1996), h. 509.
[7] Lihat Grollier Incorporated, The Encyclopedia Americana, jilid 24 (Danburry: Connecticut, 1992), h. 510.
[9] Tim penyusun Kamus Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, (Cet. IV; Jakarta: 1995), h. 894
[11] Lihat Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Cet. VII; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), h. 171.
[12] Ontologi membahasa tentang apa yang ingin diketahui seberapa jauh kita ingin tahu dengan kata lain ontologi adalah suatu pengkajian tentang sesuatu yang ada disebut juga dengan teori ada, episetemologi membahas tentang nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan yang disebut juga dengan teori nilai. Lihat Jujun S. Suriasumantri "Tentang Hakekat Ilmu : sebuah pengantar Redaksi" dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Prespektif; sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. (Cet. XIV; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 5
[13] Tim Penyusun, Kamus Filsafat, (Cet. I; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995), h. 30
[14] Lihat Jalauddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 69
[15] Lihat Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 9
[16] Lihat Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy. Diterjemahkan oleh Soejono dengan judul Pengantar Filsafat. (Cet. V; Yokyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 327
[17] Intuisi dalam pandangan Barat dipandang sebagai instrument pengetahuan pra ilmu (tidak ilmiah dan merupakan pengetahuan keseharian). Intuisi tidak melakukan analisis dan sistematisasi terhadap gejala yang diamati, melainkan gejala ditangkap secara menyeluruh (holistik). Lihat Moh Natsir Mahmud, op. cit., h. 3-4
[18] Ibid h. 5,
[19] Ibid.
[21] Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami bahasa Agama: sebuah Kajian Hemeneutik. (Cet. I; Jakarta : Paramadina, 1996), h. 186
[22] Lihat Ali Abdul Azhim, Filsafat al-Ma'arif fi al-Qur'an al-Karim diterjemahkan oleh Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim dengan judul Epistemologi dan Aksiologi ilmu Prespektif al-Qur'an (Cet. II; Bandung: Rosdakarya, 1989), h. 48
0 komentar
Posting Komentar