BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar kehidupan masyarakat berkelanjutan, atau dengan kata lain masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.[1]Nilai-nilai ini bermacam-macam, ada yang bersifat intelektual, seni, politik, ekonomi dan lain-lain.
Keadaan pendidikan Islam dewasa ini, baik di Indonesia maupun di negara-negara muslim yang lain tidak terlepas dari pengaruh masa lalunya. Menelusuri jejak historis pendidikan Islam berkaitan erat dengan rentang periode yang cukup panjang, juga menyangkut berbagai aspek kaum muslimin seantero dunia dari waktu kewaktu.
Sejarah pendidikan Islam pada hakekatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kaum muslimin secara keseluruhan. Muhammad Marmaduke Pickhall membagi sejarah umat Islam kedalam tiga periode, yaitu periode Arab, periode Persia dan periode Turki.[2]Periode Arab berakhir dengan jatuhnya Daulah Umayyah, lalu muncul Daulah Abbasiyah yang bercorak Persia dan akhirnya kekhalifahan Islam pindah ke tangan penguasa Turki hingga tahun duapuluhan.
Berkaitan dengan periodesasi sejarah Islam ini maka Hasan Langgulung membagi Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam kepada empat periode, periode pertama, peiode pembinaan. Periode ini dimulai sejak munculnya Islam hingga akhir negara Umaiyyah. Periode kedua, periode keemasan, periode ini di mulai dari kerajaan Abbasiyah sehingga runtuhnya kekhalifahan tersebut ditandai dengan runtuhnya kota Bagdad. Periode ketiga, periode keruntuhan dan kehancuran. Periode ini mulai dengan kekuasaan Turki Usmaniyah sampai terlepasnya negara-negara Arab dari kekuasaan itu. Sedang periode keempat ialah periode pembaharuan dam pembinaan kembali, periode ini meliputi permulaan terlepasnya negara-negara Arab dari kekuasaan Turki, yang berkelanjutan sampai sekarang.
Masing-masing perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan ini mempunyai ciri-ciri umum tertentu. Dalam makalah ini penulis membatasi pada masa Abbasiyah yang dikenal dengan “Masa Keemasan”ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kajian historis yang akan dikedepankan adalah mempertanyakan kembali untuk kemudian menggali sebab-sebab pencapaian kemajuan (baca : keemasan) Daulah Abbasiyah di berbagai bidang kehidupan, dimana secara spesifik perhatian ditujukan pada sejauh mana perkembangan pendidikan dan ilmu pada masa itu, dengan penekanan pada faktor-faktor yang mendukung dan ciri-ciri umum pendidikan pada masa ini.
C. Tujuan dan Kegunaan
Pembahasan ini bertujuan untuk mengungkap berbagai keberhasilan yang dicapai pada masa Daulah Abbasiyah, khususnya pencapaian dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebagai pelajaran bagi umat Islam bahwa ilmu pengetahuan sangat diperhatikan dan ditekankan untuk dipelajari sebagai bekal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain dari itu agar pembahasan ini menjadi bahan pemikirn bagi umat Islam terutama bagi mereka yang mempunyai perhatian khusus dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DAULAH ABBASIYAH DALAM LINTAS SEJARAH
Sejarah telah membuktikan, bahwa kedaulatan kaum muslimin sampai ke puncak kemulyaan, baik kekayaan, kemajuan ataupun kekuasaan pada masa daulah Abbasiyah.[3]Kekuasaan daulah Abbasiyahsebagai bentuk lanjut dari kekuasaan daulah Umaiyah. Dinamakan daulah Abbasiyah sebab para pendiri dan penguasa daulah ini adalah keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad saw.
Daulah Abbasiyah sebagai penerus Bani Hasyim memulai tampuk kekhalifahan pemerintahan Islam pada tahun 132 H/750 M setelah berhasil menggulingkan daulah Bani Umaiyah. Daulah Abbasiyah berkuasa selama lima abad dari tahun 132-656 H. Dinasti Abbasiyah dirintis oleh tiga cucu dari Abdullah bin Abbas Yaitu : Ibrahim al Imam, Abu al Abbas al Saffah dan Abu Ja’far al Mansur. Harun Nasution lebih lanjut menegaskan, sesungguhnya Abu a Abbaslah (750-754 M) yang mendirikan daulah Abbasiyah tetapi pembina sebenarnya adalah Abu Ja’far al Mansur (754-774 M).[4]Sedangkan Nouruzzaman Shiddiqi mengemukakan bahwa pendiri daulah ini jika dilihat dari awal didirikannya ialah Abu al Abbas al Saffah (750-754 M), namun pendiri yang sesungguhnya adalah Abu Ja’far al Mansur (754-775 M).[5]
Dari pernyataan diatas walaupun berbeda dari segi peristilahan, penulis memandang ada kesamaan pendapat namun istilah “pendiri” lebih konsisten daripada pembina, sebab pernyataan awal menggunakan istilah “mendirikan”.
Selanjutnya dalam mengkaji sejarah perlu disebutkan periode-periode daulh Abbasiyah. Para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode,[6]pembagian ini didasarkan pada perubahan pola pemerintahan dan politik.
1. Periode pertama (750-847 M) disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (847-945 M) disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode ketiga (945-1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah, periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode keempat (1055-1194 M) masa kekhalifahan Dinasti Seljuk dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah biasanya disebut juga dengan masa Turki kedua.
5. Periode kelima (1194-1258 M) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain tetapi kekuasaannya hanya efektif di kota Bagdad.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Dalam bidang politik jelas kelihatan dengan adanya peralihan kekuasaan dari Bani Umaya kepada Bani Hasyim yang mendapat sokongan dari non-Arab muslim. Dalam bidang ekonomi nampak adanya intensifikasi penarikan pajak dan peningkatan hubungan-hubungan perdagangan serta mendorong usaha-usaha kerajinan rakyat. Dalam bidang kebudayaan ditandai dengan munculnya intelektual-intelektual muslim dalam mengembangkan dan menemukan ilmu-ilmu pengetahuan baru.[7]
Pada Masa puncak keemasan inilah sarjana-sarjana Islam telah menunjukkan suatu reputasi yang mengagumkan bukan saja bagi dunia Islam tetapi juga bagi umat manusia. Hal ini terwujud karena adanya dukungan dari penguasa Abbasiyah, pada zaman Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al Ma’mun (813-833 M) masa kekuasaan mereka, lembaga pendidikan dan penelitian dikelola dengan baik.
Daulah ini mencapai usia lebih dari 500 tahun terhitung sejak munculnya khalifah yang pertama Abu al Abbas 750 M sampai dengan terbunuhnya khalifah terakhir al Mu’thasim 1258 M, ketika tentara Mongol berhasil memasuki dan menghancurkan Ibukota Daulah Abbasiyah.
B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Pada awal kekuasaan Abbasiyah wilayah Islam sudah mencapai lautan Atlantik di wilayah barat, sedang di timur berbatasan denagan negeri Cina, Asia tengah di utara, serta Afrika tengah di bagian selatan. Bangsa-bangsa di negeri yang luas ini tunduk di bawah kekuasaan Islam, semua itu memberi sumbangan yang tak ternilai terhadap terbentuknya peradaban yang begitu cemerlang.
Masa daulah Abbasiyah adalah zaman meramunya ilmu pengetahuan dalam dunia Islam, tamaddun Islam dalam zaman ini ditandai dengan perkembangnya ilmu pengetahuan yang begitu pesat. Dimana umat Islam telah membuat jalan baru bagi kehidupan akal dan kehidupan ilmunya. Adapun ciri-ciri umum pendidikan Islam pada zaman ini adalah berdirinya sekolah-sekolah dan munculnya pemikiran-pemikiran pendidikan.
Masuknya Ilmu al-Aqliyah sebagai ciri pertama pendidikan Islam, yang dimaksud adalah ilmu-ilmu filsafat, matematika, kedokteran, astronomi, kimia dan sebagainya. Masuk dan berkembangnya al-ulum al-aqliyah adalah karena usaha para sarjana-sarjana muslim yang giat menterjemahkan manuskrip-manuskrip peninggalan Yunani, Persia, Hindu dan lain-lain dalam segala macam ilmu pengetahuan, kemudian dengan bahan-bahan ini sarjana-sarjana Islam meningkatkan pemikirannya untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baru yang orisinil dalam bidang falsafah, kedokteran, astronomi, kimia dan lain-lain. Untuk menggalakkan usaha penerjemahan itu didirikan Perguruan Tinggi Bahasa (Yunani, Persia, India) dan sebuah dewan penerjemahan yang dinamakan Bait al-Hikmah yang dipimpin oleh Hunain Bin Ishaq (w. 873 M).[8]
Disamping kemajuan-kemajuan yang tersebut belakangan ini, ilmu-ilmu naqli juga mengalami masa kemajuannya, sehingga dalam membicarakan perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah ini, tidak dapat terlepas dari uraian yang bertalian dengan al ulum al aqliyah. Maka pada masa ini penulis-penulis Islam telah membedakan ilmu-ilmu ini ke dalam dua macam ilmu, yaitu al ulum al Aqliyah dan al Ulum al Naqliyah.
Dalam lapangan kedokteran kita dapat melihat sarjana-sarjana muslim telah mampu menunjukkan kemajuan-kemajuan yang pesat. Ditandai dengan adanya penemuan obat-obatan, apotik-apotik mulai didirikan dan sekolah-sekolah farmasi dibangun untuk mendidik ahli farmakologi pertama dalam Islam. Beberapa risalah mengenai farmakologi mulai disusun oleh seorang sarjana muslim terkenal Djabir ibn Hayyan 776M. pada permulaan pemerintahan al Ma’mun dan al Mu’thasim ditentukan bahwa untuk menjadi ahli farmasi harus sudah lulus dari ujian-ujian yang diadakan untuk itu, demikian pula untuk menjadi dokter.[9]Para khalifah Abbasiyah mengatur pendidikan kedokteran dengan mewajibkan para mahasiswa setrelah mendapatkan teori dan praktek untuk menulis karya ilmiah sebagai syarat untuk mendapat ijazah dan izin untuk membuka praktek.[10]
Minat besar dari sarjana-sarjana muslim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan ini sesuai dengan ajaran-ajaran islam, sehingga pada waktu itu apa yang disebut al hakim bukan saja ahli dalam bidang agama tspi juga menguasai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Menurut analisa penulis, dari fakta-fakta sejarah ini, merupakan bukti bagaimana besarnya minat orang-orang islam untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dari segi kesehatan. Hal ini dapat kita buktikan dengan hasil usaha Sinan bin Tsabit yang berhasil meningkatkan pengetahuan kedokteran serta pengaturan administrasi rumah sakit di Bagdad serta dibangunnya rumah sakit khusus wanita. Dan dari beberapa rumah sakit dilengkapi dengan perpustakaan kedokteran, dan hal ini merupakan salah satu faktor penunjang berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa ini.
Adapun bidang astronomi bertambah maju sesudah mendapat bahan-bahan tambahan dari naskah-naskah yang berasal dari India, Yunani, Persia dan Caldea. Meskipun sebelumnya umat islam menaruh perhatian terhadap benda-benda angkasa, namun baru dalam batas-batas untuk membangkitkan rasa iman atau hal-hal tertentu, akan tetapi penyelidikan ilmiah baru terjadi pada masa Abbasiyah karena adanya dorongan yang kuat untuk menentukan arah kiblat yang tepat dan jelas.
Khalifah yang mula-mula sekali memberikan dorongan dalam bidang ini adalah Ja’far al Mansur karena dialah yang mula-mula sekali memerintahkan Muhammad al Fazari untuk menerjemahkan Siddhanta suatu risalah yang berasal dari India.[11]
Dalam bidang filsafat, bermula dari masuknya pemikiran-pemikiran Yunani yang dimodifikasikan dengan pikiran-pikiran bangsa Timur Tengah dan bangsa-bangsa Timur lainnya serta disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam. Nama-nama yang sangat menonjol dalam bidang ini ialah al Kindi (Arab), al Farabi (Turki) dan Ibn Sina (Persia). Tiga orang ini menjalin sebuah mata rantai dalam pengkajian filsafat, al kindi berperan sebagai peletak dasar pengharmonisan antyara filsafat Yunani dengan Islam, al Farabi melanjutkannya dan Ibn Sina memfinalkannya.
Setelah buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada zaman khalifah Harun al Rasyid dan khalifah al Ma’mun, barulahkaum muslimin sibuk mempelajari ilmu filsafat, bahkan menafsirkan dan mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran Islam, sehingga lahirlah para filosof ilmu yang kemudian menjadi pakar dan ahli di bidang filsafat.
Ciri kedua pendidikan Islam masa Abbasiyah ialah berdirinya sekolah-sekolah. Lembaga-lembaga pendidikan, sebelum zaman daulah Abbasiyah, dalm dunia Islam belum didirikannya gedung belajar tersendiri, mesjidlah yang merupakan tempat belajar, mesjid merupakan pusat belajar, baik untuk pendidikan rendah, menengah hingga pendidikan tinggi.
Masjid merupakan sekolah-sekolah utama yang mepelajari al-qur’an, al hadist, fiqh. Bermacam-macam ilmu pengetahuan dipelajari pada masa Abbasiyah I, sedangkan masjid merupakan pusat penting bagi gerakan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh nyata adalah masjid Basrah yang berfungsi sebagai lembaga ilmu pengetahuanyang didalamnya ada halaqah al-jadl, khalaqah fiqh, khalaqah at-tafsir qa al hadist dan lain-lain. Munculnya berbagai khalaqah ini, menurut hemat penulis merupakan suatu indikasi terhadap maju pesatnya ilmu pengetahuan serta kemauan kaum muslimin untuk mengembangkan diri melalui ilmu pengetahuan ini, sedang sekolah sebagai lembaga formal pendidikan belum ada pada zaman ini.
Sekolah-sekolah dan Universitas-universitasmempunyai pengaruh dalam membentuk pola kehidupan kaum muslimin. Berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang melalui lebaga pendidikan ini menghasilkan pembentukan dan pengembangan berbagai aspek budaya kaum muslimin.
Pusat pendidikan tinggi yang sekaligus berfungsi sebagai perpustakaan yang terkenal di Bagdad adalah Bait al Hikmah. Lembaga ini menggabungkan perpustakaan sanggar sastra, lingkaran studi yang semuanya di bawah pengawasan Khalifah. Bait al Hikmah ini menjadi pusat pusat penerjemahan umat Islam. Di lembaga ini pula al kindi mendirikan sekolah berbahasa Arab yang mengajarkan filsafat peripatetik[12]yang kemudian dikembangkan oleh al Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.[13]
Munculnya sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dalam dunia Islam adalah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid dan berkembang luasnya ilmu pengetahuan baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum, maka semakin banyak diperlukan halaqah-halaqah yang keseluruhannya tidak mungkin di tampung di masjid.. serta hubungannya dengan usaha mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dari pembesar negara yang bersangkutan.
Ciri ketiga pendidikan Islam adalah munculnya pemikran-pemikiran pendidikan. Diantara ciri terpenting, pendidikan Islam pada periode ini adalah terlibatnya ulama-ulama Islam menulis tentang bahasan pendidikan dan pengajaran secara luas sebagai wujud perhatian mereka dalam pendidikan. Sebagai contoh Burhanuddin az Zarnuji yang wafat tahun 591 H, telah menulis buku Ta’lim al Muta’allim Tariq al ta’lim.[14]
Sebagaimana pembahasan awal bahwa, berkembangnya pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam masa daulah Abbasiyah tidak bisa lepas dari kebijakan para Khalifah serta sistem pemerintahan yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Menurut Ali Murtopo[15]perkembangan kebudayaan mempunyai unsur utama yaitu sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, sistem bahasa, dan sistem religi. Diantara hal-hal yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah antara lain:
Daulah Abbasiyah selalu berusaha untuk menciptakan suatu kehidupan yang harmonis antara orang-orang Arab dan non Arab.[16]
2.Terjaminnya stabilitas keamanan.[17]
3.Pembangunan dan penataan sarana pendidikan,[18]dengan tersedianya al Kuttab, masjid serta al maktabah sebagai akademi dan balai penerjemahan.
4.Menggalakkan penerjemahan ilmu pengetahuan.[19]
5.Penataan dan pembangunan bidang ekonomi.[20]
6. Menjunjung tinggi Ulama’ dan ilmu pengetahuan.[21]
Selain beberpa faktor yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa faktor yang menurut hemat penulis merupakan faktor yang esensial, faktor tersebut ialah, terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberikan saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Persia misalnya, sangat kuat di bidang pemerintahan serta banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedang India memberi pengaruh dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi, sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
Faktor lain, gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa khalifah al Mansur hingga Harun al Rasyid. Pada fase ini banyakditerjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al ma’mun hingga tahun 300 h. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung dalam tahun 300 h, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Pada fase ini bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Demikianlah gambaran kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang pernah dicapai oleh pemerintahan islam, pada masa ini kemajuan pendidikan seiring dengan kemajuan politik sehingga Islam mencapai kejayaan. Masa kejayaan ini mencapai puncaknya terytama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode awal.
BAB III
KESIMPULAN
Sebagai penutup dari seluruh pembahasan dalam makalah ini dikemukakan beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut :
1.Masa Daulah Abbasiyah dikenal dengan masa keemasan pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam yang ditandai dengan masuk dan berkembangnya al ulum al aqliyah seperti fisika, matematika, filsafat, astronomi, kimia dan sebagainya. Berkembangnya ilmu pengetahuan ini disebabkan adanya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang telah terlebih dahulu mengalami perkembangan, seperti Persia yang telah memberi banyak saham dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastera. India memberi sumbangan dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi, sedang Yunani memberi pengaruh melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, termasuk filsafat.
2.Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan pendidikan yang dicapai pada zaman ini tidak terlepas dari berbagai faktor pendukung diantaranya adalah terjalinnya stabilitas keamanan, penataan sarana pendidikan, digalakkannya usaha penterjemahan serta ulama dijunjung tingggi dan imu pengetahuan ditumbuh suburkan.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, Juz II, Cet. VIII, (Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1974), h. 50.
Hasjmi, A., Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Mantiq, 1990), h. 103.
Ibrahim Hasan, Hasan, Tairkh al-Islam, Juz II, Cet. VIII, (Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1976), h. 130.
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992), h. 9.
Mahmudunnaser, Syed., Islam Konsepsi dan Sejarahnya., (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1993), h. 249.
Mu’in, Majid Abdul, I Tarikh al-Hadharah al-Islamiyah fi al-Ushur al-Wustha’, Cet. IV ., (Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1987), h. 154.
Murtopo, Ali, Strategi Kebudayaan, (Jakarta : Yayasan Proklamasi SIS, 1978), h. 12.
Nasution, Harun., Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI Press, 1985), h. 67.
Nasr, Sayyed Hossein, Science and Civilization in Islam, (Cambridge : The Islamic Text Society, 1981), h. 89.
Pikchall, Muhammad Marmaduke, The Cultural Side of Islam, (Lahoe : SH Muhammad Asraf, Cet. V, 1972), h. 23.
Shiddiqi, Noruzzaman, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta : Nur Cahaya, 1983), h. 73.
--------. Tamaddun Muslim, Bunga Rampai Kebudayaan Muslim,Cet. I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 13.
Stanton, C. Michael, Higher Learning in Islam The Classical Period, A.D. 700-1300., Diterjemahkan Oleh : H. Afandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi Dalam Islam Sejarah dan Peranannya Dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : PT Logos Publishing House, 1994), h. 169
Umar, Mun’im., Kebangunan Intelektual Pada Masa Daulah Abbasiyah, (Yogyakarta : Lembaga Penerbiran Ilmiah Fak. Ushuluddin, 1971), h. 5.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada dan LSIK, 1993), h. 49.
*Makalah disajikan pada Seminar Dosen Fakultas Dakwah IAIN Alauddin Makassar, tanggal 2001.
** Dosen Tetap pada Fakultas Dakwah IAN Alauddin Makassar dengan mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
[1] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam., (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992), h. 3
[2] Muhammad Marmaduke Pickhall, The cultural side of Islam, (Lahore : SH. Muhammad Asraf, Cet. V, 1972), h. 23.
[3] A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Mantiq, 1990), h. 103.
[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI Press, 1985), h. 67
[5] Nouruzzaman Shiddiqi, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta : Nur Cahaya, 1983), h. 73
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada dan LSIK, 1993), h. 49
[7] Mu’in Umar, Kebangunan Intelektual Pada Masa Daulah Abbasiyah, (Yogyakarta : Lembaga Penerbitan Ilmiah Fak.. Ushuluddin, 1971), h. 5.
[8] Nouruzzaman Shiddiqi, Tamaddun Muslim, Bunga Rampai Kebudayaan Muslim, Cet. I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 13.
[9] Mu’in Umar, op.cit, h. 19
[10] Sayyid Hussein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge : The Islamic Text Society, 1981), h. 89
[11] Mu’in Umar, op.cit., h. 28.
[12]Filsafat peripatetik adalah suatu pembahasan yang mengarah pada suatu struktur dan kontruksi filsafat yang didasarkan pada kemampuan berdiskusi, berdebat yang secara esensial dan pokok menyandarkan kebenaran dengan menggunakan argumen-argumen dengan didasarkn pada rasio.
[13]Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam The Classical Period, A.D. 700-1300, Diterjemahkan Oleh : H.Afandi dan Hasan Asari, “Pendidikan Tinggi dalam Islam, Sejarah dan Peranannya dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan”, (Jakarta : PT Logos Publishing House, 1994), h. 169.
[14] Hasan Langgulung, op.cit., h. 84
[15] Ali Murtopo, Strategi Kebudayaan, (Jakarta : Yayasan Proklamasi SIS, 1978), h. 12
[16] Mu’in Umar, op.cit., h.6
[17] Syed Mahmuddunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1993), h .249
[18] Abdul Mu’in Majid, Tarikh al Khadarah al Islamiyah fi al ‘Usur al Wustha, Cet. IV, (Kairo : Maktabah an Nahdhah al Mishriya, 1987), h. 154
[19] A.Hajmi, op.cit. h. 244.
[20] Ahmad Amin, Dhuha al Islam, Juz II, Cet. VIII, (Kairo : Maktabah an Nahdhah al Mishriyah, 1974), h. 50
[21] Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam, Juz II, Cet. VIII, (Kairo : Maktabah an Nahdhah al Mishriyah, 1976), h. 130.
0 komentar
Posting Komentar